Sabtu, 14 April 2012

BAPAK HAKIM YANG KAMI MULIAKAN


BAPAK HAKIM YANG
KAMI MULIAKAN

Termasuk dia dan istrinya, keluarga Bapak Tumoro Siho­tang berjumlah tujuh belas orang. Bukan kebetulan jika semuan­ya menjadi hakim yang sukses dan kaya di berbagai kota besar di Indonesia. Sedari kecil anak-anak Tumoro Sihotang sudah dita­nam untuk bercita-cita menjadi hakim.
"Indonesia, tanah airmu, membutuhkan hakim yang memil­iki integritas. Yang mampu menegakkan keadilan. Kunci sukses sebuah negara adalah ketika hukum ditegakkan. Jika hukum ditegakkan maka segala macam kejahatan di negeri kita ini akan mendapatkan perlakuan secara proporsional, secara baik dan benar. Dari situ kita bisa membangun sebuah negeri yang bera­dab." Demikian Tumoro Sihotang meyakinkan anak-anaknya.
"Bukan itu saja." Tumoro Sihotang menambah di kesempa­tan lain. "Jabatan itu juga dihormati dan sekaligus ditakuti oleh masyarakat. Di pengadilan, kamu akan dipanggil Bapak Hakim Yang Kami Muliakan. Alangkah kerennya. Jabatan hakim bukan saja penting dan strategis, tetapi diakui kemuliaannya." 
Cita-cita Tumoro Sihotang dan keluarganya nyaris seratus persen sempurna. Sayang, justru Bonar Sihotang, anaknya yang bungsu, memilih menjadi guru sekolah dasar di sebuah kota kecil di Kepulauan Nias. Sering Tumoro Sihotang merasa sedih memikirkan anak kesayangannya itu. Teringat olehnya bahwa sebetulnya anaknya itu berpeluang menjadi hakim. Tapi ketika anaknya itu akan pendadaran pada sebuah fakultas hukum pada sebuah universitas terkenal, Bonar Sihotang mengundurkan diri. Bonar Sihotang memilih mengajar anak-anak sekolah dasar.
"Sesungguhnya, masyarakat kita tidak lagi membutuhkan hakim. Begitu banyak hakim telah gagal menjalankan tugasnya sebagai hakim. Hakim tidak lebih jabatan palsu yang gampang dipermainkan kekuasaan dan rentan sogokan. Makanya banyak hakim yang bergelimang uang. Hakim tidak dapat mengatasi ketidakadilan," demikian kilah Bonar Sihotang suatu hari ketika ia ditanya oleh Bapaknya tentang sikapnya memilih menjadi guru.
"Benar, tetapi kau tidak harus menjadi hakim seperti itu." Tumoro Sihotang meyakinkan Bonar Sihotang.
"Dan lagi, aku tidak bercita-cita menjadi orang kaya."
"Itu soal lain."
"Yang dibutuhkan masyarakat adalah bagaimana agar orang dapat berpikir untuk menjadi hakim bagi dirinya sendiri," Bonar Sihotang ngeyel, sekaligus mematahkan argumen Bapaknya yang telah dicekokkan ke kepala Bonar Sihotang bertahun-tahun.
"Untuk itu," Bonar Sihotang menambahkan penjelasannya, "yang masih dapat diharapkan adalah pendidikan. Saya akan melakukan pekerjaan konkret agar anak didik saya kelak dapat berpikir bahwa dalam pikirannya ia harus menjadi hakim bagi dirinya sendiri. Dari situlah semuanya harus kita mulai".
"Akui saja bahwa sebetulnya kau tidak mampu menjadi hakim. Tidak perlulah berbunga-bunga kata," Tumoro Sihotang berkata geram dan penasaran.
Penasaran juga Bonar Sihotang dituduh Bapaknya demi­kian. Harga diri dan kemampuannya disepelekan. 
"Apa sulitnya menjadi hakim. Ini soal pilihan. Kalau cuma ingin menegakkan kebenaran, hidup sukses, tidak perlu menjadi hakim. Apa menjadi guru tidak mungkin?"
"Mana ada guru sukses dan kaya. Guru SD di pedesaan lagi. Tidak mungkin."
"Itu soal lain."
"Terserah engkaulah. Kalau engkau sendiri merasa tidak yakin bahwa hakim dapat menegakkan keadilan, maka itu artinya kau telah gagal justru pada ujian pertama menjadi hakim. Bapak kira engkau memang pantas menjadi guru saja."
Sebelum Tumoro Sihotang meninggalkan anaknya yang masih siap menantangnya berdebat, ia masih sempat berujar, "sampaikan salamku kepada murid-murid sekolah dasarmu."
Kalau sebelumnya Bonar Sihotang tersinggung, sekarang ia marah. Kalau dulu dia begitu bangga dan hormat kepada bapakn­ya karena dianggapnya sebagai bapak yang sukses mendidik anak-anaknya, maka sekarang ia amat kecewa. Kalau dulu dia  hormat kepada jabatan hakim yang di matanya keren dan berwi­bawa, sekarang di matanya tidak lebih sebagai jabatan picik yang membuat orang gelap mata.
* * *
"Kau lihat sendiri kan bu. Dialah anak yang aku impikan. Berpendirian, memiliki pribadi yang kuat, dan cerdas." Tumoro Sihotang berkata bangga kepada istrinya sambil membaca berkas- berkas yang bertebaran di depannya. Kacamata bacanya diletak­kannya di meja dan menatap istrinya, Mely Siboruboru Sihotang.
"Dari dulu aku sudah mengatakan, Bonar seperti anak bungsuku itu yang masih bisa diharapkan." Mely Siboruboru Sihotang tak kalah berbangga hati di hadapan suaminya. "Dulu aku seperti tidak punya cara lain untuk memotivasi anak-anak agar rajin belajar."
"Yang sudah terlanjur, biarkanlah. Kita salah."
"Tapi aku menyesal. Anak-anak kita memang sukses dan kaya-kaya. Kenyataannya, mereka tidak jauh berbeda dengan kita. Bonar benar. Ah, aku menjadi demikian rindu dengan anak kesayanganku itu."
"Aku juga."
"Walaupun agak gengsi, aku akan merubah caraku menghadapinya. Aku akan berkata jujur padanya bahwa mungkin dia benar, dan mendukung pilihan hidupnya. Aku mencintainya lebih dari yang dia kira."
"Aku mencintainya lebih dari nyawaku sendiri. Bapak ingatkan bahwa di antara anak-anak kita, Bonar yang paling sulit lahir. Dia kan sungsang. Dan pada waktu yang sama bapak jatuh dan masuk rumah sakit. Kamar kita bersebelahan."
Mereka tertawa kecut, mengenang masa-masa berjuang lebih dari dua puluh dua tahun yang lalu.
"Aku berharap, kakak-kakak Bonar bisa belajar dari Bonar."
* * *
"Gila!", umpat Bonar Sihotang tidak sadar di depan kelas. Murid-murid Bonar kaget dan heran. Segera Bonar menguasai dirinya. Hari itu, ia mengajarkan Pendidikan Moral Pancasila, dengan subtopik pentingnya memelihara cita-cita luhur berma­syarakat dan berbangsa. Padahal Bonar Sihotang tidak memper­siapkan subtopik itu dengan baik. Malam hari Bonar Sihotang justru membaca novel Bumi Manusia karya Pramudaya Ananta Toer, hadiah dari Bapaknya beberapa tahun yang lalu, yang baru sempat dibacanya malam itu. Selesai membaca, Bonar sadar telah dini hari. Lelah, lelah lahir batin membayangkan bacaan sebaik itu dulu-dulu tidak bisa diakses oleh masyarakat. Dia juga menyesal mengapa baru membaca buku itu sekarang.
Ia mengambil keputusan untuk melakukan improvisasi sesuai dengan pemahamannya tentang topik pelajaran.
"Anak-anak sekalian. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang amat besar. Untuk mempertahankan kebesaran itu dibutuhkan sumber daya manusia yang tangguh, disiplin, trampil, berani, berpengetahuan luas, jujur, dan pantang menyerah."
"Apa itu bangsa yang amat besar Pak?"
"Apa itu sumber daya manusia Pak?"
"Sebentar, nanti bapak jawab". Bonar meneruskan ceram­ahnya. "Agar mendapatkan sumber daya manusia yang baik, setiap orang harus mampu menjadi hakim bagi dirinya sendiri. Setiap hari ia harus mengadili dirinya sendiri, apakah mampu berprilaku luhur itu."
"Apa itu hakim Pak?"
""Bagaimana mungkin seseorang bisa mengadili dirinya sendiri Pak."
"Dengar dulu penjelasan bapak sampai selesai. Selama ini bapak mencoba bersikap luhur. Bapak bisa saja menjadi penga­cara, menjadi jaksa, menjadi pejabat, menjadi orang penting. Tetapi bapak memilih menjadi guru. Karena berdasarkan pere­nungan dan penghakiman terhadap panggilan hati nurani bapak, pekerjaan itulah yang paling bermanfaat untuk dikerjakan. Peker­jaan yang mulia." "Lho, bapak ini sebetulnya guru atau hakim?"
"Ya, guru. Kan kamu bisa lihat sendiri." Bonar Sihotang berkata sabar
"Katanya Pak, pekerjaan hakim itu menghakimi?"
"Betul. Tetapi tidak setiap penghakiman harus dikerjakan oleh seorang hakim?
"Wah, Bapak ini sulit keterangannya. Kami tidak mengerti."
Lonceng istirahat berbunyi tiga kali.
"Begini saja. Mungkin anak-anak sekalian belum dapat paham sepenuhnya hari ini. Tapi cobalah engkau renungkan perlahan-lahan. Nanti engkau akan mengerti."
"Tidak bisa jadi hakim, mengapa harus menjadi hakim kepada dirinya sendiri?," seorang murid bertanya dalam kebin­gungan.
"Sumber daya manusia yang tangguh. Apakah guru SD itu sumber daya manusia yang tangguh. Kalau tangguh, jadi Habibie dong?"
Bonar Sihotang tersindir dan terhina.
Di ruang kantor guru, Bonar Sihotang tertegun di kursinya. Justru ia yang terpaksa merenung dan merefleksikan berbagai kejadian setelah ia menjadi guru dua tahun terakhir ini. Sebe­tulnya, kejadian seperti baru terjadi di kelas itu bukan kejadian pertama. Sudah beberapa kali Bonar Sihotang menghadapi peris­tiwa itu, dan selalu ia menjawab dengan tidak meyakinkan. Paling tidak, Bonar Sihotang tidak menjadi yakin apakah jawa­bannya itu benar atau tidak.
Setiap hari, Ia terpaksa kembali mempertanyakan apakah ia cocok menjadi guru. Guru SD lagi. Ia berpikir, jangan-jangan apa yang dikatakan bapaknya betul, bahwa jalan hidup keluar­ganya adalah menjadi hakim. Apa betul jabatan hakim lebih mulia, lebih penting dari guru, guru SD. Ia membayangkan di depan suatu forum pengadilan dan orang-orang menyebutnya Bapak Hakim Yang Kami Muliakan. Alangkah agungnya. Tidak seperti di depan kelas, diteror dengan pertanyaan anak-anak, yang tidak sepenuhnya dapat dia jawab dengan baik. Dan lagi, tidak ada jaminan bahwa jawaban-jawabannya akan menjadikan anak didiknya lebih baik dari yang lain. Tidak ada jaminan. Bonar Sihotang tiba-tiba merasa seperti orang yang tidak berhar­ga, seperti pahlawan yang mimpi di siang bolong. Sementara, peperangan telah berlangsung jauh hari sebelumnya, terus menerus.  Pikirannya itu menggaggunya berhari-hari.
Suatu sore yang berangin dan sepoi, di beranda depan rumah kontrakannya, Bonar merasa belum terlambat untuk mela­kukan suatu perubahan penting dalam hidupnya.
* * *
Karena merasa mendapat pencerahan, suatu hari Bonar ingin bertemu dengan bapaknya. Bonar yakin keputusan yang telah dibulatkannya itu akan menyenangkan bapaknya, ibunya, dan kakak-kakaknya. Dengan hati mantab dan wajah cerah, jabatan hakim seperti telah dipangkunya.
"Bonar memutuskan akan menyelesaikan kuliah. Saya akan menjadi hakim."
Keputusan Bonar itu sungguh di luar dugaan. Tumoro Siho­tang takjub, heran, terperangah sehingga tak tahu harus berkata apa di depan anaknya. Ada perasaan kalut bahwa ternyata anakn­ ya telah belajar banyak dari pengalaman hidupnya. Ada perasaan gamang, bahwa apa yang dikatakannya dulu merupakan kebenar­an yang tak dapat ditolak begitu saja.
"Memang ada apa?" Tumoro Sihotang tidak yakin sendiri dengan keputusan anaknya itu.
"Benar Pak. Bapak benar. Saya akan menjadi hakim. Saya yakin saya memenuhi semua persyaratan untuk menjadi hakim pembela kebenaran, penegak keadilan. Saya seorang yang jujur. Saya seseorang yang berani berkata apa adanya. Saya orang yang berani menanggung resiko."
Heran juga Tumoro Sihotang terhadap perubahan menda­dak pada diri anaknya. Dia tidak tahu harus memberi komentar apa.
"Akan saya buktikan kepada dunia bahwa Bonar Sihotang tidak boleh disepelekan. Jabatan hakim bukan hal sulit untuk dikerjakan. Dengan kemampuan yang saya miliki, tidak sulit meraih kesuksesan. Ini soal kemauan."
Bonar meninggalkan Bapaknya yang duduk termangu.
Tumoro Sihotang memejamkan matanya. Ia sungguh kecewa kepada anaknya yang terlalu meyakinkan. Apa jadinya kelak jika ia benar-benar menjadi hakim. Seperti selama ini, bahwa sesungguhnya ia begitu kecewa kepada dirinya, kepada kesuksesan istrinya, kepada kejayaan anak-anaknya. Kebanggaan dan harapan kepada anak bungsunya yang diharapkan dapat merubah dunia, yang selama ini dia pendam, perlahan-lahan pudar.
"Betul anakku. Engkau akan menjadi hakim yang sukses. Tapi apakah yang dibutuhkan itu adalah hakim yang sukses......" Tumoro Sihotang tidak dapat melanjutkan kata-katanya. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar