AROMA TUAK
Tiga desa bertetangga, desa Pang, Ping, dan Pong.[1]
dicengkram berita isu simpang-siur. Setiap desa saling menuduh beberapa
kejadian belakangan ini. Orang desa yang satu menuduh desa tetangga yang lain
maling. Siapa lagi kalau bukan mereka orang-orang Pang, kata salah seorang
penduduk desa Pong. Belum lama berselang ditemukan mayat tak dikenal, mereka
saling melemparkan prasangka.
Orang desa Ping mengatakan itu pekerjaan orang-orang
Pong. Polisi sendiri hingga kini belum dapat mengklarifikasi pembunuhan itu.
Seorang perempuan dicabuli oleh entah siapa. Tapi siapa wanitanya juga tidak
jelas. Atau sejauh mana bentuk pencabulan itu. Cuma orang- orang Pang yakin
jika itu ulah pemuda Pong. Rumah Pak Dukuh Pang tiba-tiba terbakar. Penyebabnya
belum diketahui. Ada isu rumah di Ping dipakai untuk sarang perjudian.
Hari-hari berjalan sesak dan sumbang. Saling curiga. Aroma tuak permusuhan semakin membusuk. Emosi orang-orang pelan-pelan bertumpuk. Batas antara
opini, fakta, provokasi menjadi tidak jelas. Bara dalam sekam itu terus
bergolak. Beberapa di antaranya bahkan menganggap bahwa ini bukan hanya masalah
orang-orang kampung, tetapi sudah menyangkut masalah pribadi. Masalah harga
diri. Mungkin ada di antara mereka yang merasa tersindir jika masyarakat membicarakan
silang sengkarut cerita-cerita itu.
* * *
Di sebuah rumah, Umar mengasah-ngasah parangnya.
Sekali-sekali ia berhenti untuk merasakan ketajaman parang itu dengan
menggesek-gesekkan sisi tipis parang dengan kulit jempolnya. Kembali ia
mengasah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak perlu memberi tanda-tanda. Dengan gerakan tiba- tiba, ia tebas leher itu. Darah
muncrat. Kepala menggelinding. Dan ia memenangkan perkelahian itu. Terlintas di
kepalanya perkelahiannya beberapa tahun lampau. Punggungnya sobek. Dua jarinya
bagian kiri hampir putus.
"Jangan dikira hanya dia saja
yang jagoan di muka bumi ini. Tapi bagaimana kalau dia dulu yang mengambil
tindakan. Pakai apa dia. Umar tambah semangat mengasah. Berarti aku harus siap
menangkis, mungkin dari kiri. Bagaimana
kalau dari atas."
Kembali Umar menggesekkan parangnya dengan kulit
jempolnya. Ia mengambil beberapa lembar rambutnya, dan memotong rambut itu
dengan pedangnya. Putus. "Berarti aku harus mengamankan leherku juga.
Tidak aku harus lebih dahulu mengambil tindakan. Tanpa aba-aba, tanpa
tanda-tanda." Ia ingat beberapa gerakan silat yang pernah dilihatnya di
TV, membuat- gerakan menyerang. Bertambah semangat Umar mengasah pedangnya.
"Aku ingin jadi Mushasi", katanya dalam hati. "Apakah Mushasi sempat
mengasah pedangnya. Kalau tidak, itu artinya aku lebih baik."
* * *
"Kamu megang siapa. Aku megang Tambi. Kamu tahu sendirilah track record-nya selama ini.
Sudah empat kali dia membunuh. Dia itu kebal. Jago bela dirinya."
"Aku njagoin Sobri. Kalau dibandingkan,
dia itu tidak ada apa-apanya. Sobri sudah beberapa kali mbacok orang dengan
sukses. Dan yang lebih penting dari itu, nyalinya. Tidak ada yang
ditakutinya."
"Kalau aku yakin bahwa mereka akan terbunuh semua. Aku yakin yang akan berdiri terakhir adalah Tubu."
"Berani megang berapa kamu?"
"Lho, terserah. Kamu berani berapa. Seratus dua
ratus."
"Ya, bukan aku tidak menghargai nyawa. Tapi aku
jelas tidak punya uang sebanyak itu."
"Kamu itu sok saja. Gayanya seperti pejudi besar.
Baru ditantang seratus dua ratus saja sudah bingung. Kalau tidak punya uang,
jangan sok bertaruh."
"Bagaimana kalau dua puluh saja."
"Terserah. Gini saja. Kalau jagoku yang kalah. Kamu
dapat seratus. Tapi jangan khawatir, aku tidak akan kehilangan uangku."
* * *
Suara mesin grendo seperti nyanyian pengantar perang.
Endo mengasah-ngasah ujung tombak dengan menekan-nekankan ujung tombak pada
batu yang berputar itu. Berhenti, merasakan keruncingan tombak. Endo membuat
beberapa gerakan seolah- olah ia sedang menusuk sesuatu. Dibayangkan bahwa yang
ditusuk itu perut seseorang.
"Blleesh". Tembus ke belakang. "Bagaimana
kalau dia tidak langsung mati, dan masih sempat menggerakan pedangnya ke
leherku. Wah, kalau begitu aku harus bersenjata dua untuk menangkis. Berarti
aku harus menga mankan leherku juga. Tidak. Aku harus lebih dahulu mengambil
tindakan. Tanpa aba-aba, tanpa tanda-tanda." Ia ingat beberapa gerakan
silat yang pernah dilihatnya di TV. Endo bertambah semangat memperuncing
tombaknya. Setelah itu, ia akan menjajal ujung tombak pada sebatang pohon
pisang di belakang rumah, seperti menombak perut. "Aku akan menjadi Brama
Kumbara".
* * *
Suken berjalan gegas ke rumah Timbul. Beberapa bulan yang
lalu mandaunya dipinjam Timbul. Waktu itu Timbul bilang bahwa ia perlu senjata.
"Maling itu perlu dihentikan. Kalau tidak, kampung kita tidak aman".
Dia ingat bagaimana kemudian mandaunya beraksi. Timbul menebaskan mandau itu
pas pada bagian bawah betis maling. Untung kaki maling itu tidak putus.
Urat-urat terputus dengan nganga yang besar. Dengar-dengar kabar maling itu
akhirnya mati di rumah sakit. Dengar-dengar kabar, sebetulnya maling itu belum
mati walau darahnya tumpah menyecer bumi. Tapi karena di rumah sakit tidak
segera mendapat perawatan, maling itu mati. Sekarang Suken membutuhkan mandau
itu. Paling tidak mandau itu telah terbukti cukup tajam. Ia tidak mau mengambil
resiko jika ternyata masuh-musuhnya membawa senjata, dan ia tidak. Bisa mati
konyol. "Mudah- mudahan mandau
itu masih disimpan. Kalau tidak, kemana cari senjata. Tinggal tiga hari
lagi".
Sempat juga Suken pesan dengan desain khusus, mirip
celurit, tapi tidak persis celurit. Si
pembuat senjata tidak sanggup dengan rentang waktu dua hari. Ia butuh seminggu
membuat senjata desain khusus itu. Sambil bergegas jalan, Suken merekonstruksi
perkelahian-perkelahian yang pernah dilihatnya di TV. Ada sedikit rasa ragu,
mana tahu jika lawannya akan lebih cepat. "Tidak. Aku harus lebih dahulu
mengambil tindakan. Tanpa aba-aba, tanpa tanda-tanda. Ini soal sederhana. Tidak
ada yang perlu ditakutkan. Paling masuk penjara. Ah, penjara.... Emang
kenapa?"
* * *
Koko mengajak Pece, Pak De, Karma, Totong, dan Guteng
berkumpul di rumah Deni. Dia
berpesan agar teman-teman yang lain tidak perlu diberi tahu. "Ini
pertemuan rahasia", katanya kepada Karma. Pece berpesan kepada Guteng agar
tidak bercerita dulu kepada teman-teman yang lain karena kalau bocor semua
rencana bisa kacau balau.
"Bagaimana? Di mana jadinya?"
"Aku tidak pasti. Katanya di bulak."
"Kemarin aku ketemu Tambi. Ia bilang tanggal 17
besok. Ia tidak menyebutkan tempat".
"Kamu itu bagaimana. Cuma tanya saja tidak
berani."
"Aku tidak tahu betul masalahnya. Jadi aku cuma
bertanya kapan. Sebetulnya ada apa?"
"Sekarang semuanya tidak penting. Nanti kamu akan tahu sendiri. Begini saja, nanti akan aku
tanyakan ke Endo. Kalau ada informasi nanti aku kabari."
"Biarkan saja mereka saling menghabisi. Kita akan
menikmati wilayah-wilayah yang akan ditinggalkannya. Lumayan. Lebih dari cukup
untuk berfoya-foya." Mereka terbahak kecil, ada yang senyum, ada yang
kecut dan ragu.
"Sekali lagi, ini sesuai dengan rencana."
* * *
Gejojak di desa Pang, Ping, dan Pong makin sensitif. Orang siapa orang mana menjadi kacau.
Terdengar kabar bahwa Suken akan mengajak dua temannya waktu di penjara dulu.
Sobri menuduh Endo yang membunuh bapaknya gara-gara perjudian tempo hari.
"Siapa lagi kalau bukan Endo", kata Pak De. Koko pernah berkata
kepada Umar bahwa Tubu yang memperkosa istri Umar ketika Umar dalam pelarian
dulu. Tambi tidak terima karena dia yang dituduh menyebar fitnah. Ia memang
pernah omong-omong dengan Koko, tetapi sama sekali tidak membicarakan masalah
itu. Kata Pak De, Sukenlah yang curang dalam perjudian itu. Totong mengatakan
permasalahan menjadi demikian kusut.
"Ini semua harus diselesaikan. Kalau tidak, kampung
kita menjadi tidak nyaman. Kalau ada apa-apa siapa yang bertanggung
jawab." Endo menawarkan penyelesaian secara jantan. Dan ia menentukan
sebuah malam, minggu depan. Tertantang dengan penyelesaian cara Endo, Suken
mengatakan bahwa penyelesaian secara jantan akan lebih baik.
"Ini soal harga diri."
"Harga diri tai sapi. Aku lebih senang kalau di antara kita ada yang terbunuh.
Bukan apa-apa. Dalam sebuah wilayah, tidak boleh ada dua raja."
"Memang, selama ini siapa yang menjadi raja. Kambing
itu cerewet amat. Akan aku habisi dia malam itu."
* * *
Malam, dingin, dan kaku. Pada sebuah bulak, alang-alang
bergerak tegang dibelai angin. Remang-remang cahaya bulan tembus di balik
pepohonan. Nyanyian jangkrik terdengar sumbang dan aras-arasen. Di sebelah bulak, kuburan tua, gelap dan lembab. Entah
sudah berapa nyawa dikuburkan di sana. Bunga- bunga Kamboja memutih seperti
burung Dares, melambai-lambai waspada. Sekali dua terdengar dekur suara burung
hantu. Di balik semak-semak, beberapa pasang mata menatap siap.
Sambil menenteng sebilah parang. "Yang berdiri
terakhir, dialah yang benar." Sekali-sekali
ia menoleh ke atas. Ada rasa gentar dalam dirinya. Sebetulnya ia tidak pernah
berniat, jika malam ini harus terjadi. Apa lacur, dia tidak mau dituduh membunuh
orang tua yang sudah tidak berdaya.
Di pinggir jalan lain, seseorang menarik napasnya dalam-
dalam. Entah sudah berapa batang rokok habis dihisapnya. Tapi ketegangan di
dalam tubuhnya tidak pernah hilang, bahkan bertambah. Ia tahu persis yang memperkosa
wanita itu bukan dia, tapi temannya. Cuma karena solider, ia diam saja. Eh, kok
sekarang tuduhan mengarah ke dirinya. Sudah dia katakan berulang kali bukan dia
yang memperkosa, tapi tidak ada yang percaya. Bagaimana lagi.
Masa aku tega berlaku curang. Aku memang bukan orang
jujur, sering menipu, tapi aku tidak mau jadi penipu uang sebesar sepuluh ribu
rupiah. Kalau mau jadi bajingan jangan tanggung- tanggung.
Langit malam, bintang berkelang-keling. Tidak ada yang
perlu dipikirkan lagi. Jika dipikir-pikir tidak ada satu alasanpun yang berarti
untuk sekedar membunuh. Itu sudah tidak penting. Tidak ada pelajaran apa pun
bahwa membunuh atau terbunuh itu harus beralasan. Siapa pun kini terjebak di
dalamnya. Masalahnya, milik siapa malam itu? Desa Pang, Ping, dan Pong beraroma tuak kematian. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar