Sabtu, 14 April 2012

HARGA DIRI


HARGA DIRI

Semenjak diwisuda sebagai seorang sarjana hukum, sudah tujuh tahun Sarjono menganggur. Sudah puluhan instansi ia lamar. Doa-doa secara rutin telah ia hujahkan. Puasa prihatin telah dia kerjakan. Waktu tujuh tahun telah membuatnya terlihat tua dan lelah. Dia pun semakin menyadari bahwa dengan kesar­janaannya itu, dia seperti tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak jarang dia bertanya, apa yang telah dipelajarinya lebih dari enam tahun pada fakultas di perguruan tinggi yang cukup punya nama di kotanya. Kok hampir tidak berguna. Padahal nilai kelulusannya tidak tergolong jelek. Kalau ada sedikit kenangan, ia pernah diajar demonstrasi oleh kakak-kakak kelasnya. Ia pun sering ikut-ikutan demonstrasi. Demonstrasi anti korupsi, penegakkan hukum, demonstrasi pelanggaran HAM, anti KKN, dan sebagainya.
Tapi nyali sebagai seorang demonstran itu sekarang nyaris sirna. Kalau ingin demo, demo kepada siapa, bagaimana caran­ya. Karena alasan apa. Toh yang namanya pengangguran itu puluhan juta. Pernah juga terbetik di pikirannya, bagaimana menggerakkan puluhan juta penganggur untuk demo. Ide itu akhirnya dia tumpas sendiri. Rasa takut jika nanti ditangkap lebih mengerikan daripada menjadi penganggur.
Yang susah tentu bukan hanya Sarjono. Ibu Sarjono, yang merasa demikian bersusah payah menyekolahkan anaknya, tidak kurang stresnya. Ia merasa gairah hidupnya semakin hari sema­kin meluntur. Rasa harapnya dari hari ke hari semakin pupus. Cuma, tidak ada yang dapat dia kerjakan selain pasrah kepada keadaan.
Suatu hari, sepulang dari bepergian, Sarjono membawa berita yang mengejutkan. "Syukurlah Bu, akhirnya saya diterima bekerja."
Mendengar berita yang telah ia tunggu bertahun-tahun itu, alangkah gembira hatinya. Ia pun berteriak memanggil anak- anaknya yang lain. Adik-adik Sarjono berkumpul.
"Beri selamat kepada Masmu. Akhirnya dia dapat kerjaan. Mulai besok dia sudah masuk kerja," ucap Ibunya tanpa mampu menyembunyikan rasa bangga.
"Selamat Mas. Jangan lupa nanti kalau sudah menerima gaji, saya dibelikan sepatu."
"Gitu dong Mas. Saya dibelikan kaos saja."
Sarjono menerima ucapan selamat adik-adiknya, dan ia berjanji kelak pada gaji pertamanya akan membelikan permintaan adiknya. Ia segera ke kamar untuk memberi kesan sibuk. Membongkar-bongkar arsip yang ia simpan pada sebuah tas besar tua dan berdebu. Beberapa berkas bahkan seperti sudah dimakan rengat. Rumah yang lembab dan sumpek, katanya, tempat kesukaan rengat.
Waktu tidur siang adik Sarjono bermimpi. Bermimpi naik motor keliling kota membonceng Sarjono. Mampir ke mal, beli sepatu, beli bakso. Riang dan perut kenyang, Sarjono masih menawarkan ingin beli apa lagi. "Aku sudah lama ingin beli walk-man." Dia terbangun karena tetangganya menyetel lagu Gelas-Gelas Kaca yang dinyanyikan Nia Daniati demikian keras.
Adik Sarjono yang lain bermimpi pada hari ulang tahunnya dihadiahi oleh kakaknya sebuah T-Shirt berwarna oranye. Di bagian dada kaos itu ada tulisan LA. Diciumnya berkali-kali kaos itu. "Tahun depan hadiahi aku levis ya, mas."
* * *
Malam harinya wajah Sarjono tampak muram.
"Ada apa?" Ibunya tanggap.
"Betul Bu, saya diterima bekerja. Tapi ada syaratnya. Syaratnya saya bersedia membayar sebesar delapan juta rupiah."
"Lapan juta rupiah?" Ibu Sarjono terperangah. "Uang bagaimana itu. Orang bekerja itu dapat uang, sekarang belum bekerja malah membayar. Maksudnya nyogok gitu?"
"Sekarang itu wajar Bu. Semua orang melakukan hal yang sama. Apa lagi saya dijanjikan akan menempati kedudukan yang baik, gaji yang baik, dan fasilitas tempat tinggal."
"Dari mana kita mendapatkan uang sebanyak itu?"
"Itulah yang saya pikirkan. Karena jelas mendapatkan uang sebanyak itu tidak mungkin. Setelah berpikir sejenak, akhirnya segera saja saya tolak."
"Apa? Jadi?"
"Saya sudah membuat pernyataan resmi dan minta maaf karena saya tidak mau dengan cara seperti itu."
"Lho, lho, lho, kenapa kamu tidak mengajak berbicara kepada Ibumu dulu. Walaupun uangnya sebesar itu, mana tahu kita punya pilihan lain yang lebih baik. Kalau perlu emas Ibu akan Ibu jual. Sepe­tak sawah warisan juga bisa dijual. Kenapa kamu seceroboh itu. Apa kamu tidak kasihan dengan adik-adikmu. Dia terpaksa tidak sekolah semenjak ditinggal Bapak. Untung kamu masih sempat selesai. Kalau tidak? Diterima pekerjaan malah menolak!" Ibu Sarjono mulai meradang.
"Ini persoalan harga diri."
"Harga diri. Kamu bicara harga diri." "Apa boleh buat. Kedengarannya saya telah berlaku sombong. Di tengah orang-orang antri mencari pekerjaan, mengais-ngais uang dengan cara bagaimanapun dan di mana pun, saya malah sok moralis. Tapi kapan lagi kita memulai sesuatu yang idealis dan moralis. Apalagi saya tidak membela siapa- siapa. Saya cuma membela harga diri. Mungkin cuma itu yang tinggal saya miliki. Semuanya sudah terlanjur. Sudah kepalang basah. Singkat kata, saya tidak mau berkerja dengan tidak jujur. Saya tidak mau bekerja pada sebuah perusahaan atau apapun karena uang haram."
"Apa yang tidak haram sekarang ini. Mencari makan secara halal saja sulit. Ibu kira kamu tidak lebih seperti pahlawan kesiangan. Kamu bisa apa selama ini. Kamu akan mampus sen­diri." Ibunya tak kalah sengit.
"Kalau saya menerima tawaran itu, itu artinya saya tidak berbeda dengan orang lain. Tidak. Saya tidak sudi memulai suatu kerjaan dengan cara gelap dan kotor. Itu jenis penyakit sosial yang harus diberantas. Saya tidak berbeda dengan agen-agen KKN yang lain. Saya tidak mau hanya membuat kaya orang yang sudah kaya." Sarjono tidak mau tahu apakah kata-katanya dapat dimengerti oleh ibunya atau tidak.
Dijawab seperti itu Ibunya melunak. Dia merasa, bagaima­napun, ada kebenaran dalam perkataan anaknya. Kalau kondisi tidak seburuk pengalaman hidupnya, ingin rasanya ia memuji anaknya. Ingin ia memelihara sikap anaknya agar bersikap teguh dan tidak mudah tergoda.
"Kalau bekerja kan lebih mapan. Hatimu akan lebih ten­ang. Ada gaji bulanan yang dapat diharapkan. Tidak cemas terus. Kamu juga bisa segera berkeluarga. Sudah berapa usiamu sekarang. Selama ini kan ibu tidak pernah menuntut kamu macam-macam."
Kedua adik Sarjono yang tadinya mau tidur, tertarik ingin mengetahui pertengkaran antara kakak dan ibunya yang secara samar-samar sempat didengarnya dari kamar mereka.
Sarjono dan Ibunya mendiam.
"Kok belum tidur?"
"Bicara apa? Serius sekali?"
"Kami sedang membicarakan apakah tawaran pekerjaan itu diterima atau tidak. Soalnya, ada kemungkinan Mas akan ditem­patkan di kota lain. Ibu keberatan. Kata Ibu, di rumah ini tidak ada laki-lakinya. Tapi Mas bersikeras bahwa walaupun kota itu cukup jauh, Mas berjanji akan selalu pulang. Paling tidak sekali tiga bulan."
Adik perempuan yang tua hampir menyangka jika Sarjono seperti berbohong. Melihat kesungguhan wajah kakaknya, dia menjadi percaya bahwa sangat mungkin apa yang sepenggal- sepenggal di dengar di kamarnya itu tidak benar. Mereka berpi­hak kepada Sarjono. Mereka mengatakan bahwa sudah saatnya nasib harus dirubah. Salah seorang berkata.
"Kami kira Mas Jono betul Bu. Kami setuju. Tapi jangan lupa lho Mas?"
"Kalau Mas tidak keberatan. Saya ingin sekolah lagi."
"Saya juga. Paling tidak kursus-kursus menjahit, atau apalah."
Ibu Sarjono memandang tajam kepadanya. Sarjono menjadi tidak enak sendiri. "Sudahlah. Lihat saja nanti. Hari sudah larut. Tidak ada salahnya kalian tidur. Jangan lupa, besok Mas dibangunkan pagi hari. Banyak hal yang harus Mas urus."
Dinasihati demikian kedua adik Sarjono ke kamarnya. Dalam kamar mereka sempat bercakap-cakap.
"Kasihan Mas Jono. Ia akan hidup sendirian. Siapa yang akan mengurus makannya. Siapa yang akan mencuci dan menye­trika pakaiannya, siapa yang akan membersihkan kamarnya."
"Itu soal mudah. Kalau ada uang semua bisa diongkoskan. Dan lagi, mana sempat Mas Jono ngurus itu semua. Ia pasti sibuk dengan pekerjaannya."
Di beranda depan, diterangi lampu remang-remang Sarjono dan Ibunya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka sibuk mengatur siasat, perkataan apa yang akan mereka katakan jika masalah penolakan Sarjono dipersoalkan lagi.
"Apa tidak mungkin pernyataanmu itu dicabut?" Ibunya mengabil inisiatif.
"Tidak mungkin. Sekali lagi ini soal harga diri. Apalagi, sambil menyerahkan surat itu, saya sempat berujar. Maaf Tuan, saya memang sangat membutuhkan pekerjaan ini. Dan saya yakin pekerjaan ini akan sangat cocok dengan saya. Tapi saya tidak dapat memulai suatu pekerjaan jika perasaan saya dalam keadaan tertekan menanggung beban."
Ibunya menggeleng-gelengkan kepala. Kekecewaannya ber­tambah-tambah.
"Mulanya Tuan itu sempat mempertahankan saya. Dia bilang, Wah kalau tahu begini, kita dong yang rugi. Saya tersen­yum penuh kemenangan. Sekali lagi saya bilang, maaf". Tak terdengar jawaban sepotong pun dari Ibu Sarjono. Dengan hati luka, ia beranjak ke dalam rumah. Terdengar ada sebuah pintu ditutup agak terbanting. Bantingan pintu itu seperti membanting harga dirinya. Tidak pernah ibunya menutup pintu lebih keras dari malam itu. Ia menjadi luka sendiri, melukai hati ibunya. Ada perasaan bersalah karena skenario yang telah dia rancang tidak sesuai dengan harapannya. Dia berharap bahwa cerita kepada ibunya itu akan melegakan hati ibunya. Karena bagaimana pun juga toh mencari uang delapan juta rupiah itu hampir tidak mungkin. Dengan cerita penolakan itu paling tidak akan membuat ibunya menjadi ringan. Dia tidak menyangka bahwa ibunya justru berani menjual harta tabungan berupa emas atau sepetak sawah. Satu hal yang hampir tidak pernah diketa­huinya kalau ia tidak membawa cerita itu. Di langit bulan sabit dan bintang berkelap-kelip seperti biasa.
* * *
Menjelang subuh, Sarjono perlahan-lahan ke kamar Ibunya. Matanya merah dan ngantuk. Diperhatikannya Ibunya, tahulah ia jika Ibunya tidak pula dapat tidur. Sambil duduk di pinggir dipan, dipegangnya tangan Ibunya.
"Sebetulnya, saya tidak pernah diterima di perusahaan apa pun Bu."
Ibunya menganggukkan kepala sambil meneteskan air mata. Dipegang dan dibelainya kepala anak tertuanya itu.
"Seandainya diterima, kita juga tidak dapat membayar. Ibu tidak punya simpanan emas barang secuil pun. Apalagi sepetak sawah." * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar