RUMAH KACA
Hanya karena merasa kelebihan duit, Pak Sabar punya ide
macam-macam. Dia menghubungi seorang arsitek terkenal di kotanya.
"Aku ingin punya rumah yang seluruhnya dari kaca.
Aku tidak tahu apakah ide ini nyentrik atau tidak. Aku juga tidak ingin tahu
apakah itu mungkin atau tidak. Yang aku ingin tahu kau harus merancangnya dan
rumah itu bisa dibangun. Kau boleh menghubungi ahli-ahli lain yang terkait
dengan masalah ini. Jangan pikir soal biaya. Itu soal kecil," sabda Pak
Sabar mendesak sang arsitek.
Muncul
juga keraguan di hati Sang Arsitek.
Jangan-jangan ia tak bisa memenuhi kesanggupannya kelak. Baru kali ini ia
mendapat pesanan demikian aneh. Untunglah selintas timbul keinginannya untuk
berpetualang. Berpetualang dalam dunia arsitektur. "Ini tantangan
besar," batin Sang Arsitek. "Saya harus membuktikan bahwa dalam
peradaban super modern ini tak ada yang tak mungkin. Uanglah yang maha
menentukan."
"Apakah
saya betul-betul bebas merancang?," Sang Arsitek kembali meyakinkan
perjanjiannya dengan Pak Sabar.
"Betul.
Betul-betul bebas. Cuma perlu engkau ketahui rumah yang bakal dibangun itu
jumlah kamarnya minimal lima,
karena anak saya ada empat. Ada
kamar mandi pada setiap kamar. Perlu pula kau ingat, paling tidak saya
membutuhkan ruang garasi untuk lima
mobil. Boleh sebagian kau letakkan di atas. Yang lain-lain, yang berkaitan
dengan tata letak ruang, secara keseluruhan aku serahkan sepenuhnya pada
keahlianmu." "Oke. Ini terakhir Pak. Di mana rumah itu akan dibangun.
Ini berkaitan dengan kemungkinan estetikanya."
"Apa itu artinya?," Pak Sabar tak mengerti.
"Konsep estetika membangun rumah itu tentu saja
berbeda antara di daerah perumahan elit, di daerah perkampungan, atau di
antaranya. Ini menyangkut setting. Minimal kita perlu membuat suatu perhitungan
estetis agar betul-betul teatrikal."
"Teatrikal. Ah, apa pula itu artinya?," Pak
Sabar masih tak mengerti. Tapi, tentu saja ia tak berselera untuk berdiskusi
soal estetika dengan Sang Arsitek. Pak Sabar memang tidak biasa berdiskusi
masalah estetika-teatrikal yang menurutnya terlalu remeh dan mengada-ada.
"Oke, rumah itu akan dibangun kira-kira di antara
perumahan elit dan perkampungan," Pak Sabar memotong agar tidak terjadi
diskusi panjang yang menurutnya tidak terlalu relevan untuk diketahuinya. Baginya
hal seperti itu bukan sesuatu yang harus dipikirkan orang kaya seperti dia.
"Tolong
rahasiakan tentang sosok bangunannya hingga rumah itu betul-betul
selesai."
***
Segera
saja pekerjaan membangun rumah kaca dimulai. Semua ahli pertukangan yang relevan
dimanfaatkan. Alat-alat teknologi modern
dikerahkan, karena hanya teknologi yang tinggi yang bisa menangani kebutuhan
seperti itu. Begitu banyak orang terlihat sibuk sehingga masyarakat sekitar
mulai bertanya- tanya sesungguhnya rumah atau gedung apa yang akan dibangun.
Karena hari bertambah hari tak ada
perubahan fisik yang berarti.
"Apa mereka-mereka itu mau bangun rumah di bawah
tanah. Saya sama sekali tidak melihat bangunan fisiknya?," tanya seorang
penduduk pada temannya.
"Saya sendiri tidak tahu. Tanya saja sendiri
sana," temannya menjawab tak acuh.
Namun yang jelas kira-kira lima bulan kemudian Sang
Arsitek melapor kepada Pak Sabar bila rumah pesanan beliau sudah selesai.
"Lho, kok cepat sekali?"
"Teknologi modern Pak. Teknologi modern," jawab
Sang Arsitek dengan memberatkan kata modern. Untung satu kata ini cukup populer
di kuping Pak Sabar. Karena ia orang-orang sering mengatakan bahwa dia
merupakan contoh orang modern. Pak Sabar juga merasa dia orang modern, sehingga
ia tidak terlalu bodoh untuk sama sekali tidak paham maksud Sang Arsitek.
"Okelah. Saya jadi penasaran lho. Sebentar lagi saya
ke sana."
Tak berapa lama Pak Sabar
datang dengan kendaraan pribadi Old-Benz 2000 MILLENIUM-nya. Di pintu
gerbang Pak Sabar membaca tulisan DILARANG MASUK, KECUALI SEIZIN PEMILIK RUMAH.
Ia tersenyum sendiri. Dia merasa senang dengan tulisan itu. "Aku yang
memiliki rumah ini bung," hatinya berteriak. Dan itu dibuktikannya dengan
menyuruh Si Supir membunyikan klakson. Mendengar klakson, beberapa orang tergopoh-gopoh
ke pintu gerbang. Dari penampilan mobil, orang-orang tersebut tanpa
bertanya-tanya lagi langsung saja membukakan pintu.
Tanpa setahu siapapun ada yang membuat Pak Sabar
penasaran. Sejak di mobil Pak Sabar sudah melongokkan kepa lanya ke sana ke mari
mencari-cari sebuah bangunan. Anehnya, tak dilihat satu pun sejenis bangunan.
Padahal Sang Arsitek baru saja menelepon jika rumahnya telah selesai. Hampir
tak sabar Pak Sabar karena seolah-olah Sang Arsitek telah mengajaknya bergurau. Kalau Sudono Salim yang
bergurau seperti itu dengannya, boleh-bolehlah. Tentu ia akan tertawa
terbahak-bakak. Tapi seorang arsitek? Bukan kelasnya bisa berseloroh dengan Pak
Sabar yang high class. Itu tak sopan.
"Mana? Mana? Mana?," Pak Sabar berteriak-teriak
seketika ia melihat Sang Arsitek.
"Apanya yang mana Pak?," Sang Arsitek tak kalah
bingung.
"Kok masih bertanya? Jangan bergurau. Saya orang
penting. Katanya sudah selesai," Pak Sabar belum turun emosinya.
"Oh, rumahnya. Lha ini," dengan riang Sang
Arsitek menjawab sambil menunjuk sebuah halaman terbuka.
Mendengar kegembiraan dan kesantaian Sang Arsitek, Pak
Sabar tergagap. Ia memandang halaman kosong dengan cermat dan konsentrasi.
Setelah yakin ada sesuatu di halaman kosong itu, tiba-tiba Pak Sabar tertawa
terbahak-bahak. Sang Arsitek juga tertawa terbahak-bahak. Satu dua tukang yang
masih di situ, mendengar Pak Sabar tertawa terbahak-bahak, mereka pun tertawa
terbahak-bahak. Pak Supir juga tertawa terbahak-bahak di mobil (Ia hanya
tertawa kalau bosnya tertawa, dan sedih kalau bosnya sedih. Cuma kalau bosnya
marah, dia diam saja).
"Astaga. Betul-betul sudah pikun saya. Saya yang
punya ide, saya sendiri yang lupa." Kembali Pak Sabar tertawa terbahak-bahak.
"Maklumlah, terlalu banyak yang harus saya pi kirkan. Saya orang
sibuk."
"Kita sih maklum-maklum saja Pak."
"Tapi? Tapi, terus bagaimana nih. Mana pintunya,
mana ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi, dan seterusnya? Wah, kalau tidak
tahu bisa nabrak-nabrak nanti."
"Itu cuma masalah kebiasaan Pak. Mari saya tunjuk-tunjukkan."
Dengan agak ragu-ragu, Pak Sabar melangkah di belakang
Sang Arsitek.
"Sebetulnya semua sederhana Pak. Untuk tanda-tanda
ruang dan pintu, semua berpedoman dengan warna-warna garis di lantai. Memang,
garis-garis itu pun tidak terlalu menyolok. Sepintas seperti garis-garis
lapangan olah raga saja. Untuk lebih jelasnya Bapak bisa pelajari keterangan
ini." Pak Sabar menerima semacam brosur. Sambil membaca, dia terus
mendengarkan keterangan Arsiteknya. Tak henti-hentinya Pak Sabar mengangguk
dan menggelengkan kepala. Tampaknya betul-betul puas ia.
"Lantas?"
Pak Sabar mengerutkan kening seolah mengingat sesuatu. "Oh ya, bagaimana
dengan estetika yang anda maksudkan itu."
"Itu
menyangkut tata letak ruang-ruang Pak. Di
mana kamar mandi harus diletakkan, di mana tempat tidur, dan lain- lain. Ruang-ruang
pribadi itu semua ada di bagian atas. Kan
akan menjadi lebih menarik. Karena, maaf Pak, semua seperti di tempat terbuka.
Apa saja yang dilakukan di dalam rumah ini, akan nampak dari luar. Apa saja isi
rumah ini akan nampak dari luar. Rumah ini tidak bisa menyimpan rahasia bagi
orang yang ingin melihat. Semuanya serba transparan." Berdasarkan
penjelasan itu kembali Pak Sabar tertawa terbahak-bahak. Sang Arsitek juga
tertawa terbahak-bahak. Tukang-tukang juga
tertawa terbahak-bahak. Supir juga tertawa terbahak-bahak.
"Itu
sudah saya perhitungkan."
"Toh
nanti semua akan lebih jelas kalau rumah ini diisi dan ditempati," Sang
Arsitek menutup keterangannya.
"Hari
ini juga rumah ini akan saya isi komplit. Pokoknya, semua yang bisa dari kaca
akan saya beli yang dari kaca."
***
Keesokan
harinya Pak Sabar memboyong keluarganya. Ternyata istri Pak Sabar belum terlalu tua. Kira-kira
empat puluh lima tahunan. Dia mempunyai anak perempuan tiga, lumayan menarik
dan cantik, dan seorang laki-laki yang cukup menjanjikan. Maklum, Sebetulnya
Pak Sabar orang yang tidak terlalu jelek. Kalau boleh dibilang bahkan
sebetulnya Pak Sabar itu terhitung di atas lumayan. Semula keluarga Pak Sabar
tak habis mengerti terhadap ide menempati rumah yang terbuka itu. Tapi setelah
Pak Sabar meyakinkan anak-anak dan istrinya bahwa hidup itu perlu melakukan
petualangan-petualangan serta variasi yang mendebarkan, akhirnya mereka
setuju-setuju saja.
"Untuk apa duit berlimpah,
kalau hidup kita begitu-begitu saja. Monoton. Tidak bervariasi.
Menjemukan." Pak Sabar pernah mengatakan obsesinya kepada anak dan
istrinya. Waktu itu anak-anak dan istrinya hanya tertawa saja mendengar kegelisahan
Pak Sabar.
"Nanti kalau ternyata tidak
sip, kita bongkar. Kita bangun lagi jenis rumah yang lain." Setelah Pak
Sabar menjelaskan tanda-tanda dalam memahami kondisi rumah yang sesungguhnya,
mereka siap-siap untuk sekedar istirahat sambil menikmati suasana baru. Hal tersebut membuat mereka sadar jika hampir puluhan
orang sedang menonton mereka dengan terheran-heran. Suatu hal yang membuat Pak
Sabar justru mendapat hiburan tersendiri.
"Apa Papa bilang. Kita melakukan hal yang
spektakuler. Coba lihat. Coba lihat
tuh!."
Anak-anak Pak Sabar menoleh dan menanggapinya dengan
perasaan jengah. Bagaimanapun juga mereka belum terbiasa ditonton orang banyak.
Sebagai orang yang normal-normal saja, ada hal-hal tertentu yang menyebabkan
seseorang menjadi malu- malu bila diperhatikan. Malu kalau hal-hal yang berbau
pribadi diketahui orang banyak. Apalagi ketika si bungsu Leny merasa ingin ke
belakang.
"Kalau mau buang air besar bagaimana Pap?." Si
bungsu kehilangan akal. Dia membayangkan kalau dia segera buang air besar yang
tempat dan segala sarana telah tersedia di rumah baru itu, pasti ia akan
menjadi totonan yang menarik. Tidak hanya bagi keluarganya, terlebih-lebih
terhadap orang lain di luar sana. Sebetulnya yang membuat Leny malu bukan
sekedar dilihat buang air besar.
"Nanti, tahinya kan juga kelihatan." Katanya
malu-malu kucing.
"Iya Pak, kalau mau mandi bagaimana Pap. Nampak dong
semuanya?," Santi menambah pertanyaan adiknya.
Ternyata pertanyaan seperti itu sudah diperhitungkan oleh
Pak Sabar beserta jawabannya. "Peduli
amat, nanti semua akan terbiasa. Ala bisa karena biasa." Pak Sabar
berpepatah. "Santailah sedikit. Nikmati hidup. Soal malu itu kan karena
terbiasa diakui sebagai kemaluan. Tapi kalau tidak diakui sebagai kemaluan
nanti semua akan terbiasa. Percaya saja kepada Papa"
Pak Sabar memang orang yang serba sukses. Ia terbukti sukses pula dalam mendidik anak-anaknya
agar patuh kepada orang tua. Nasihat
Pak Sabar segera saja diterima oleh anak- anaknya, juga istrinya. Mereka,
awal-awal memang agak malu melakukan aktivitas seperti mandi, buang air besar,
atau makan, karena jelas terlihat semuanya dari luar. Tapi lama-lama mulai terbiasa. Bahkan semakin hari
semakin mendatangkan kenikmatan bagi mereka. Bisa mengundang perhatian. Bisa
menjadi berita, karena segera saja beberapa wartawan datang membuat liputan
khusus tentang rumah kaca beserta penghuninya. Pak Sabar dan keluarganya
menjadi buah bibir.
Suatu siang, beberapa hari kemudian tak pelak Pak Sabar
menjadi tontonan khusus ketika ia melakukan hubungan seksual dengan istrinya
yang masih amboi itu. Walau peristiwa hubungan seksual bukan suatu hal yang
baru bagi anak-anaknya, bahkan mungkin bagi masyarakat pada umumnya, toh harus
diakui membuat mereka risih. Membuat masyarakat sibuk bergunjing. Tapi itu
tidak lama. Cuma soal terbiasa atau tidak. Apalagi ketika melihat Papa dan
Mamanya biasa-biasa saja. Seperti tidak melakukan suatu yang agak riskan bila
dilihat orang banyak. Kejadian ini
menjadi pelajaran yang baik bagi anak-anaknya.
Tak mau kalah dengan Bapaknya, keesokan harinya Santi
membawa teman laki-lakinya melakukan hubungan seksual di rumahnya. Si Robi juga
tak mau kalah, ia membawa teman perempuannya melakukan hubungan seksual. Si
bungsu Leny tak mau ketinggalan, ia membawa teman sekolahnya melakukan hubungan
seksual. Semua melakukan hubungan seksual. Semua menjadi totonan yang
mengharubiru.
Yang jelas, hampir tiap ada kejadian penting, masyarakat
setempat mendapat hiburan yang mengasyikkan. Orang kampung seperti selalu
mendapat barang baru untuk dipergunjingkan. "Tidak perlu lagi nonton film
Indonesia. Tidak perlu nonton BF." Seorang penduduk mengungkapkan rasa
kepuasannya.
Ide Pak Sabar yang sensasional itu lama-kelamaan mengundang
para orang kaya lainnya berlomba-lomba mendirikan rumah kaca, sehingga tak
berapa lama kemudian mode rumah kaca pun menjamur, di mana-mana, di sembarang
tempat. Mereka pun berlomba-lomba
melakukan aktivitas penting di dalam rumahnya masing-masing. Kejadian siapa
menonton siapa akhirnya menjadi tidak jelas. Semua menjadi aktor, semua menjadi
penonton.
Kejadian ini tentu saja membuat Pak Sabar tidak merasakan
sesuatu yang sensasional lagi. Ia mulai menghadapi sesuatu yang tidak
menantang. Masyarakat bahkan sudah tidak tertarik lagi untuk memperhatikan isi
dan kegiatan di rumahnya. Suatu pagi, Pak Sabar berpikir ingin membongkar rumah
kacanya, dan membangun jenis rumah yang lain. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar