Sabtu, 14 April 2012

NINA THE POOH


NINA THE POOH

            Begitulah. Di sore yang pucat, di tengah keramaian, Nina terkapar dengan perut terbuka. Sebutir isi mata tergeletak di samping mayat tubuhnya dengan kaki sebelah kiri tampak remuk. Sebagian kulitnya gosong seperti bekas terbakar. Lalat- lalat hitam kehijauan mengitar-rubung bekas luka yang darahnya mulai mengering. Di tangan kiri, Nina menggenggam boneka kecil, The Pooh. Boneka berwarna merah, bertopi biru, berkulit bele­dru halus. Tidak tampak sisa sedikit bahwa sebetulnya Nina gadis manis cilik yang belia. Pun tidak ada bekas air mata. Bau lebam dan anyir dan daging terpanggang bermain-main di udara sekitar, membuat orang-orang yang melihatnya sekali-kali menutup hidung, menggeleng-gelengkan kepala, dan bergegas menghindar dengan perasaan waswas dan takut. Takut dikira tahu peristiwa-kejadian dan akan ditanya macam-macam, dan itu merepotkan.
            "Kita masih punya urusan yang harus segera diselesaikan."
            "Perutku jadi lapar. Makan sup tengkleng alangkah nik­matnya."
            "Itu saja yang disop." Sambil menuding.
            "Ayo, nanti polisi datang."
            "Jangan khawatir, polisi selalu datang terlambat."
            "Ini sudah di bagian akhir."
            "Tidak, cerita justru baru akan dimulai."
* * *
            Begitulah. Di sore yang cerah, Nina berlari-lari kecil di pinggir jalan. Boneka The Pooh dipegangnya erat-erat. Ia ingin memperlihatkan boneka itu pada seorang temannya. Sambil berwajah ceria, karena akan membuat kejutan, keramaian tak menarik minatnya untuk mencoba tahu apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Suara-suara teriakan tak mencuri perhatiannya. Ia ingin segera bertemu temannya dan berbangga bahwa ia baru saja mendapatkan sebuah boneka yang tergeletak begitu saja di ping­giran sebuah rumah.
            Dia pikir boneka itu mungkin jatuh dari langit dan memang diberikan untuknya. Alangkah baiknya dunia ini. Telah member­ikan hadiah secara cuma-cuma. Sudah lama ia menginginkan sebuah boneka yang akan dijadikan temannya. Ia merasa sendiri di dunia ini. Ia memerlukan teman untuk sekedar bercakap- cakap. Bernyanyi bersama. Menyanyikan lagu yang belum lama ini ia dengar di halaman sekolah. Indonesia tanah airku. Tanah tumpah darahku. Padamu negeri kami berjanji, jiwa raga kami. Ia pernah bertanya kepada ibunya,       "Indonesia itu apa sih?" Ibunya menjawab bahwa Indonesia itu ya negeri kita.
            "Negeri kita itu apa sih?"
            "Negeri kita ya Indonesia."
            "Kalau begitu Indonesia itu apa?"
            "Indonesia itu adalah tutup mulut manismu yang ceriwis itu."
* * *
            Begitulah. Di sore yang gerah, orang-orang berlari ke sana ke mari. Seseorang berbaju putih dan berambut gondrong membawa batu. Tapi orang yang seperti dia banyak. Yang berba­ju hitam dan ikat kepala merah membawa parang. Orang seperti itu pun tak kurang banyaknya. Beberapa orang membawa bambu. Ada yang membawa buku, ada yang membawa gitar, ada yang membawa bola kaki, ada yang membawa apel, ada yang membawa kaleng, ada yang membawa ember. Ada yang menghidupkan rokok dan menghisap dalam. Wajah-wajah garang. Teriakan-teriakan.
            "Bunuh saja!!!" Seseorang berteriak sambil mengacungkan pedang.
            "Dasar maling...!"
"Jangan kasih ampun!"
"Biar tahu rasa!"
"Bakar...bakar... bakar...!"
"Bakar hidup-hidup!"
"Kasih dia pelajaran...!"
Beberapa orang terlihat berlarian mengejar, dengan parang teracung. Mengibas-ngibaskan pedang. Bau besin. Batang bambu dipukul-pukul ke aspal. Lentikan api.
* * *
Begitulah. Di sore yang marah, di tengah hiruk-pikuk, Nina terbunuh dengan kedua kaki terbuka, tanpa celana. Mata kanannya terlihat bolong dan darah yang mulai mengering. Mata sebelah terbelalak, terlihat takut dan tak mengerti. Di tangannya sebuah boneka The Pooh. Boneka berwarna merah, bertopi biru, dan tulisan The Pooh. Mungkin tidak seorang pun tahu bahwa boneka itu merupakan impian lamanya. Sudah lama ia meminta boneka The Pooh kepada ibunya, dan ibunya hanya bisa menjanjikan suatu ketika. Tidak ada yang tahu bahwa umur Nina baru sekitar tujuh tahun. Walaupun tidak terlalu bersih, tetapi Nina berkulit putih. Hidung mancung mungil, rambut lurus, mata bundar. Tidak ada yang tahu. Siapa yang ingin tahu?
* * *
Begitulah. Di malam yang gelap, beberapa orang bekumpul di sebuah rumah gedung. Asap rokok pengapkan ruangan. Berbicara, menoleh kiri-kanan. Bisik-bisik, dan rokok dan minuman. Brandy campur Wisky.
"Kalau tidak begitu, tidak ada eksesnya. Harus ada yang dikorbankan. Satu dua nyawa, apalah artinya. Asal jangan nyawa kalian saja."
"Saya setuju. Kita harus bertindak."
"Bagaimana kalau ada yang tahu."
"Tidak. Kecuali jika ada pengkhianat di sekitar kita." Yang berbicara memperhatikan wajah satu per satu. "Tidak ada kan?"
"Ya, tidak ada." Seorang yang lain meyakinkan.
"Kita harus setia dengan rencana kita. Keadaan harus diperbaiki. Kalau tidak segera dimulai, tidak akan ada peruba­han. Semuanya sudah dipikirkan matang-matang."
"Saya sudah janji ini bukan perkerjaan cuma- cuma."
"Jangan khawatir. Itu soal kecil."
Mereka membagi-bagikan sesuatu berupa amplop. Ada yang langsung dimasukkan ke kantong. Memberi kesan bahwa itu tidak penting. Ada yang membuka dan sekilas melihat isinya. "Kalau sukses, akan ada bonus tambahan." Minum diteguk tandas.
* * *
Begitulah. Di sore yang menggairahkan. Seseorang berja­lan terburu-gesa, lagaknya orang penting yang time is money, sambil membawa sebuah kamera. Ceklek sana, ceklek sini. Kembali berjalan tergesa-buru. Mencoba bertanya kepada se­seorang. Orang itu menggelengkan kepala. Kembali menemui seseorang, bertanya. "Saya tidak tahu persis. Tanyakan pada orang lain saja. Itu tanya kepada yang berbaju hitam itu." Ia berjalan lagi ke sana ke mari. Kemudian ia terpana. Berhenti dan ragu-ragu. Segera ia mengambil gambar yang membuatnya terpana itu dari berbagai sudut. Semakin dekat, ke muka ke kaki, ke kedua kaki yang terbuka. Puas. Sekali lagi menghayati pemandangan di sekitar. Mengangguk-angguk, dan segera melari­kan motor. Malamnya, langsung di cetak. Ia baru sadar bahwa di tangan dalam foto itu ada sebuah boneka, dan ia tidak tahu boneka apakah itu. Sedikit imajinasi, dan sebuah berita.
* * *
Begitulah. Di sore yang tegang, pada sebuah ruangan lain terlihat lima orang berbicara serius. Satu orang duduk di sisi meja, menghadap empat orang. Pakaian mereka terlihat resmi dan seragam.
"Bagaimana pun juga kita harus tetap waspada. Ada gejala berbagai kegiatan itu mengarah pada tujuan-tujuan tertentu yang membahayakan."
"Betul Pak. Tetapi sementara ini apa tidak sebaiknya kita biarkan lebih dahulu. Hingga kini kita belum tahu siapa dalang di balik aktivitas tersebut. Dan lagi, apa tidak sebaliknya, kita justru harus mengambil keuntungan dari kejadian itu."
"Betul. Itu sebabnya, jika ada yang bertanya, jawab saja bahwa semua masih dalam kendali. Kalau perlu biarkan jatuh beberapa korban. Kita harus memberi pelajaran bahwa tanpa kita, tidak ada kepastian. Kacau balau."
"Saya mendapat informasi besok akan terjadi sesuatu."
"Jika perlu, kita harus mengambil tindakan penting. Satu dua nyawa tidak ada artinya."
"Siap Pak."
Telepon berbunyi. Si Pria yang duduk di sisi depan sendiri meli­hat nomor telepon yang coba menghubunginya. Dengan tergo­poh-gopoh diterimanya, berdiri tegap.
"Saya Pak. Bagaimana Pak. Betul Pak. Semua sudah diatur sesuai dengan rencana. Saya Pak. Betul, Pak. Ya, Pak. Siap Pak."
* * *
Begitulah. Di sore yang remang, bau asap menebar, dan wajah-wajah puas. Ada yang lalu lalang, dan gadis cilik dengan The Pooh, masih tergeletak. Di suatu tempat yang lain, ada yang bergerombol dan berdiskusi sambil menoleh ke kiri-ke kanan. Sekali terlihat mereka saling berbisik, mengikik.
"Apa aku bilang?"
"Ini akan bergulir terus. Seperti bola salju."
"Lumayan?"
"Ide itu mahal."
"Saya yang memulai pertama!"
"Tapi kalau bukan aku yang menyuruh, kamu pasti tidak berani."
"Berani saja. Aku sudah akan melakukan itu. Tiba-tiba kamu berteriak mengatakan itu."
"Kalau tidak ada aku, siapa yang menghidupkan api."
"Kamu dapat apa?" Sambil senyum-senyum, yang ditanya menjawab. "Lu­mayan. Selain yang itu, ada beberapa sudah aku sembunyikan. Jangan khawatir, belum aman."
"Jangan curang, ini hasil kita bersama." Mereka tertawa terbahak.
"Jangan lupa, baca koran." Seseorang memperingatkan.
* * *
Begitulah. Seseorang yang rambutnya telah putih, perut buncit, dan sebatang cerutu yang belum dihidupkan di bibir. Wajah masih bugar. Matanya yang seperti orang ngantuk tidak mampu menyembunyikan siasat-siasat yang bersembunyi di kepalanya, dan syaraf-syaraf rahasia. Menggoyang-goyangkan kaki di kursi malas, beberapa orang berdiri di dekatnya.
"Ada gelagat yang semakin mengkhawatirkan," seseorang memberanikan diri menginformasikan semacam laporan. "Beber­apa kelompok mulai memperlihatkan gerakan. Harus ada keputu­san atau kebijakan radikal agar masalah ini tidak berkembang ke arah yang tidak diinginkan."
"Pasar lesu. Rupiah semakin anjlok. Ini gejala-gejala semakin membahayakan." Seseorang menambahkan.
"Korek!" Seseorang segera menghidupkan korek api yang terdengar suara ting-nya. Cerutu seharga lima ratus ribu per batang itu terbakar.
"Sambungkan saya ke Triple X". Seketika tersambung.
"Bunuh semua coro-coro yang mengganggu." Senyum manis.
* * *
Begitulah. Di malam yang dingin, seseorang sibuk menge­tik. Pikirannya merekonstruksi berbagai kejadian yang belum lama dilihatnya. Seorang gadis, dengan perut terbuka, dengan kedua kaki mengangkang, dan beberapa bagian tubuh yang gosong. Dia tidak pernah mengerti ada boneka di tangan perem­puan cilik itu. Kenapa boneka itu tidak terbakar. Apa gadis cilik itu melindunginya. Bagaimana dia melindungi boneka itu? Ada perasaan menyesal kenapa boneka itu tidak diambilnya saja. Lumayan, bisa dijadikan kenang-kenangan. Atau bisa dijadikan bukti. Tapi apa yang perlu dibuktikan. Kalau diambilnya, dia akan bercerita kepada teman-temannya bahwa ia merupakan salah satu saksi kunci peristiwa itu. Dia merasa telah bertindak bodoh dan ceroboh.
* * *
Begitulah. Di pagi yang cerah, di pagi yang sibuk, orang- orang memulai hari dengan menyantap berita. Koran Satu. "Seorang Gadis Cilik Diperkosa dan Dibantai." Koran Dua. "Sekelompok Massa Bertindak Sadis." Koran Tiga. "Seorang Copet Cilik Dihajar Ramai-Ramai." Koran Empat. "Massa Ngamuk dan Menjarah." Koran Lima. "Massa Tidak Puas, Bertindak Brutal." Koran Enam. "Seorang Politisi Kondang Menjadi Dalang Kerusuhan." Koran Tujuh. "Diduga Karena Dendam Politik Dalangi Kerusuhan dan Penjarahan." Koran Delapan. "Massa Mengamuk Tuntut Hukum Ditegakkan." Koran Sembilan. "Masyarakat Sudah Tidak Sabar Buat Keonaran." Koran Sepuluh, ....... Begitulah. Ada baiknya salah satu berita tersebut dikutipkan.
"... massa dibubarkan karena tidak marah di samping ada pemerkosa jalanan provokator tidak bertanggung jawab selang waktu penjarah dan toko-toko dibakar. Luka-luka ratusan orang bernafsu memperkosa, batu-batu berterban­gan bom molotof para aparat mulai menembaki.  Gerakan itu tidak reformasi menghambat perubahan padahal demok­ratisasi adalah sejarah yang tak pangkal berujung. Penga­mat burung hak asasi manusia gagak ngoceh meneriaki kematian dan darah-darah yang berterbaran membasahi rampas anak bangsa bumi pertiwi tercinta. Ini pertanda mungkin merdeka buruk  merupakan bola salju api. Ma­syarakat tokoh aparat diri diminta menenangkan ...."
Begitulah. Di pagi yang bergairah, Nina gadis cilik beru­mur tujuh tahunan masih terkapar dengan perut terburai dan membusuk. Sebutir isi mata tergeletak di samping mayat tubuhn­ya. Dan kaki sebelah kirinya tampak remuk. Sebagian kulitnya gosong seperti bekas terbakar. Lalat-lalat liar mengitari dan merubung bekas luka yang darahnya mulai mengering. Di tangan kiri, Nina menggenggam boneka kecil, The Pooh. Boneka berwarna merah, bertopi biru, berkulit beledru halus. Tidak ada sisa sedikit pun bahwa sebetulnya Nina gadis cantik cilik yang imut-imut. Pun tidak ada sisa air mata. Bau lebam dan anyir mulai menyengat udara sekitar, membuat orang-orang yang melihatnya sekali-kali menutup hidung, menggeleng-gelengkan kepala, dan bergegas menghindar dengan perasaan waswas dan takut. Takut dikira tahu peristiwa-kejadian dan akan ditanya macam-macam, dan itu merepotkan. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar