Sabtu, 14 April 2012

RUMAH KACA


RUMAH KACA

Hanya karena merasa kelebihan duit, Pak Sabar punya ide macam-macam. Dia menghubungi seorang arsitek terkenal di kotanya.
"Aku ingin punya rumah yang seluruhnya dari kaca. Aku tidak tahu apakah ide ini nyentrik atau tidak. Aku juga tidak ingin tahu apakah itu mungkin atau tidak. Yang aku ingin tahu kau harus merancangnya dan rumah itu bisa dibangun. Kau boleh menghubungi ahli-ahli lain yang terkait dengan masalah ini. Jangan pikir soal biaya. Itu soal kecil," sabda Pak Sabar mende­sak sang arsitek.
Muncul juga keraguan di hati  Sang Arsitek. Jangan-jangan ia tak bisa memenuhi kesanggupannya kelak. Baru kali ini ia mendapat pesanan demikian aneh. Untunglah selintas timbul keinginannya untuk berpetualang. Berpetualang dalam dunia arsitektur. "Ini tantangan besar," batin Sang Arsitek. "Saya harus membuktikan bahwa dalam peradaban super modern ini tak ada yang tak mungkin. Uanglah yang maha menentukan."
"Apakah saya betul-betul bebas merancang?," Sang Arsitek kembali meyakinkan perjanjiannya dengan Pak Sabar.
"Betul. Betul-betul bebas. Cuma perlu engkau ketahui rumah yang bakal dibangun itu jumlah kamarnya minimal lima, karena anak saya ada empat. Ada kamar mandi pada setiap kamar. Perlu pula kau ingat, paling tidak saya membutuhkan ruang garasi untuk lima mobil. Boleh sebagian kau letakkan di atas. Yang lain-lain, yang berkaitan dengan tata letak ruang, secara keseluruhan aku serahkan sepenuhnya pada keahlianmu." "Oke. Ini terakhir Pak. Di mana rumah itu akan dibangun. Ini berkaitan dengan kemungkinan estetikanya."
"Apa itu artinya?," Pak Sabar tak mengerti.
"Konsep estetika membangun rumah itu tentu saja berbeda antara di daerah perumahan elit, di daerah perkampungan, atau di antaranya. Ini menyangkut setting. Minimal kita perlu membuat suatu perhitungan estetis agar betul-betul teatrikal."
"Teatrikal. Ah, apa pula itu artinya?," Pak Sabar masih tak mengerti. Tapi, tentu saja ia tak berselera untuk berdiskusi soal estetika dengan Sang Arsitek. Pak Sabar memang tidak biasa berdiskusi masalah estetika-teatrikal yang menurutnya terlalu remeh dan mengada-ada.
"Oke, rumah itu akan dibangun kira-kira di antara peruma­han elit dan perkampungan," Pak Sabar memotong agar tidak terjadi diskusi panjang yang menurutnya tidak terlalu relevan untuk diketahuinya. Baginya hal seperti itu bukan sesuatu yang harus dipikirkan orang kaya seperti dia.
"Tolong rahasiakan tentang sosok bangunannya hingga rumah itu betul-betul selesai."
***
Segera saja pekerjaan membangun rumah kaca dimulai. Semua ahli pertukangan yang relevan dimanfaatkan. Alat-alat teknologi modern dikerahkan, karena hanya teknologi yang tinggi yang bisa menangani kebutuhan seperti itu. Begitu banyak orang terlihat sibuk sehingga masyarakat sekitar mulai bertanya- tanya sesungguhnya rumah atau gedung apa yang akan dibangun. Karena hari bertambah hari  tak ada perubahan fisik yang berarti.
"Apa mereka-mereka itu mau bangun rumah di bawah tanah. Saya sama sekali tidak melihat bangunan fisiknya?," tanya seorang penduduk pada temannya.
"Saya sendiri tidak tahu. Tanya saja sendiri sana," te­mannya menjawab tak acuh.
Namun yang jelas kira-kira lima bulan kemudian Sang Arsitek melapor kepada Pak Sabar bila rumah pesanan beliau sudah selesai.
"Lho, kok cepat sekali?"
"Teknologi modern Pak. Teknologi modern," jawab Sang Arsitek dengan memberatkan kata modern. Untung satu kata ini cukup populer di kuping Pak Sabar. Karena ia orang-orang sering mengatakan bahwa dia merupakan contoh orang modern. Pak Sabar juga merasa dia orang modern, sehingga ia tidak terla­lu bodoh untuk sama sekali tidak paham maksud Sang Arsitek.
"Okelah. Saya jadi penasaran lho. Sebentar lagi saya ke sana."
Tak berapa lama Pak Sabar  datang dengan kendaraan pribadi Old-Benz 2000 MILLENIUM-nya. Di pintu gerbang Pak Sabar membaca tulisan DILARANG MASUK, KECUALI SEIZIN PEMILIK RUMAH. Ia tersenyum sendiri. Dia merasa senang dengan tulisan itu. "Aku yang memiliki rumah ini bung," hatinya berteriak. Dan itu dibuktikannya dengan menyuruh Si Supir membunyikan klakson. Mendengar klakson, beberapa orang tergopoh-gopoh ke pintu gerbang. Dari penampilan mobil, orang-orang tersebut tanpa bertanya-tanya lagi langsung saja membukakan pintu.
Tanpa setahu siapapun ada yang membuat Pak Sabar penasaran. Sejak di mobil Pak Sabar sudah melongokkan kepa­ lanya ke sana ke mari mencari-cari sebuah bangunan. Anehnya, tak dilihat satu pun sejenis bangunan. Padahal Sang Arsitek baru saja menelepon jika rumahnya telah selesai. Hampir tak sabar Pak Sabar karena seolah-olah Sang Arsitek telah  mengajaknya bergurau. Kalau Sudono Salim yang bergurau seperti itu den­gannya, boleh-bolehlah. Tentu ia akan tertawa terbahak-bakak. Tapi seorang arsitek? Bukan kelasnya bisa berseloroh dengan Pak Sabar yang high class. Itu tak sopan.
"Mana? Mana? Mana?," Pak Sabar berteriak-teriak seketi­ka ia melihat Sang Arsitek.
"Apanya yang mana Pak?," Sang Arsitek tak kalah bin­gung.
"Kok masih bertanya? Jangan bergurau. Saya orang pent­ing. Katanya sudah selesai," Pak Sabar belum turun emosinya.
"Oh, rumahnya. Lha ini," dengan riang Sang Arsitek menjawab sambil menunjuk sebuah halaman terbuka.
Mendengar kegembiraan dan kesantaian Sang Arsitek, Pak Sabar tergagap. Ia memandang halaman kosong dengan cermat dan konsentrasi. Setelah yakin ada sesuatu di halaman kosong itu, tiba-tiba Pak Sabar tertawa terbahak-bahak. Sang Arsitek juga tertawa terbahak-bahak. Satu dua tukang yang masih di situ, mendengar Pak Sabar tertawa terbahak-bahak, mereka pun tertawa terbahak-bahak. Pak Supir juga tertawa terbahak-bahak di mobil (Ia hanya tertawa kalau bosnya tertawa, dan sedih kalau bosnya sedih. Cuma kalau bosnya marah, dia diam saja).
"Astaga. Betul-betul sudah pikun saya. Saya yang punya ide, saya sendiri yang lupa." Kembali Pak Sabar tertawa terba­hak-bahak. "Maklumlah, terlalu banyak yang harus saya pi­ kirkan. Saya orang sibuk."
"Kita sih maklum-maklum saja Pak."
"Tapi? Tapi, terus bagaimana nih. Mana pintunya, mana ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi, dan seterusnya? Wah, kalau tidak tahu bisa nabrak-nabrak nanti."
"Itu cuma masalah kebiasaan Pak. Mari saya tunjuk-tun­jukkan."
Dengan agak ragu-ragu, Pak Sabar melangkah di belakang Sang Arsitek.
"Sebetulnya semua sederhana Pak. Untuk tanda-tanda ruang dan pintu, semua berpedoman dengan warna-warna garis di lantai. Memang, garis-garis itu pun tidak terlalu menyolok. Sepintas seperti garis-garis lapangan olah raga saja. Untuk lebih jelasnya Bapak bisa pelajari keterangan ini." Pak Sabar meneri­ma semacam brosur. Sambil membaca, dia terus mendengarkan keterangan Arsiteknya. Tak henti-hentinya Pak Sabar mengang­guk dan menggelengkan kepala. Tampaknya betul-betul puas ia.
"Lantas?" Pak Sabar mengerutkan kening seolah mengingat sesuatu. "Oh ya, bagaimana dengan estetika yang anda maksud­kan itu."
"Itu menyangkut tata letak ruang-ruang Pak. Di mana kamar mandi harus diletakkan, di mana tempat tidur, dan lain- lain. Ruang-ruang pribadi itu semua ada di bagian atas. Kan akan menjadi lebih menarik. Karena, maaf Pak, semua seperti di tempat terbuka. Apa saja yang dilakukan di dalam rumah ini, akan nampak dari luar. Apa saja isi rumah ini akan nampak dari luar. Rumah ini tidak bisa menyimpan rahasia bagi orang yang ingin melihat. Semuanya serba transparan." Berdasarkan penjelasan itu kembali Pak Sabar tertawa terbahak-bahak. Sang Arsitek juga tertawa terbahak-bahak.  Tukang-tukang juga tertawa terbahak-bahak. Supir juga tertawa terbahak-bahak.
"Itu sudah saya perhitungkan."
"Toh nanti semua akan lebih jelas kalau rumah ini diisi dan ditempati," Sang Arsitek menutup keterangannya.
"Hari ini juga rumah ini akan saya isi komplit. Pokoknya, semua yang bisa dari kaca akan saya beli yang dari kaca."
***
Keesokan harinya Pak Sabar memboyong keluarganya. Ternyata istri Pak Sabar belum terlalu tua. Kira-kira empat puluh lima tahunan. Dia mempunyai anak perempuan tiga, lumayan menarik dan cantik, dan seorang laki-laki yang cukup menjanji­kan. Maklum, Sebetulnya Pak Sabar orang yang tidak terlalu jelek. Kalau boleh dibilang bahkan sebetulnya Pak Sabar itu terhitung di atas lumayan. Semula keluarga Pak Sabar tak habis mengerti terhadap ide menempati rumah yang terbuka itu. Tapi setelah Pak Sabar meyakinkan anak-anak dan istrinya bahwa hidup itu perlu melakukan petualangan-petualangan serta variasi yang mendebarkan, akhirnya mereka setuju-setuju saja.
"Untuk apa duit berlimpah, kalau hidup kita begitu-begitu saja. Monoton. Tidak bervariasi. Menjemukan." Pak Sabar pernah mengatakan obsesinya kepada anak dan istrinya. Waktu itu anak-anak dan istrinya hanya tertawa saja mendengar kegeli­sahan Pak Sabar.
"Nanti kalau ternyata tidak sip, kita bongkar. Kita bangun lagi jenis rumah yang lain." Setelah Pak Sabar menjelaskan tanda-tanda dalam mema­hami kondisi rumah yang sesungguhnya, mereka siap-siap untuk sekedar istirahat sambil menikmati suasana baru. Hal tersebut membuat mereka sadar jika hampir puluhan orang sedang menonton mereka dengan terheran-heran. Suatu hal yang membuat Pak Sabar justru mendapat hiburan tersendiri.
"Apa Papa bilang. Kita melakukan hal yang spektakuler. Coba lihat. Coba lihat tuh!."
Anak-anak Pak Sabar menoleh dan menanggapinya dengan perasaan jengah. Bagaimanapun juga mereka belum terbiasa ditonton orang banyak. Sebagai orang yang normal-normal saja, ada hal-hal tertentu yang menyebabkan seseorang menjadi malu- malu bila diperhatikan. Malu kalau hal-hal yang berbau pribadi diketahui orang banyak. Apalagi ketika si bungsu Leny merasa ingin ke belakang.
"Kalau mau buang air besar bagaimana Pap?." Si bungsu kehilangan akal. Dia membayangkan kalau dia segera buang air besar yang tempat dan segala sarana telah tersedia di rumah baru itu, pasti ia akan menjadi totonan yang menarik. Tidak hanya bagi keluarganya, terlebih-lebih terhadap orang lain di luar sana. Sebetulnya yang membuat Leny malu bukan sekedar dilihat buang air besar.
"Nanti, tahinya kan juga kelihatan." Katanya malu-malu kucing.
"Iya Pak, kalau mau mandi bagaimana Pap. Nampak dong semuanya?," Santi menambah pertanyaan adiknya.
Ternyata pertanyaan seperti itu sudah diperhitungkan oleh Pak Sabar beserta jawabannya. "Peduli amat, nanti semua akan terbiasa. Ala bisa karena biasa." Pak Sabar berpepatah. "Santailah sedikit. Nikmati hidup. Soal malu itu kan karena terbiasa diakui sebagai kemaluan. Tapi kalau tidak diakui sebagai kemaluan nanti semua akan terbiasa. Percaya saja kepada Papa"
Pak Sabar memang orang yang serba sukses. Ia terbukti sukses pula dalam mendidik anak-anaknya agar patuh kepada orang tua. Nasihat Pak Sabar segera saja diterima oleh anak- anaknya, juga istrinya. Mereka, awal-awal memang agak malu melakukan aktivitas seperti mandi, buang air besar, atau makan, karena jelas terlihat semuanya dari luar. Tapi lama-lama mulai terbiasa. Bahkan semakin hari semakin mendatangkan kenikma­tan bagi mereka. Bisa mengundang perhatian. Bisa menjadi berita, karena segera saja beberapa wartawan datang membuat liputan khusus tentang rumah kaca beserta penghuninya. Pak Sabar dan keluarganya menjadi buah bibir.
Suatu siang, beberapa hari kemudian tak pelak Pak Sabar menjadi tontonan khusus ketika ia melakukan hubungan seksual dengan istrinya yang masih amboi itu. Walau peristiwa hubungan seksual bukan suatu hal yang baru bagi anak-anaknya, bahkan mungkin bagi masyarakat pada umumnya, toh harus diakui membuat mereka risih. Membuat masyarakat sibuk bergunjing. Tapi itu tidak lama. Cuma soal terbiasa atau tidak. Apalagi ketika melihat Papa dan Mamanya biasa-biasa saja. Seperti tidak melakukan suatu yang agak riskan bila dilihat orang banyak.  Kejadian ini menjadi pelajaran yang baik bagi anak-anaknya.
Tak mau kalah dengan Bapaknya, keesokan harinya Santi membawa teman laki-lakinya melakukan hubungan seksual di rumahnya. Si Robi juga tak mau kalah, ia membawa teman perempuannya melakukan hubungan seksual. Si bungsu Leny tak mau ketinggalan, ia membawa teman sekolahnya melakukan hubungan seksual. Semua melakukan hubungan seksual. Semua menjadi totonan yang mengharubiru.
Yang jelas, hampir tiap ada kejadian penting, masyarakat setempat mendapat hiburan yang mengasyikkan. Orang kampung seperti selalu mendapat barang baru untuk dipergunjingkan. "Tidak perlu lagi nonton film Indonesia. Tidak perlu nonton BF." Seorang penduduk mengungkapkan rasa kepuasannya.
Ide Pak Sabar yang sensasional itu lama-kelamaan men­gundang para orang kaya lainnya berlomba-lomba mendirikan rumah kaca, sehingga tak berapa lama kemudian mode rumah kaca pun menjamur, di mana-mana, di sembarang tempat. Mereka pun berlomba-lomba melakukan aktivitas penting di dalam rumahnya masing-masing. Kejadian siapa menonton siapa akhirnya menjadi tidak jelas. Semua menjadi aktor, semua menjadi penonton.
Kejadian ini tentu saja membuat Pak Sabar tidak merasakan sesuatu yang sensasional lagi. Ia mulai menghadapi sesuatu yang tidak menantang. Masyarakat bahkan sudah tidak tertarik lagi untuk memperhatikan isi dan kegiatan di rumahnya. Suatu pagi, Pak Sabar berpikir ingin membongkar rumah kacanya, dan membangun jenis rumah yang lain. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar