Sabtu, 14 April 2012

PIDATO DI PINGGIR JALAN (PAK DHE KARYO IN MEMORIAM)


PIDATO DI PINGGIR JALAN
(PAK DHE KARYO IN MEMORIAM)

Pada sebuah jalan pemakaman, matahari merangkak lambat dan pucat. Burung-burung  sekali dua tampak melintas-lintas. Di atas kepala beberapa pelayat, nyiur kelapa menjuntai. Diterpa semilir, putih bunga kamboja berguguran. Ada yang tersingkap. Ada yang merapuh.[1] Ada yang bisik-bisik. Ada yang melihat-lihat batu nisan, membaca nama-nama. Menutupi lobang yang menganga, tanah merah kembali ditelungkupkan. Jasad itu telah dikembalikan pada dirinya. Wajah-wajah tampak kusut dan tertegun, tapi tak ngeri. Pemakaman berjalan dengan cepat. Tanpa doa, tanpa air mata.
* * *
Sudah lama Sin-jim mencari-cariku. Ia pernah bercerita kisah seorang mantan pejuang. Dengan mengenakan baju hijau tentara yang sudah usang, sepatu lars tua, peci, ikat pinggang kopel serta tak lupa kaca mata hitam, laki-laki tua itu berdiri di pinggir jalan besar dekat pasar. Tak jarang ia berkacak pinggang, atau memberi aba-aba, atau melakukan gerakan-gerakan langkah tegap seolah seperti sedang berbaris. Kalau kebetulan ada beberapa orang yang merasa tertarik untuk nonton, maka ia berpidato.
"Saudara-saudara sekalian," katanya sambil mengacung- acungkan tangannya ke atas. "Kemerdekaan Republik Indonesia ini tidak akan pernah tercapai tanpa perjuangan Tentara Republik Indonesia." Ia berhenti sebentar menarik napas. "Oleh karena ini, hormatilah para pejuang, para pahlawan, baik yang gugur di medan laga maupun yang selamat sejahtera. Demikian saudara- saudara, ini mohon diperhatikan."
Secara tidak teratur, beberapa orang berhenti dan melihat acuh tak acuh. Yang sendiri-sendiri, dua-dua, dan sekelompok anak SLTA. Saling berbisik, sebagian orang menyorongkan mulutnya ke kuping temannya, yang mendengar menganggku kecil. Laki-laki itu melanjutkan pidatonya.
"Sekarang coba lihat. Bisa anda rasakan sendiri. Pembangunan lancar, kehidupan membaik. Semua serba mudah. Kemerdekaan memberikan kita kesempatan untuk membangun. Kebebasan berkreasi. Kesempatan menikmati hidup. Tapi itu pulalah yang membuat kita lupa diri. Apa saja yang kita kerjakan selama ini selain mengurus dirinya masing-masing." Laki-laki itu memutuskan pidatonya. Serta merta, dengan langkah tegap ia meninggalkan kerumunan kecil itu. Raut mukanya menyiratkan gairah kebanggaan.
Cuma sebetulnya aku ingin mendengarkan kisah-kisah kasih. Tentang burung-burung berterbangan mengepakkan sayap, redup mentari. Bulir-bulir embun. Riak air dan segar pagi hari dengan senandung. Mungkin ocehan bayi.
"Kau lihat?" Sin-jim memperhatikan Pakdhe Karyo asyik mengelus merpati. "Telah putih rambutnya. Berpuluh tahun ia cintai merpati melebihi anak sendiri." Menerawang Sin-jim. "Aku tak mau hidup seperti itu. Usia habis di depan kandang dan tai. Tua, terbungkuk, mati. Tapi ini soal cinta."
Melamun, berjam-jam di depan kandang. Melihat tingkah merpati. Bulu-bulu lepas, berhamburan. Ditangkap, dielus-elus, dimandikan satu satu. Tanpa sepatah katapun. Membersihkan kandang. Duduk lagi. Melamun. Tiduran. Mengeluh pegang pinggang. Masuk angin. Membatin, bahwa hidup ternyata memang sederhana. Tidak sulit seperti yang dicerita-ceritakan orang. 
* * *
Pakdhe Karyo sebah perutnya. Berita-berita di TV sungguh membuat lambung mual. Kenapa dulu jadi tentara. Teringat oleh Pakdhe Karyo teman-teman seperjuangan. Membela bangsa dan negara. Agar hidup bebas dari penjajahan. Ya, dulu kita dihormati sobat. Setiap orang, angkat tangan kanannya, kaki rapat, memberi hormat. Merdeka! Kita disanjung, dipuja. Kalau berjalan, alangkah gagahnya. Berderak-derak. Merdeka!
Bagaimana anak-anak Satroni? Dimana mereka sekarang? Apakah mereka membaca koran, melihat TV? Kalau bukan karena Satroni, Pakdhe Karyo yang gagah ini sudah dimakan cacing.
"Awas Karyo! Tapi justru Satroni yang tertembak. Satroni menghalangi datangnya peluru dengan tubuhnya. Selamat Karyo. Termenung ia di sisi mayat Satroni. "Kenapa itu kau lakukan Satroni. Aku ini apamu?". Tidak pernah ngerti Pakdhe Karyo.
Terlintas pula bagaimana dia menggendong Hartoyo yang kena ledakan mortir berkilo-kilo. Kalau tidak ada Pakdhe Karyo, regu Paiman pasti sudah mati. Di bawah desingan peluru, merangkak mengalihkan perhatian musuh. Strategi jitu. Ngeri membayangkan, kenapa dulu berani melakukan itu. Edan. Ya, kenapa tidak ada rasa takut? Sial, perjuangan demi bangsa dan negara tidak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. "Apa kabar anak Satroni, apakah dia tahu kalau perutku sering mules. Sering muntah-muntah?"
"Jangan melamun terus! Nanti bludrek-nya kumat!" Anak Pakdhe Karyo memperingatkan. Sambil lalu. Basa-basi. Lantas nyelonong meninggalkan rumah membawa bungkusan. Pakdhe karyo hanya melirik.
Rumah kecil dan tua itu sudah kelihatan reyot, kotor, dan busuk. Sudah bertahun-tahun tidak ada yang membersihkan. Padahal, di rumah itu tinggal beberapa orang. Di samping rumahnya kelihatan air menggenang hijau kehitam-hitaman yang bau, pemandangan yang tidak menyenangkan. Sarang nyamuk dan penyakit. Tidak tahulah apa yang mereka kerjakan sehingga rumah dan halaman rumah itu sama sekali tidak sempat mendapat perawatan. Dinding-dinding papan yang mengeropos, dan dua mata Pakdhe Karyo yang jauh.
Di mana anak Satroni? Mestinya aku yang mencarinya. Belum lama berselang ada anak-anak veteran demonstrasi. Minta jasa-jasa orang tuanya dihormati. Jasa-jasa apa? Kalau perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan masih mending. Wong nyerang dan membunuh kok minta dihormati. Siapa suruh? Siapa suruh datang Jakarta? Pak Parkah tersenyum. Eh, tapi siapa suruh dia jadi anak tentara.
Tidak. Pasti di situ tidak ada anak Satroni. Dia anak orang terhormat. Kalau sekarang memang malu-maluin. Masa kerjanya mukulin rakyat. Kalau tidak mukulin rakyat, ya mbekengi tempat-tempat perjudian. Pelacuran. Ngompas pedagang-pedagang. Ah, kita tahulah. Siapa yang enggak tahu. Kayak gitu kok minta dihormati. Nih, Pakdhe Karyo, enggak minta dihormati. Mualnya menjadi-jadi. Ditambah pusing yang merajam- rajam syaraf kepala. Terpikir juga oleh Pakdhe Karyo untuk mencoba menghargai jasa-jasa dirinya. Agar orang-orang-orang mengenalnya. Mengenangnya. Pakdhe Karyo ke bilik. Ia buka koleksi akiknya yang hanya beberapa. Dipandang satu banding satu. Bosan. Ia buka buku harian. Menulis-nulis. Sesekali ia menggaruk-garuk kaki. Gatal. Mungkin digigit nyamuk. Pakdhe Karyo teringat bahwa ia belum membeli obat pembasmi nyamuk. Tersirap darahnya.
* * *
Burung dan kesetiaan. Darah dan tanah. Ya, ini dia. Betul. Sin-jim ingin bercerita tentang burung dan kesetiaan. Darah dan tanah. Tentang putih komboja berguguran. Cuma lidah kelu. Merpati-merpati gelisah. Pakdhe Karyo juga gelisah. Gerimis tak henti. "Bersabarlah wahai burung. Hari tak selalu gerimis."
"Kurus kering orangnya. Kulitnya hitam. Wajahnya seperti tak menyimpan kenangan. Kalau tertawa, gigi kapaknya berkibar." Sin-jim membolak-balik lembaran. Tidak ada yang tahu secara pasti siapa nama lengkapnya. Tetapi orang-orang biasanya memanggilnya Pakdhe Karyo. Barangkali semacam panggilan keakraban saja. Kalau dia ditanya tentang nama lengkapnya, biasanya dia hanya menjawab, "Ya, kira-kira Karyo itu. Mungkin tidak persis seperti itu. Saya sendiri tidak tahu."
Lain lagi kalau orang tanya tentang umurnya.
"Sebetulnya Pakdhe Karyo ini umurnya berapa?," seseorang pernah aku dengar bertanya.
"Ya, kira kira lima-tujuhlah".
Tapi kalau lain kali ada yang bertanya lagi, dia akan bi lang;
"Ya, mungkin sekitar tujuh puluhan".
Nah, tentu saja orang-orang tidak ada yang tahu pasti siapa nama sesungguhnya dan berapa usianya. Habis, mau bertanya kepada siapa. Tak seorang pun yang mengakui sebagai kerabat dekat Pakdhe Karyo. Semua orang di sekitar kampung itu tahu, ia hidup sendiri. Tegasnya, Pakdhe Karyo hidup sebatang kara di dunia ini. Jadi soal nama dan usia memang masih misterius. Kalau soal usia mungkin masih bisa dikira-kira. Walau Pakdhe Karyo sering menjawab secara ngawur, kadang-kadang lima puluhan, kadang-kadang tujuh puluhan. Akan tetapi jika dilihat dari fisiknya, yang sudah penuh dengan uban, kurus, berkaca- mata, dan sedikit membungkuk, yang jelas di atas enam puluhan. Di atas tujuh puluh mungkin tidak. Ya, sekitar enam puluh limaanlah.
Untuk sisi itu Pakdhe Karyo memang sosok yang agak misterius. Tapi bahwa dia penduduk asli Yogya, jelas tidak ada yang menyangsikannya. Semenjak bujang dulu dia sudah tinggal pada sebuah rumah kecil di jantung kampung itu.  Walau begitu, selama itu pula dia tidak pernah punya KTP.
"Untuk apa", katanya suatu hari. "Pekerjaanku tidak membutuhkan KTP. Toh aku tetap bisa makan walau tidak punya KTP. Dulu memang pernah Pakdhe mencoba mengurusnya. Tapi tidak bisa. Pakdhe tidak punya surat keterangan secuil pun tentang diri Pakdhe. "Pakdhe pikir, peduli amat". Katanya sambil tertawa. Dan, memang orang-orang tidak perlu peduli, apakah Pakdhe Karyo punya KTP atau tidak. Orang seperti Pakdhe Karyo memang tidak perlu dipedulikan. Apalah artinya seorang penambal ban sepeda bagi sebuah peradaban modern yang ramai dan serba canggih. Dia orang yang sama sekali tidak perlu dirisaukan keberadaannya. Dia bukan orang yang dapat mengguncangkan proses pemilihan Ketua RT sekalipun.
* * *
Terbayang dalam kepalaku anak seseorang ? Aduh anak siapa gerangan? Siapa namanya? Kenapa aku begitu sulit mengingat nama? Sial benar hidup ini? Hanya mengingat nama saja sulit? Kepala bergoyang ke atas ke bawah pelan. Pendangan terbuang ke mana-mana. Terbersit sejumput keraguan, tentu bukan anak itu yang diceritakan Sin-jim. Sin-jim tidak kenal anak itu. Siapa gerangan yang diceritakan Sin-jim. Mendung menebal. Secarik kesedihan menggores kening. Wajah itu tak kukenal. Biarlah.   
"Oh, iya. Mungkin dia seorang penyair." Kaget Sin-jim melanjutkan. "Paling tidak, cita-citanya menjadi penyair. Kemana-mana membawa pensil dan kertas. Sering kulihat dia termenung-menung di depan rumah. Sambil corat-coret. Kadang- kadang di kebun. Di pasar. Pernah juga di kuburan. Dasar penyair."
Aku tertawa, lebih tepatnya tersenyum. Sebetulnya tidak mengerti, Sin-jim bercerita apa. Rasa penasaran kadang lebih mendebarkan.
"Pernah suatu malam ia bercerita padaku. Katanya aku orangnya sering tak tahan, lompati pagar seenaknya, menyiang ilalang, batu-batu, dan terik yang menyengat. Di tanah ini pernah kutancapkan kegagalan, pada duka ibu, dan hati yang dendam, lantas dimanakah jalan yang dijanjikan, agar longgarlah dada yang sesak, untuk sembunyi, sembari menghitung detik, menawar masa depan. Entah apa yang diceritakan." Sin-jim menyedot rokok dalam-dalam. "Aku ingin protes, kata Pakdhe Karyo. Agar kita menjadi lebih paham sejarah. Bukan untuk bersedu sedan." Dari rautnya yang kosong, aku tahu Sin-jim sedang berusaha memahami apa yang sedang diceritakannya padaku.
Ada kesunyian yang menyengat. "Kalau nyanyian dan semilir angin terus menggoda, maka gelisahnya menjadi suatu yang menyenangkan untuk direngkuh. Bernyanyilah wahai burung-burung, saat terbit matahari, dan tenggelam, dan air mata. Waktu itu, aku hanya mengangguk-angguk saja, lagaknya orang yang arif karena mengerti banyak hal. Mana tahu dengan itu dia menjadi senang. Mungkin selama ini tidak ada orang yang pernah mau mendengar ceritanya."
"Kau dengar. Ia bercerita dengan gaya dan sok mempesona. Layaknya seorang penyair. Siapa nyana kalau dia bekas tentara."
Kembali kami termenung. "Ah, siapa yang peduli dengan kematian?", Sin-jim menutup cerita. Sekarang aku tertawa. "Aku tahu, jangan-jangan engkau juga bercita-cita ingin jadi penyair?". Sin-jim menggelengkan kepada. "Kamu salah lagi. Aku sendiri ingin jadi pembalap. Tapi ini bukan tentang aku." Wajahnya menjadi serius.
* * *
Pagi membuka diri. Bersama gerimis, seorang tua tertelungkup basah di samping buku harian yang terbuka. Ada percik darah di hidung, telinga, dan lantai. Walaupun mulutnya sedikit berbusa, tapi wajahnya seperti sedang berpikir. Kaku, dingin, kesepian. Seberapa nyerikah? Di pinggir meja, ada tulisan pada secarik kertas.

Perjalanan rintih, menjalar
dari ruang ke sudut-sudut sejarah
pribadi, menebar kenangan.
Disaksikan langit dan daun-daun,
juga mata-mata Tuhan,
suara bergelora,
karena cinta yang berbalik.

Misteri hidup. Seperti puisi? Tidak tahulah. Sin-jim meneruskan.

Siapa peduli. Liku-liku menuju batas,
hidup dan mati.
Berguling darah
dan tanah yang sama.

Di pinggir kuburan seseorang berjalan mondar mandir. Beberapa kali ia menoleh ke kuburan, ragu dan berpikir. Selang beberapa waktu, ia memastikan diri dan bertanya sekepada seorang pelayat.
"Siapakah itu yang dikubur?"
Tak ada jawaban, atau bahkan sekedar menganggukan kepala. * * *


[1] Dengan ingatan kepada puisi Chairil Anwar, “Derai-Derai Cemara.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar