URUSAN PRIBADI
Terpekur di sudut meja ruangan mewah lantai tiga tujuh. Pekerjaan semakin padat dan tidak terjadwal dengan baik.
Baskoro berpikir sudah saatnya urusan-urusan pribadinya diurus oleh orang-orang
profesional, yang bisa dipercaya, yang bertanggungjawab. Untuk itu, ia menyuruh
sekretaris kantor memasang sebuah iklan di berbagai media massa. Dicari para
profesional yang bersedia bekerja untuk urusan-urusan pribadi.
Iklan memang sering manjur. Banyak orang setiap pagi
pekerjaan utamanya membaca iklan, mencari-cari celah perbaikan nasib. Telepon
di meja sekretaris Baskoro berdering bertalu- talu menanyakan informasi
sehubungan dengan tawaran pekerjaan itu. Berkas lamaran pun bertumpuk. Sebagian
besar menyatakan permohonan untuk dapat diterima dan bersedia membuat
perjanjian kerja sesuai dengan permintaan Baskoro.
"Wawancara akan saya lakukan sendiri," ujar
Baskoro pada sekretarisnya. "Ini urusan pribadi." katanya
menggarisbawahi.
Wawancara berlangsung alot, dan berdasarkan berbagai
pertimbangan curriculum vitae pelamar, konglomerat yang punya nama itu menerima
delapan orang pekerja pribadi.
Pertama, seseorang yang kerjanya adalah mengurus jadwal
hariannya. Seorang laki-laki, mantan guru sebuah SD yang terkenal disiplin.
Kedua, yang urusannya berkaitan dengan soal menu makan. Seorang laki-laki,
mantan koki sebuah restoran kondang. Ketiga, yang mengurusi persoalan
penampilan atau pakaian, termasuk di dalamnya urusan celana dalam, kaos kaki,
dan sepatu. Seorang wanita, baru lulus jadi sarjana teater. Bas koro tertarik
karena dia terkesan dengan penampilan wanita itu. "Agak nyeniman, katanya.
Keempat, penasihat kesehatan dan olah raga. Seorang laki-
laki, sarjana olahraga. Baskoro tidak tahu apa-apa soal ini. Orang itu secara
kebetulan satu-satunya yang melamar untuk keperluan bidang ini. Berbeda dengan
yang lain yang jumlahnya ratusan. Jadi dalam bidang ini laki-laki itu tanpa
saingan. Kelima, urusan hiburan dan piknik. Laki-laki, mantan penyiar, sarjana
komunikasi. Keenam, penasihat yang berkaitan dengar urusan dan kebijakan
pekerjaannya. Seorang wanita, ibu rumah tangga, sarjana ekonomi. Ketujuh,
urusan ibadah dan spiritual. Seorang wanita, sarjana IAIN. Kata Baskoro,
"Dari wajah dan pakaiannya terlihat alim.". Dan kedelapan yang tidak
kalah pentingnya, mengingatkan dan mengontrol Baskoro jika tidak mematuhi apa
yang diurus dan dinasihatkan oleh karyawan pribadinya itu. Seorang laki-laki
usia baya, mantan atau tepatnya purwanirawan tentara.
Baskoro berpesan kepada mereka agar tidak lalai, ragu-
ragu, atau sungkan dalam menunaikan tugasnya. Karena, katanya, "Untuk itu
kalian saya bayar mahal." Mereka
memang dibayar mahal, walau tidak sama. Yang paling murah digaji lima belas
juta per bulan, dan yang paling mahal dua puluh lima juta. Berdasarkan
pertimbangan pribadinya, yang paling mahal jatuh pada pekerjaan pengingat dan
pengotrol. Bukan karena usia di antara pekerja usuran pribadi itu ia paling
tua, tapi secara kebetulan Baskoro telah mengenalnya sebelumnya. Boleh
terhitung teman baik. Ada unsur kolusilah. Yang paling murah jatuh pada urusan
ibadah dan penasihat spiritual. Tidak ada alasan yang cukup spesifik dari
Baskoro kenapa gaji pekerja urusan pribadi ini paling murah. Baskoro
cuma mengatakan, "Saya kira jumlah segitu cukup layak."
* * *
Keesokan
harinya, menjelang subuh, pintu kamar Baskoro diketuk. "Sudah saatnya
bangun Pak!," seseorang yang mengurus jadwal Baskoro berteriak.
Dengan ngantuk dan malas Baskoro membuka pintu kamarnya. Di depan pintu berdiri tiga orang. Agak bingung juga
Baskoro, ada apakah gerangan sehingga ia harus dibangunkan oleh tiga orang
sekaligus.
"Sebaiknya Bapak segera
sembahyang subuh!", sambil senyum, karyawan spiritual pun mengerjakan
tugasnya.
"Apa harus sekarang. Sebentar lagi masih bisa. Masih
terlalu pagi. Tidak perlu terburu-buru."
"Sebaiknya dikerjakan sekarang saja Pak!,"
seseorang mengingatkan Baskoro agar patuh.
Terpaksa Baskoro mengerjakan apa yang diperintahkan para
pegawai pribadinya itu dengan ogah-ogahan. Setelah selesai, sebetulnya Baskoro
masih ingin tidur-tiduran lagi, tapi segera diingatkan bahwa pagi ini jadwalnya
adalah berolah raga di taman belakang rumahnya. Mungkin itu pula sebabnya,
seseorang mengantarkan pakaian olahraga. Pakaian olahraga itu ternyata
berlengan satu, berwarna merah menyolok dari atas hingga bawah. Baskoro merasa
asing memakainya, tapi dia diam saja.
"Cukup lari-lari kecil saja. Silahkan Bapak lakukan
selama kurang lebih tiga puluh menit."
"Pagi ini, sesuai dengan aturan kesehatan, Bapak
makan buah-buahan, telur setengah matang, susu murni. Tidak minum teh atau
kopi."
"Karena ada rapat penting, Bapak berpakaian ini,
dasi ini, dan sepatu ini."
"Saya nasihatkan Bapak agar rencana tender itu tidak
diambil. Karena, setelah saya pelajari untungnya tidak terlalu besar."
"Maaf Pak, sudah waktunya Bapak mulai bekerja."
"Ya."
Ketika
sedang rapat, Baskoro mendapatkan telepon lewat sekretarisnya dan memberi pesan
agar rapat dihentikan karena waktu sudah menunjukkan saat sembahyang Dzuhur.
Orang- orang terperangah. Akan tetapi, karena Baskoro bos besar di ruang itu,
semua pun maklum. Rapat dihentikan, suatu hal yang tidak pernah terjadi
sebelumnya. Selesai sembahyang, Baskoro diingatkan agar makan siang dan secarik
daftar menu disodorkan oleh sekretarisnya. Ia makan walaupun belum terlalu
lapar. Pikirannya masih pada persoalan yang dibicarakan dalam rapat. Sore hari
Baskoro diberi informasi bahwa hari itu dia tidak ada piknik, atau hiburan
lainnya. Cukup membaca-baca koran
sambil mendengarkan lagu-lagu kesukaan.
"Pekerjaan saya belum selesai."
"Saya dibayar untuk mengatur jadwal Bapak."
"Betul. Tapi saya tetap yang paling berkuasa."
"Saya peringatkan Pak Baskoro manut saja. Sesuai
dengan perjanjian kita bersama."
"Sudah saatnya Bapak beristirahat dan tidur!"
"Ya." "Sebentar lagi Bapak akan menerima
tamu beberapa orang!"
"Ya."
"Saya anjurkan Bapak mengambil liburan!"
"Betul Pak, sebaiknya Bapak piknik!"
"Ya."
"Sambil
bermain golf."
"Saya
agak capek."
"Patuhi
saja."
"Ya."
"Bapak
kurang berpetualang dalam kehidupan seksual. Ada baiknya hari ini Bapak bermain dengan wanita
lain!"
"Betul,
Bapak harus mematuhi nasihat itu."
"Ya."
"Kebijakan yang Bapak ambil sudah tepat."
"Ya."
"Senyum sedikit dong Pak."
"Ya." Baskoro menjawab sambil tersenyum.
"Saatnya tertawa!"
"Ya. Ha, ha, ha, ha ...."
Kehidupan seperti itu dijalani Baskoro berhari-hari
bahkan berbulan-bulan. Berbagai keinginan yang pernah ia miliki perlahan-lahan
punah. Di dalam otaknya, dia tidak pernah tahu lagi apa yang harus dikerjakan,
tidak tahu apa yang akan dimakan, berpakaian seperti apa, ingin hiburan apa,
ingin berolah raga di mana, bahkan tidak tahu apa yang harus dipikirkan.
Otaknya kosong. Semuanya serba terprogram. Semua serba diatur dan teratur.
Barangkali itu pula sebabnya karyawan penasihat spritualnya memberi saran.
"Mungkin Bapak perlu mempertimbangkan sesuatu.
Akhir- akhir ini saya melihat Bapak kurang bahagia. Misalnya, mungkin sekali
dua Bapak perlu tidak mematuhi semua urusan yang telah diatur."
"Ya. Tapi kalau boleh bertanya, mengapa kamu
berpendapat seperti itu?"
"Itulah pekerjaan saya. Saya mencoba menjadi
karyawan yang baik. Untuk itu saya dibayar mahal."
"Tapi...?" Baskoro bingung. Kepalanya langsung
pening.
"Ya. Tapi...?"
"Kalau Bapak setuju, semua bisa diatur."
"Ya. Ya. Untuk itu
kalian saya bayar mahal."
* * *
Perjanjian
kerja baru disepakati. Hari itu juga para karyawan menunaikan tugasnya.
Ketika
akan makan, di meja Baskoro hanya melihat piring- piring penuh dengan daging
dan ikan. Mulanya ia ingin langsung makan. Karena seperti biasa ia tidak banyak
bertanya apa yang sebetulnya ingin ia makan. Tapi ia ingat juklak baru.
"Kurang
ajar, masak saya disuruh makan seperti ini. Tidak biasalah."
Ketika
akan ke kantor, ia dianjurkan berpakaian kaos saja.
"Nekat
kamu ya! Hari ini ada pertemuan
penting, malah disuruh pakai kaos. Tidak!."
Sore hari, Baskoro disuruh berenang di belakang rumahnya.
Karyawan urusan kepatuhan memberi nasihat. "Sebaiknya Bapak tidak
mengikuti anjuran tersebut. Lebih baik Bapak bermalas-malasan saja, sambil
mendengarkan musik."
"Tidak, saya ingin membaca."
"Sudah waktunya tidur!"
"Tidak, saya mau bekerja."
"Sebaiknya Bapak istirahat."
"Tidak."
"Kumis Bapak sebaiknya dicukur."
"Tidak."
"Nanti Bapak sakit."
"Tidak!"
Berhari-hari dan berbulan-bulan pula Baskoro hidup dalam
ketidakpatuhan. Akibatnya fatal. Ia menjadi pemberontak. Semua pekerjaannya,
semua rencana-rencana dihadapinya dengan kata tidak. Para kolega kerjanya
bingung. Para karyawannya di berbagai perusahaan bingung. Banyak hal menjadi
berantakan. Wajah Baskoro selalu tampil brangasan.
Suasana dan berbagai pristiwa itu segera ditangkap oleh
karyawan urusan kepatuhan dan urusan spiritual.
"Kami melihat ada yang tidak beres Pak. Bagaimana
kalau disepakati lagi perjanjian baru. Misalnya, ada kalanya Bapak perlu mengatakan tidak, dan
ada kalanya pula Bapak mengatakan iya".
Mendapat nasihat seperti itu, seketika itu juga ia
menjawab tidak. Tapi, penasihatnya itu tidak putus asa. Kembali mereka
membeberkan program kerjanya.
"Maksud kami begini Pak. Paling tidak agar semua
kembali berjalan normal. Artinya, jika anjuran tersebut baik, tidak ada
salahnya Bapak katakan iya, dan jika menurut Bapak apa yang akan dikerjakan
tidak baik, tidak menguntungkan, cuma mendatangkan kerepotan, tidak ada
salahnya Bapak katakan tidak. Bagaimana Pak?"
"Tidak. Eh iya, tapi mengapa?"
"Tidak perlu dipikirkan betul Pak. Kami telah memikirkannya matang-matang. Untuk itu kami
dibayar mahal. Bapak cukup mengatakan iya atau tidak."
"Iyalah." Jawab Pak Baskoro yang memang sudah
sulit berpikir itu.
Maka kesepakatan program baru pun dimulai. Pagi hari
berikutnya, seorang karyawan memulai kerjanya.
"Silahkan Pak, sudah waktunya Bapak mandi!"
"Tidak."
"Saya mengingatkan nanti siang ada pertemuan dengan
menteri."
"Ya."
"Sudah waktunya makan."
"Tidak."
"Kebijakan yang Bapak ambil sudah sangat
tepat."
"Ya."
"Pada pertemuan nanti Bapak sebaiknya tepuk
tangan."
"Tidak."
"Waktunya Bapak mendengarkan musik."
"Ya."
"Nanti siang ada peresmian perusahaan baru. Bapak
yang meresmikan." "Tidak."
Jadwal dan anjuran apapun yang telah diatur oleh karyawan
pribadinya, Baskoro selalu menjawab ya atau tidak. Bergantian. Prilaku itu
tentu saja mencemaskan orang banyak. Tak lama kemudian, para karyawan pribadi
Baskoro memutuskan merancang program baru. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar