BAPAK HAKIM YANG
KAMI MULIAKAN
Termasuk dia dan istrinya, keluarga Bapak Tumoro Sihotang
berjumlah tujuh belas orang. Bukan kebetulan jika semuanya menjadi hakim yang
sukses dan kaya di berbagai kota besar di Indonesia. Sedari kecil anak-anak
Tumoro Sihotang sudah ditanam untuk bercita-cita menjadi hakim.
"Indonesia, tanah airmu, membutuhkan hakim yang
memiliki integritas. Yang mampu menegakkan keadilan. Kunci sukses sebuah
negara adalah ketika hukum ditegakkan. Jika hukum ditegakkan maka segala macam kejahatan
di negeri kita ini akan mendapatkan perlakuan secara proporsional, secara baik
dan benar. Dari situ kita bisa membangun sebuah negeri yang beradab."
Demikian Tumoro Sihotang meyakinkan anak-anaknya.
"Bukan itu saja." Tumoro Sihotang menambah di kesempatan
lain. "Jabatan itu juga dihormati dan sekaligus ditakuti oleh masyarakat.
Di pengadilan, kamu akan dipanggil Bapak Hakim Yang Kami Muliakan. Alangkah
kerennya. Jabatan hakim bukan saja penting dan strategis, tetapi diakui
kemuliaannya."
Cita-cita Tumoro Sihotang dan keluarganya nyaris seratus
persen sempurna. Sayang, justru Bonar Sihotang, anaknya yang bungsu, memilih
menjadi guru sekolah dasar di sebuah kota kecil di Kepulauan Nias. Sering
Tumoro Sihotang merasa sedih memikirkan anak kesayangannya itu. Teringat
olehnya bahwa sebetulnya anaknya itu berpeluang menjadi hakim. Tapi ketika
anaknya itu akan pendadaran pada sebuah fakultas hukum pada sebuah universitas
terkenal, Bonar Sihotang mengundurkan diri. Bonar Sihotang memilih mengajar
anak-anak sekolah dasar.
"Sesungguhnya, masyarakat kita tidak lagi
membutuhkan hakim. Begitu banyak hakim telah gagal menjalankan tugasnya sebagai
hakim. Hakim tidak lebih jabatan palsu yang gampang dipermainkan kekuasaan dan
rentan sogokan. Makanya banyak hakim yang bergelimang uang. Hakim tidak dapat
mengatasi ketidakadilan," demikian kilah Bonar Sihotang suatu hari ketika
ia ditanya oleh Bapaknya tentang sikapnya memilih menjadi guru.
"Benar, tetapi kau tidak harus menjadi hakim seperti
itu." Tumoro Sihotang meyakinkan Bonar Sihotang.
"Dan lagi, aku tidak bercita-cita menjadi orang
kaya."
"Itu soal lain."
"Yang dibutuhkan masyarakat adalah bagaimana agar
orang dapat berpikir untuk menjadi hakim bagi dirinya sendiri," Bonar
Sihotang ngeyel, sekaligus mematahkan argumen Bapaknya yang telah dicekokkan ke
kepala Bonar Sihotang bertahun-tahun.
"Untuk itu," Bonar Sihotang menambahkan
penjelasannya, "yang masih dapat diharapkan adalah pendidikan. Saya akan
melakukan pekerjaan konkret agar anak didik saya kelak dapat berpikir bahwa
dalam pikirannya ia harus menjadi hakim bagi dirinya sendiri. Dari situlah
semuanya harus kita mulai".
"Akui saja bahwa sebetulnya kau tidak mampu menjadi
hakim. Tidak perlulah berbunga-bunga kata," Tumoro Sihotang berkata geram
dan penasaran.
Penasaran juga Bonar Sihotang dituduh Bapaknya demikian.
Harga diri dan kemampuannya disepelekan.
"Apa sulitnya menjadi hakim. Ini soal pilihan. Kalau
cuma ingin menegakkan kebenaran, hidup sukses, tidak perlu menjadi hakim. Apa
menjadi guru tidak mungkin?"
"Mana ada guru sukses dan kaya. Guru SD di pedesaan
lagi. Tidak mungkin."
"Itu soal lain."
"Terserah engkaulah. Kalau engkau sendiri merasa
tidak yakin bahwa hakim dapat menegakkan keadilan, maka itu artinya kau telah
gagal justru pada ujian pertama menjadi hakim. Bapak kira engkau memang pantas
menjadi guru saja."
Sebelum Tumoro Sihotang meninggalkan anaknya yang masih
siap menantangnya berdebat, ia masih sempat berujar, "sampaikan salamku
kepada murid-murid sekolah dasarmu."
Kalau sebelumnya Bonar Sihotang tersinggung, sekarang ia
marah. Kalau dulu dia begitu bangga dan hormat kepada bapaknya karena
dianggapnya sebagai bapak yang sukses mendidik anak-anaknya, maka sekarang ia
amat kecewa. Kalau dulu dia hormat
kepada jabatan hakim yang di matanya keren dan berwibawa, sekarang di matanya
tidak lebih sebagai jabatan picik yang membuat orang gelap mata.
* * *
"Kau lihat sendiri kan bu. Dialah anak yang aku
impikan. Berpendirian, memiliki pribadi yang kuat, dan cerdas." Tumoro
Sihotang berkata bangga kepada istrinya sambil membaca berkas- berkas yang
bertebaran di depannya. Kacamata bacanya diletakkannya di meja dan menatap
istrinya, Mely Siboruboru Sihotang.
"Dari dulu aku sudah mengatakan, Bonar seperti anak
bungsuku itu yang masih bisa diharapkan." Mely Siboruboru Sihotang tak
kalah berbangga hati di hadapan suaminya. "Dulu aku seperti tidak punya
cara lain untuk memotivasi anak-anak agar rajin belajar."
"Yang sudah terlanjur, biarkanlah. Kita salah."
"Tapi aku menyesal. Anak-anak kita memang sukses dan
kaya-kaya. Kenyataannya, mereka tidak jauh berbeda dengan kita. Bonar benar.
Ah, aku menjadi demikian rindu dengan anak kesayanganku itu."
"Aku juga."
"Walaupun agak gengsi, aku akan merubah caraku
menghadapinya. Aku akan berkata jujur padanya bahwa mungkin dia benar, dan
mendukung pilihan hidupnya. Aku mencintainya lebih dari yang dia kira."
"Aku mencintainya lebih dari nyawaku sendiri. Bapak
ingatkan bahwa di antara anak-anak kita, Bonar yang paling sulit lahir. Dia kan
sungsang. Dan pada waktu yang sama bapak jatuh dan masuk rumah sakit. Kamar
kita bersebelahan."
Mereka tertawa kecut, mengenang masa-masa berjuang lebih
dari dua puluh dua tahun yang lalu.
"Aku berharap, kakak-kakak Bonar bisa belajar dari
Bonar."
* * *
"Gila!", umpat Bonar Sihotang tidak sadar di
depan kelas. Murid-murid Bonar kaget dan heran. Segera Bonar menguasai dirinya.
Hari itu, ia mengajarkan Pendidikan Moral Pancasila, dengan subtopik pentingnya
memelihara cita-cita luhur bermasyarakat dan berbangsa. Padahal Bonar Sihotang
tidak mempersiapkan subtopik itu dengan baik. Malam hari Bonar Sihotang justru
membaca novel Bumi Manusia karya Pramudaya Ananta Toer, hadiah dari Bapaknya
beberapa tahun yang lalu, yang baru sempat dibacanya malam itu. Selesai
membaca, Bonar sadar telah dini hari. Lelah, lelah lahir batin membayangkan
bacaan sebaik itu dulu-dulu tidak bisa diakses oleh masyarakat. Dia juga
menyesal mengapa baru membaca buku itu sekarang.
Ia mengambil keputusan untuk melakukan improvisasi sesuai
dengan pemahamannya tentang topik pelajaran.
"Anak-anak sekalian. Bangsa Indonesia adalah bangsa
yang amat besar. Untuk mempertahankan kebesaran itu dibutuhkan sumber daya
manusia yang tangguh, disiplin, trampil, berani, berpengetahuan luas, jujur,
dan pantang menyerah."
"Apa itu bangsa yang amat besar Pak?"
"Apa itu sumber daya manusia Pak?"
"Sebentar, nanti bapak jawab". Bonar meneruskan
ceramahnya. "Agar mendapatkan sumber daya manusia yang baik, setiap orang
harus mampu menjadi hakim bagi dirinya sendiri. Setiap hari ia harus mengadili
dirinya sendiri, apakah mampu berprilaku luhur itu."
"Apa itu hakim Pak?"
""Bagaimana mungkin seseorang bisa mengadili
dirinya sendiri Pak."
"Dengar dulu penjelasan bapak sampai selesai. Selama
ini bapak mencoba bersikap luhur. Bapak bisa saja menjadi pengacara, menjadi
jaksa, menjadi pejabat, menjadi orang penting. Tetapi bapak memilih menjadi
guru. Karena berdasarkan perenungan dan penghakiman terhadap panggilan hati
nurani bapak, pekerjaan itulah yang paling bermanfaat untuk dikerjakan. Pekerjaan
yang mulia." "Lho, bapak ini sebetulnya guru atau hakim?"
"Ya, guru. Kan kamu bisa lihat sendiri." Bonar
Sihotang berkata sabar
"Katanya Pak, pekerjaan hakim itu menghakimi?"
"Betul. Tetapi tidak setiap penghakiman harus
dikerjakan oleh seorang hakim?
"Wah, Bapak ini sulit keterangannya. Kami tidak
mengerti."
Lonceng istirahat berbunyi tiga kali.
"Begini saja. Mungkin anak-anak sekalian belum dapat
paham sepenuhnya hari ini. Tapi cobalah engkau renungkan perlahan-lahan. Nanti
engkau akan mengerti."
"Tidak bisa jadi hakim, mengapa harus menjadi hakim
kepada dirinya sendiri?," seorang murid bertanya dalam kebingungan.
"Sumber daya manusia yang tangguh. Apakah guru SD
itu sumber daya manusia yang tangguh. Kalau tangguh, jadi Habibie dong?"
Bonar Sihotang tersindir dan terhina.
Di ruang kantor guru, Bonar Sihotang tertegun di
kursinya. Justru ia yang terpaksa merenung dan merefleksikan berbagai kejadian
setelah ia menjadi guru dua tahun terakhir ini. Sebetulnya, kejadian seperti
baru terjadi di kelas itu bukan kejadian pertama. Sudah beberapa kali Bonar
Sihotang menghadapi peristiwa itu, dan selalu ia menjawab dengan tidak
meyakinkan. Paling tidak, Bonar Sihotang tidak menjadi yakin apakah jawabannya
itu benar atau tidak.
Setiap hari, Ia terpaksa kembali mempertanyakan apakah ia
cocok menjadi guru. Guru SD lagi. Ia berpikir, jangan-jangan apa yang dikatakan
bapaknya betul, bahwa jalan hidup keluarganya adalah menjadi hakim. Apa betul
jabatan hakim lebih mulia, lebih penting dari guru, guru SD. Ia membayangkan di
depan suatu forum pengadilan dan orang-orang menyebutnya Bapak Hakim Yang Kami
Muliakan. Alangkah agungnya. Tidak seperti di depan kelas, diteror dengan
pertanyaan anak-anak, yang tidak sepenuhnya dapat dia jawab dengan baik. Dan
lagi, tidak ada jaminan bahwa jawaban-jawabannya akan menjadikan anak didiknya
lebih baik dari yang lain. Tidak ada jaminan. Bonar Sihotang tiba-tiba merasa
seperti orang yang tidak berharga, seperti pahlawan yang mimpi di siang
bolong. Sementara, peperangan telah berlangsung jauh hari sebelumnya, terus
menerus. Pikirannya itu menggaggunya
berhari-hari.
Suatu sore yang berangin dan sepoi, di beranda depan
rumah kontrakannya, Bonar merasa belum terlambat untuk melakukan suatu
perubahan penting dalam hidupnya.
* * *
Karena merasa mendapat pencerahan, suatu hari Bonar ingin
bertemu dengan bapaknya. Bonar yakin keputusan yang telah dibulatkannya itu
akan menyenangkan bapaknya, ibunya, dan kakak-kakaknya. Dengan hati mantab dan
wajah cerah, jabatan hakim seperti telah dipangkunya.
"Bonar memutuskan akan menyelesaikan kuliah. Saya
akan menjadi hakim."
Keputusan Bonar itu sungguh di luar dugaan. Tumoro Sihotang
takjub, heran, terperangah sehingga tak tahu harus berkata apa di depan
anaknya. Ada perasaan kalut bahwa ternyata anakn ya telah belajar banyak dari
pengalaman hidupnya. Ada perasaan gamang, bahwa apa yang dikatakannya dulu
merupakan kebenaran yang tak dapat ditolak begitu saja.
"Memang ada apa?" Tumoro Sihotang tidak yakin
sendiri dengan keputusan anaknya itu.
"Benar Pak. Bapak benar. Saya akan menjadi hakim.
Saya yakin saya memenuhi semua persyaratan untuk menjadi hakim pembela
kebenaran, penegak keadilan. Saya seorang yang jujur. Saya seseorang yang
berani berkata apa adanya. Saya orang yang berani menanggung resiko."
Heran juga Tumoro Sihotang terhadap perubahan mendadak
pada diri anaknya. Dia tidak tahu harus memberi komentar apa.
"Akan saya buktikan kepada dunia bahwa Bonar
Sihotang tidak boleh disepelekan. Jabatan hakim bukan hal sulit untuk
dikerjakan. Dengan kemampuan yang saya miliki, tidak sulit meraih kesuksesan.
Ini soal kemauan."
Bonar meninggalkan Bapaknya yang duduk termangu.
Tumoro Sihotang memejamkan matanya. Ia sungguh kecewa
kepada anaknya yang terlalu meyakinkan. Apa jadinya kelak jika ia benar-benar
menjadi hakim. Seperti selama ini, bahwa sesungguhnya ia begitu kecewa kepada
dirinya, kepada kesuksesan istrinya, kepada kejayaan anak-anaknya. Kebanggaan
dan harapan kepada anak bungsunya yang diharapkan dapat merubah dunia, yang
selama ini dia pendam, perlahan-lahan pudar.
"Betul anakku. Engkau akan menjadi hakim yang
sukses. Tapi apakah yang dibutuhkan itu adalah hakim yang sukses......"
Tumoro Sihotang tidak dapat melanjutkan kata-katanya. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar