Sabtu, 14 April 2012

AROMA TUAK


AROMA TUAK

Tiga desa bertetangga, desa Pang, Ping, dan Pong.[1] dicengkram berita isu simpang-siur. Setiap desa saling menuduh beberapa kejadian belakangan ini. Orang desa yang satu menuduh desa tetangga yang lain maling. Siapa lagi kalau bukan mereka orang-orang Pang, kata salah seorang penduduk desa Pong. Belum lama berselang ditemukan mayat tak dikenal, mereka saling melemparkan prasangka.
Orang desa Ping mengatakan itu pekerjaan orang-orang Pong. Polisi sendiri hingga kini belum dapat mengklarifikasi pembunuhan itu. Seorang perempuan dicabuli oleh entah siapa. Tapi siapa wanitanya juga tidak jelas. Atau sejauh mana bentuk pencabulan itu. Cuma orang- orang Pang yakin jika itu ulah pemuda Pong. Rumah Pak Dukuh Pang tiba-tiba terbakar. Penyebabnya belum diketahui. Ada isu rumah di Ping dipakai untuk sarang perjudian.
Hari-hari berjalan sesak dan sumbang. Saling curiga. Aroma tuak permusuhan semakin membusuk. Emosi orang-orang pelan-pelan bertumpuk. Batas antara opini, fakta, provokasi menjadi tidak jelas. Bara dalam sekam itu terus bergolak. Beberapa di antaranya bahkan menganggap bahwa ini bukan hanya masalah orang-orang kampung, tetapi sudah menyangkut masalah pribadi. Masalah harga diri. Mungkin ada di antara mereka yang merasa tersindir jika masyarakat membicarakan silang sengkarut cerita-cerita itu.
* * *
Di sebuah rumah, Umar mengasah-ngasah parangnya. Sekali-sekali ia berhenti untuk merasakan ketajaman parang itu dengan menggesek-gesekkan sisi tipis parang dengan kulit jempolnya. Kembali ia mengasah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak perlu memberi tanda-tanda. Dengan gerakan tiba- tiba, ia tebas leher itu. Darah muncrat. Kepala menggelinding. Dan ia memenangkan perkelahian itu. Terlintas di kepalanya perkelahiannya beberapa tahun lampau. Punggungnya sobek. Dua jarinya bagian kiri hampir putus.
"Jangan dikira hanya dia saja yang jagoan di muka bumi ini. Tapi bagaimana kalau dia dulu yang mengambil tindakan. Pakai apa dia. Umar tambah semangat mengasah. Berarti aku harus siap menangkis, mungkin dari kiri. Bagaimana kalau dari atas."
Kembali Umar menggesekkan parangnya dengan kulit jempolnya. Ia mengambil beberapa lembar rambutnya, dan memotong rambut itu dengan pedangnya. Putus. "Berarti aku harus mengamankan leherku juga. Tidak aku harus lebih dahulu mengambil tindakan. Tanpa aba-aba, tanpa tanda-tanda." Ia ingat beberapa gerakan silat yang pernah dilihatnya di TV, membuat- gerakan menyerang. Bertambah semangat Umar mengasah pedangnya. "Aku ingin jadi Mushasi", katanya dalam hati. "Apakah Mushasi sempat mengasah pedangnya. Kalau tidak, itu artinya aku lebih baik."
* * *
"Kamu megang siapa. Aku megang Tambi. Kamu tahu sendirilah track record-nya selama ini. Sudah empat kali dia membunuh. Dia itu kebal. Jago bela dirinya."
"Aku njagoin Sobri. Kalau dibandingkan, dia itu tidak ada apa-apanya. Sobri sudah beberapa kali mbacok orang dengan sukses. Dan yang lebih penting dari itu, nyalinya. Tidak ada yang ditakutinya."
"Kalau aku yakin bahwa mereka akan terbunuh semua. Aku yakin yang akan berdiri terakhir adalah Tubu."
"Berani megang berapa kamu?"
"Lho, terserah. Kamu berani berapa. Seratus dua ratus."
"Ya, bukan aku tidak menghargai nyawa. Tapi aku jelas tidak punya uang sebanyak itu."
"Kamu itu sok saja. Gayanya seperti pejudi besar. Baru ditantang seratus dua ratus saja sudah bingung. Kalau tidak punya uang, jangan sok bertaruh."
"Bagaimana kalau dua puluh saja."
"Terserah. Gini saja. Kalau jagoku yang kalah. Kamu dapat seratus. Tapi jangan khawatir, aku tidak akan kehilangan uangku."
* * *
Suara mesin grendo seperti nyanyian pengantar perang. Endo mengasah-ngasah ujung tombak dengan menekan-nekankan ujung tombak pada batu yang berputar itu. Berhenti, merasakan keruncingan tombak. Endo membuat beberapa gerakan seolah- olah ia sedang menusuk sesuatu. Dibayangkan bahwa yang ditusuk itu perut seseorang.
"Blleesh". Tembus ke belakang. "Bagaimana kalau dia tidak langsung mati, dan masih sempat menggerakan pedangnya ke leherku. Wah, kalau begitu aku harus bersenjata dua untuk menangkis. Berarti aku harus menga mankan leherku juga. Tidak. Aku harus lebih dahulu mengambil tindakan. Tanpa aba-aba, tanpa tanda-tanda." Ia ingat beberapa gerakan silat yang pernah dilihatnya di TV. Endo bertambah semangat memperuncing tombaknya. Setelah itu, ia akan menjajal ujung tombak pada sebatang pohon pisang di belakang rumah, seperti menombak perut. "Aku akan menjadi Brama Kumbara".
* * *
Suken berjalan gegas ke rumah Timbul. Beberapa bulan yang lalu mandaunya dipinjam Timbul. Waktu itu Timbul bilang bahwa ia perlu senjata. "Maling itu perlu dihentikan. Kalau tidak, kampung kita tidak aman". Dia ingat bagaimana kemudian mandaunya beraksi. Timbul menebaskan mandau itu pas pada bagian bawah betis maling. Untung kaki maling itu tidak putus. Urat-urat terputus dengan nganga yang besar. Dengar-dengar kabar maling itu akhirnya mati di rumah sakit. Dengar-dengar kabar, sebetulnya maling itu belum mati walau darahnya tumpah menyecer bumi. Tapi karena di rumah sakit tidak segera mendapat perawatan, maling itu mati. Sekarang Suken membutuhkan mandau itu. Paling tidak mandau itu telah terbukti cukup tajam. Ia tidak mau mengambil resiko jika ternyata masuh-musuhnya membawa senjata, dan ia tidak. Bisa mati konyol. "Mudah- mudahan mandau itu masih disimpan. Kalau tidak, kemana cari senjata. Tinggal tiga hari lagi".
Sempat juga Suken pesan dengan desain khusus, mirip celurit, tapi tidak persis celurit.  Si pembuat senjata tidak sanggup dengan rentang waktu dua hari. Ia butuh seminggu membuat senjata desain khusus itu. Sambil bergegas jalan, Suken merekonstruksi perkelahian-perkelahian yang pernah dilihatnya di TV. Ada sedikit rasa ragu, mana tahu jika lawannya akan lebih cepat. "Tidak. Aku harus lebih dahulu mengambil tindakan. Tanpa aba-aba, tanpa tanda-tanda. Ini soal sederhana. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Paling masuk penjara. Ah, penjara.... Emang kenapa?"
* * *
Koko mengajak Pece, Pak De, Karma, Totong, dan Guteng berkumpul di rumah Deni. Dia berpesan agar teman-teman yang lain tidak perlu diberi tahu. "Ini pertemuan rahasia", katanya kepada Karma. Pece berpesan kepada Guteng agar tidak bercerita dulu kepada teman-teman yang lain karena kalau bocor semua rencana bisa kacau balau.
"Bagaimana? Di mana jadinya?"
"Aku tidak pasti. Katanya di bulak."
"Kemarin aku ketemu Tambi. Ia bilang tanggal 17 besok. Ia tidak menyebutkan tempat".
"Kamu itu bagaimana. Cuma tanya saja tidak berani."
"Aku tidak tahu betul masalahnya. Jadi aku cuma bertanya kapan. Sebetulnya ada apa?"
"Sekarang semuanya tidak penting. Nanti kamu akan tahu sendiri. Begini saja, nanti akan aku tanyakan ke Endo. Kalau ada informasi nanti aku kabari."
"Biarkan saja mereka saling menghabisi. Kita akan menikmati wilayah-wilayah yang akan ditinggalkannya. Lumayan. Lebih dari cukup untuk berfoya-foya." Mereka terbahak kecil, ada yang senyum, ada yang kecut dan ragu.
"Sekali lagi, ini sesuai dengan rencana."
* * *
Gejojak di desa Pang, Ping, dan Pong makin sensitif.  Orang siapa orang mana menjadi kacau. Terdengar kabar bahwa Suken akan mengajak dua temannya waktu di penjara dulu. Sobri menuduh Endo yang membunuh bapaknya gara-gara perjudian tempo hari. "Siapa lagi kalau bukan Endo", kata Pak De. Koko pernah berkata kepada Umar bahwa Tubu yang memperkosa istri Umar ketika Umar dalam pelarian dulu. Tambi tidak terima karena dia yang dituduh menyebar fitnah. Ia memang pernah omong-omong dengan Koko, tetapi sama sekali tidak membicarakan masalah itu. Kata Pak De, Sukenlah yang curang dalam perjudian itu. Totong mengatakan permasalahan menjadi demikian kusut.
"Ini semua harus diselesaikan. Kalau tidak, kampung kita menjadi tidak nyaman. Kalau ada apa-apa siapa yang bertanggung jawab." Endo menawarkan penyelesaian secara jantan. Dan ia menentukan sebuah malam, minggu depan. Tertantang dengan penyelesaian cara Endo, Suken mengatakan bahwa penyelesaian secara jantan akan lebih baik.
"Ini soal harga diri."
"Harga diri tai sapi. Aku lebih senang kalau di antara kita ada yang terbunuh. Bukan apa-apa. Dalam sebuah wilayah, tidak boleh ada dua raja."
"Memang, selama ini siapa yang menjadi raja. Kambing itu cerewet amat. Akan aku habisi dia malam itu."
* * *
Malam, dingin, dan kaku. Pada sebuah bulak, alang-alang bergerak tegang dibelai angin. Remang-remang cahaya bulan tembus di balik pepohonan. Nyanyian jangkrik terdengar sumbang dan aras-arasen. Di sebelah bulak, kuburan tua, gelap dan lembab. Entah sudah berapa nyawa dikuburkan di sana. Bunga- bunga Kamboja memutih seperti burung Dares, melambai-lambai waspada. Sekali dua terdengar dekur suara burung hantu. Di balik semak-semak, beberapa pasang mata menatap siap. 
Sambil menenteng sebilah parang. "Yang berdiri terakhir, dialah yang benar." Sekali-sekali ia menoleh ke atas. Ada rasa gentar dalam dirinya. Sebetulnya ia tidak pernah berniat, jika malam ini harus terjadi. Apa lacur, dia tidak mau dituduh membunuh orang tua yang sudah tidak berdaya.
Di pinggir jalan lain, seseorang menarik napasnya dalam- dalam. Entah sudah berapa batang rokok habis dihisapnya. Tapi ketegangan di dalam tubuhnya tidak pernah hilang, bahkan bertambah. Ia tahu persis yang memperkosa wanita itu bukan dia, tapi temannya. Cuma karena solider, ia diam saja. Eh, kok sekarang tuduhan mengarah ke dirinya. Sudah dia katakan berulang kali bukan dia yang memperkosa, tapi tidak ada yang percaya. Bagaimana lagi.
Masa aku tega berlaku curang. Aku memang bukan orang jujur, sering menipu, tapi aku tidak mau jadi penipu uang sebesar sepuluh ribu rupiah. Kalau mau jadi bajingan jangan tanggung- tanggung.
Langit malam, bintang berkelang-keling. Tidak ada yang perlu dipikirkan lagi. Jika dipikir-pikir tidak ada satu alasanpun yang berarti untuk sekedar membunuh. Itu sudah tidak penting. Tidak ada pelajaran apa pun bahwa membunuh atau terbunuh itu harus beralasan. Siapa pun kini terjebak di dalamnya. Masalahnya, milik siapa malam itu? Desa Pang, Ping, dan Pong beraroma tuak kematian. * * *


[1] Dengan ingatan kepada puisi Sutardji C. Bachri, Shang---Hai” dalam O Amuk Kapak, 1981.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar