NINA THE POOH
Begitulah.
Di sore yang pucat, di tengah keramaian, Nina terkapar dengan perut terbuka.
Sebutir isi mata tergeletak di samping mayat tubuhnya dengan kaki sebelah kiri
tampak remuk. Sebagian kulitnya gosong seperti bekas terbakar. Lalat- lalat
hitam kehijauan mengitar-rubung bekas luka yang darahnya mulai mengering. Di
tangan kiri, Nina menggenggam boneka kecil, The
Pooh. Boneka berwarna merah, bertopi biru, berkulit beledru halus. Tidak
tampak sisa sedikit bahwa sebetulnya Nina gadis manis cilik yang belia. Pun
tidak ada bekas air mata. Bau lebam dan anyir dan daging terpanggang
bermain-main di udara sekitar, membuat orang-orang yang melihatnya sekali-kali
menutup hidung, menggeleng-gelengkan kepala, dan bergegas menghindar dengan
perasaan waswas dan takut. Takut dikira tahu peristiwa-kejadian dan akan
ditanya macam-macam, dan itu merepotkan.
"Kita
masih punya urusan yang harus segera diselesaikan."
"Perutku
jadi lapar. Makan sup tengkleng alangkah nikmatnya."
"Itu
saja yang disop." Sambil menuding.
"Ayo,
nanti polisi datang."
"Jangan
khawatir, polisi selalu datang terlambat."
"Ini
sudah di bagian akhir."
"Tidak,
cerita justru baru akan dimulai."
* * *
Begitulah.
Di sore yang cerah, Nina berlari-lari kecil di pinggir jalan. Boneka The Pooh dipegangnya erat-erat. Ia ingin
memperlihatkan boneka itu pada seorang temannya. Sambil berwajah ceria, karena
akan membuat kejutan, keramaian tak menarik minatnya untuk mencoba tahu apa
yang sedang terjadi di sekitarnya. Suara-suara teriakan tak mencuri
perhatiannya. Ia ingin segera bertemu temannya dan berbangga bahwa ia baru saja
mendapatkan sebuah boneka yang tergeletak begitu saja di pinggiran sebuah
rumah.
Dia
pikir boneka itu mungkin jatuh dari langit dan memang diberikan untuknya.
Alangkah baiknya dunia ini. Telah memberikan hadiah secara cuma-cuma. Sudah
lama ia menginginkan sebuah boneka yang akan dijadikan temannya. Ia merasa
sendiri di dunia ini. Ia memerlukan teman untuk sekedar bercakap- cakap.
Bernyanyi bersama. Menyanyikan lagu yang belum lama ini ia dengar di halaman
sekolah. Indonesia tanah airku. Tanah tumpah darahku. Padamu negeri kami
berjanji, jiwa raga kami. Ia pernah bertanya kepada ibunya, "Indonesia itu apa sih?" Ibunya
menjawab bahwa Indonesia itu ya negeri kita.
"Negeri
kita itu apa sih?"
"Negeri
kita ya Indonesia."
"Kalau
begitu Indonesia itu apa?"
"Indonesia
itu adalah tutup mulut manismu yang ceriwis itu."
* * *
Begitulah.
Di sore yang gerah, orang-orang berlari ke sana ke mari. Seseorang berbaju
putih dan berambut gondrong membawa batu. Tapi orang yang seperti dia banyak.
Yang berbaju hitam dan ikat kepala merah membawa parang. Orang seperti itu pun
tak kurang banyaknya. Beberapa orang membawa bambu. Ada yang membawa buku, ada
yang membawa gitar, ada yang membawa bola kaki, ada yang membawa apel, ada yang
membawa kaleng, ada yang membawa ember. Ada yang menghidupkan rokok dan
menghisap dalam. Wajah-wajah garang. Teriakan-teriakan.
"Bunuh
saja!!!" Seseorang berteriak sambil mengacungkan pedang.
"Dasar
maling...!"
"Jangan kasih ampun!"
"Biar tahu rasa!"
"Bakar...bakar... bakar...!"
"Bakar hidup-hidup!"
"Kasih dia pelajaran...!"
Beberapa orang terlihat berlarian mengejar, dengan parang
teracung. Mengibas-ngibaskan pedang. Bau besin. Batang bambu dipukul-pukul ke aspal.
Lentikan api.
* * *
Begitulah. Di sore yang marah, di tengah hiruk-pikuk,
Nina terbunuh dengan kedua kaki terbuka, tanpa celana. Mata kanannya terlihat
bolong dan darah yang mulai mengering. Mata sebelah terbelalak, terlihat takut
dan tak mengerti. Di tangannya sebuah boneka The Pooh. Boneka berwarna merah, bertopi biru, dan tulisan The Pooh. Mungkin tidak seorang pun tahu
bahwa boneka itu merupakan impian lamanya. Sudah lama ia meminta boneka The Pooh kepada ibunya, dan ibunya hanya
bisa menjanjikan suatu ketika. Tidak ada yang tahu bahwa umur Nina baru sekitar
tujuh tahun. Walaupun tidak terlalu bersih, tetapi Nina berkulit putih. Hidung
mancung mungil, rambut lurus, mata bundar. Tidak ada yang tahu. Siapa yang
ingin tahu?
* * *
Begitulah. Di malam yang gelap, beberapa orang bekumpul
di sebuah rumah gedung. Asap rokok pengapkan ruangan. Berbicara, menoleh
kiri-kanan. Bisik-bisik, dan rokok dan minuman. Brandy campur Wisky.
"Kalau tidak begitu, tidak ada eksesnya. Harus ada
yang dikorbankan. Satu dua nyawa, apalah artinya. Asal jangan nyawa kalian
saja."
"Saya setuju. Kita harus bertindak."
"Bagaimana kalau ada yang tahu."
"Tidak. Kecuali jika ada pengkhianat di sekitar
kita." Yang berbicara memperhatikan wajah satu per satu. "Tidak ada
kan?"
"Ya, tidak ada." Seorang yang lain meyakinkan.
"Kita harus setia dengan rencana kita. Keadaan harus
diperbaiki. Kalau tidak segera dimulai, tidak akan ada perubahan. Semuanya
sudah dipikirkan matang-matang."
"Saya sudah janji ini bukan perkerjaan cuma-
cuma."
"Jangan khawatir. Itu soal kecil."
Mereka membagi-bagikan sesuatu berupa amplop. Ada yang
langsung dimasukkan ke kantong. Memberi kesan bahwa itu tidak penting. Ada yang
membuka dan sekilas melihat isinya. "Kalau sukses, akan ada bonus
tambahan." Minum diteguk tandas.
* * *
Begitulah. Di sore yang menggairahkan. Seseorang berjalan
terburu-gesa, lagaknya orang penting yang time
is money, sambil membawa sebuah kamera. Ceklek sana, ceklek sini. Kembali
berjalan tergesa-buru. Mencoba bertanya kepada seseorang. Orang itu
menggelengkan kepala. Kembali menemui seseorang, bertanya. "Saya tidak
tahu persis. Tanyakan pada orang lain saja. Itu tanya kepada yang berbaju hitam
itu." Ia berjalan lagi ke sana ke mari. Kemudian ia terpana. Berhenti dan
ragu-ragu. Segera ia mengambil gambar yang membuatnya terpana itu dari berbagai
sudut. Semakin dekat, ke muka ke kaki, ke kedua kaki yang terbuka. Puas. Sekali
lagi menghayati pemandangan di sekitar. Mengangguk-angguk, dan segera melarikan
motor. Malamnya, langsung di cetak. Ia baru sadar bahwa di tangan dalam foto
itu ada sebuah boneka, dan ia tidak tahu boneka apakah itu. Sedikit imajinasi,
dan sebuah berita.
* * *
Begitulah. Di sore yang tegang, pada sebuah ruangan lain
terlihat lima orang berbicara serius. Satu orang duduk di sisi meja, menghadap
empat orang. Pakaian mereka terlihat resmi dan seragam.
"Bagaimana pun juga kita harus tetap waspada. Ada
gejala berbagai kegiatan itu mengarah pada tujuan-tujuan tertentu yang
membahayakan."
"Betul Pak. Tetapi sementara ini apa tidak sebaiknya
kita biarkan lebih dahulu. Hingga kini kita belum tahu siapa dalang di balik
aktivitas tersebut. Dan lagi, apa tidak sebaliknya, kita justru harus mengambil
keuntungan dari kejadian itu."
"Betul. Itu sebabnya, jika ada yang bertanya, jawab
saja bahwa semua masih dalam kendali. Kalau perlu biarkan jatuh beberapa
korban. Kita harus memberi pelajaran bahwa tanpa kita, tidak ada kepastian.
Kacau balau."
"Saya mendapat informasi besok akan terjadi
sesuatu."
"Jika perlu, kita harus mengambil tindakan penting.
Satu dua nyawa tidak ada artinya."
"Siap Pak."
Telepon berbunyi. Si Pria yang duduk di sisi depan sendiri
melihat nomor telepon yang coba menghubunginya. Dengan tergopoh-gopoh
diterimanya, berdiri tegap.
"Saya Pak. Bagaimana Pak. Betul Pak. Semua sudah
diatur sesuai dengan rencana. Saya Pak. Betul, Pak. Ya, Pak. Siap Pak."
* * *
Begitulah. Di sore yang remang, bau asap menebar, dan
wajah-wajah puas. Ada yang lalu lalang, dan gadis cilik dengan The Pooh, masih tergeletak. Di suatu
tempat yang lain, ada yang bergerombol dan berdiskusi sambil menoleh ke kiri-ke
kanan. Sekali terlihat mereka saling berbisik, mengikik.
"Apa aku bilang?"
"Ini akan bergulir terus. Seperti bola salju."
"Lumayan?"
"Ide itu mahal."
"Saya yang memulai pertama!"
"Tapi kalau bukan aku yang menyuruh, kamu pasti
tidak berani."
"Berani saja. Aku sudah akan melakukan itu.
Tiba-tiba kamu berteriak mengatakan itu."
"Kalau tidak ada aku, siapa yang menghidupkan
api."
"Kamu dapat apa?" Sambil senyum-senyum, yang
ditanya menjawab. "Lumayan. Selain yang itu, ada beberapa sudah aku
sembunyikan. Jangan khawatir, belum aman."
"Jangan curang, ini hasil kita bersama." Mereka
tertawa terbahak.
"Jangan lupa, baca koran." Seseorang
memperingatkan.
* * *
Begitulah. Seseorang yang rambutnya telah putih, perut
buncit, dan sebatang cerutu yang belum dihidupkan di bibir. Wajah masih bugar.
Matanya yang seperti orang ngantuk tidak mampu menyembunyikan siasat-siasat
yang bersembunyi di kepalanya, dan syaraf-syaraf rahasia. Menggoyang-goyangkan
kaki di kursi malas, beberapa orang berdiri di dekatnya.
"Ada gelagat yang semakin mengkhawatirkan,"
seseorang memberanikan diri menginformasikan semacam laporan. "Beberapa
kelompok mulai memperlihatkan gerakan. Harus ada keputusan atau kebijakan
radikal agar masalah ini tidak berkembang ke arah yang tidak diinginkan."
"Pasar lesu. Rupiah semakin anjlok. Ini
gejala-gejala semakin membahayakan." Seseorang menambahkan.
"Korek!" Seseorang segera menghidupkan korek
api yang terdengar suara ting-nya. Cerutu seharga lima ratus ribu per batang
itu terbakar.
"Sambungkan saya ke Triple X". Seketika
tersambung.
"Bunuh semua coro-coro yang mengganggu." Senyum
manis.
* * *
Begitulah. Di malam yang dingin, seseorang sibuk mengetik.
Pikirannya merekonstruksi berbagai kejadian yang belum lama dilihatnya. Seorang
gadis, dengan perut terbuka, dengan kedua kaki mengangkang, dan beberapa bagian
tubuh yang gosong. Dia tidak pernah mengerti ada boneka di tangan perempuan
cilik itu. Kenapa boneka itu tidak terbakar. Apa gadis cilik itu melindunginya.
Bagaimana dia melindungi boneka itu? Ada perasaan menyesal kenapa boneka itu
tidak diambilnya saja. Lumayan, bisa dijadikan kenang-kenangan. Atau bisa
dijadikan bukti. Tapi apa yang perlu dibuktikan. Kalau diambilnya, dia akan
bercerita kepada teman-temannya bahwa ia merupakan salah satu saksi kunci
peristiwa itu. Dia merasa telah bertindak bodoh dan ceroboh.
* * *
Begitulah. Di pagi yang cerah, di pagi yang sibuk, orang-
orang memulai hari dengan menyantap berita. Koran Satu. "Seorang Gadis
Cilik Diperkosa dan Dibantai." Koran Dua. "Sekelompok Massa Bertindak
Sadis." Koran Tiga. "Seorang Copet Cilik Dihajar Ramai-Ramai."
Koran Empat. "Massa Ngamuk dan Menjarah." Koran Lima. "Massa
Tidak Puas, Bertindak Brutal." Koran Enam. "Seorang Politisi Kondang
Menjadi Dalang Kerusuhan." Koran Tujuh. "Diduga Karena Dendam Politik
Dalangi Kerusuhan dan Penjarahan." Koran Delapan. "Massa Mengamuk
Tuntut Hukum Ditegakkan." Koran Sembilan. "Masyarakat Sudah Tidak
Sabar Buat Keonaran." Koran Sepuluh, ....... Begitulah. Ada baiknya salah
satu berita tersebut dikutipkan.
"... massa dibubarkan karena tidak marah di samping
ada pemerkosa jalanan provokator tidak bertanggung jawab selang waktu penjarah
dan toko-toko dibakar. Luka-luka ratusan orang bernafsu memperkosa, batu-batu
berterbangan bom molotof para aparat mulai menembaki. Gerakan itu tidak reformasi menghambat
perubahan padahal demokratisasi adalah sejarah yang tak pangkal berujung.
Pengamat burung hak asasi manusia gagak ngoceh meneriaki kematian dan
darah-darah yang berterbaran membasahi rampas anak bangsa bumi pertiwi
tercinta. Ini pertanda mungkin merdeka buruk
merupakan bola salju api. Masyarakat tokoh aparat diri diminta
menenangkan ...."
Begitulah. Di pagi yang bergairah, Nina gadis cilik berumur
tujuh tahunan masih terkapar dengan perut terburai dan membusuk. Sebutir isi
mata tergeletak di samping mayat tubuhnya. Dan kaki sebelah kirinya tampak
remuk. Sebagian kulitnya gosong seperti bekas terbakar. Lalat-lalat liar
mengitari dan merubung bekas luka yang darahnya mulai mengering. Di tangan
kiri, Nina menggenggam boneka kecil, The
Pooh. Boneka berwarna merah, bertopi biru, berkulit beledru halus. Tidak
ada sisa sedikit pun bahwa sebetulnya Nina gadis cantik cilik yang imut-imut.
Pun tidak ada sisa air mata. Bau lebam dan anyir mulai menyengat udara sekitar,
membuat orang-orang yang melihatnya sekali-kali menutup hidung,
menggeleng-gelengkan kepala, dan bergegas menghindar dengan perasaan waswas dan
takut. Takut dikira tahu peristiwa-kejadian dan akan ditanya macam-macam, dan
itu merepotkan. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar