Sabtu, 14 April 2012

"MAAF, AKU INI CUMA SEORANG LONTE"


"MAAF, AKU INI CUMA
SEORANG LONTE"

Duduk sambil bersandar pada kursi empuk halus. Udara dingin ber-AC, tidak terdengar suara mesin. Gronjalan halus, di kiri kanan pohon-pohon bergerak. Tak terhitung. Ah, siapa yang mau menghitung. Berkelebat rasa penasaran dan perasaan bersalah. Juga sesal. Sekali-sekali supir membunyikan kelakson. Mobil melata dengan kecepatan tinggi. "Kalau tabrakan bagai­mana? Nanti mati?" Bergolak di dada, ada rasa cemas.
"Hati-hati lho Pak supir." Menyeringai, mengenang. "Beberapa orang mengatakan aku ini seperti Jennifer Lopez. Mereka hanya ngincar hartaku, dan segumpal kehangatan. Itu pasti. Mana berani dia mengatakan aku seperti keledai betina. Aku akan buat dia sempoyongan."
Alunan lagu dangdut menghentak. Lima Menit Lagi. Engkau kan datang ke rumahku. Entahlah, apakah liriknya persis seperti itu. Seorang gadis tiba-tiba harus sibuk berdandan ketika diketahui pacarnya datang. "Aku tidak pernah begitu. Edan apa piye. Gengsi dong. Itu masalah anak-anak." Senyum dikulum, beberapa bagian bedak tebal wangi retak. Ia tahu itu, mengambil saput dan menempel-nempelkan ke wajah. Jempol ikuti irama lagu.  Lagu dangdut bisa atasi kalut.
Scraf leher dibenahi. Bibir lipstik mahal merah menyala persis seperti ondel-ondel, ondel-ondel hidup dan mewah. "Jam berapa sekarang? Ah, jangan khawatir? Mereka pasti menunggu. Aku orang penting. Tanpa aku, mana mungkin acara tersebut dimulai. Acara tersebut diadakan untuk aku. Tidak ada orang penting di sana. Yang ada cuma ular dan penjilat. Dan babi- babi." Lagi-lagi menerawang, sepintas seperti memperhatikan lalu-lintas. Asyik dengan pikiran sendiri. Sekilas melihat sebuah gedung tinggi menjulang, “Milikku. Itu hanya salah satu.”
"Ah, walau mereka ular dan penjilat, kalau mau melidah tubuhku asyik juga kan? Bayangkan jika seratus ular melidah tubuhku." Dulu pernah bercita-cita menjadi penari ular. Meliuk- liuk, bergesekan kulit. Ih alangkah menggelikan, horor, merang­sang. Omte melarang, dia bilang dia bisa menjadi ular itu. Omte tidak main-main, dia menjadi ular sungguhan.
Sampai di tempat. Sekali lagi sempatkan lihat wajah di kaca memastikan diri masih menawan. Turun dari mobil, kepala dan mata lurus ke depan, berjalan yakin. Tetap ada yang tertang­kap. "Benarkan, ada perjaka tampan di pojok itu?" Hadirin mengelu-elu. "Hidup Ibu kita. Seorang dermawan berhati mulia. Seorang wanita tauladan. Seorang tokoh yang perlu ditiru." Semua berebut menyalami. Ada yang membungkuk. Ada yang dengan rakus menyiumi tangan. Ada yang mencoba mencium bokong. Pada sebuah sepanduk tertulis, Selamat Datang Peneri­ma Hadiah Wanita Utama. Hadiah yang diberikan hanya 10 tahun sekali untuk tokoh wanita populer dan berbakti pada nusa dan bangsa.
Hati berbunga. "Siapa nyana kalau aku ini bukan wanita seperti yang mereka bayangkan. Dunia ini memang perlu dikasih ngerti. Mereka pada tertipu. Biar tahu rasa." Kening berkerut. "Terimakasih-terimakasih." Mata kembali mencuri-curi melirik ke sebuah pojok. "Sial kemana laki-laki itu." Menyalami seseor­ang untuk kesekian kalinya.
"Terimakasih. Aku senang sekaligus terharu." Melirik lagi. "Tunggu saja, pasti kamu nanti aku kelo­ni." Sorak-sorai. Di rumah-rumah, ratusan juta orang terpaku di depan teve.
"Luar biasa," kata seseorang.
"Dia pantas menerima hadiah itu," seseorang yang lain sambil menahan kencing karena tak mau kehilangan kesempatan itu. Sesekali, diselingi tayangan aktivitas dan prestasi sang wanita. Ketika ia mengunjungi tempat penampungan anak yatim piatu. "Matikan pompa airnya, nanti listriknya tidak kuat." Ketika ia memberi sumbangan sosial. "Jangan menyetrika dulu. Ini penting." Melihat orang-orang kena musibah bencana alam. Menyanyi dan menari. Pada sebuah acara seminar. Peresmian pabrik. Ceramah. "Dia wanita serba bisa. Dua puluh lima saja wanita seperti dia maka dunia akan sentosa."
Acara inti dimulai. Hati teriris. Semakin dekat acara penyerahan  hadiah, luka hati semakin menganga. Ada yang mengganjal di dada. Menusuk-nusuk kalbu.  "Betul, aku cuma seorang lonte. Pelacur yang sedang nyamar," berbisik kepada diri sendiri, suatu pagi. Berpakaian training, kaca mata hitam, berlari kecil susuri pematang. Dua laki-laki tegap ikut berlari di bela­kang. Hati berlubang, tubuh ringan. Capek. Napas tersengal, peluh membasah, berjalan bersenandung dengan pantat sedikit bergoyang. Kenangan terkikis.
"Yang kami hormati...."
Orang pertama yang selalu muncul di kepala setiap ada perkataan "Yang kami hormati" adalah Omte. Omtelah yang mengajarkan bagaimana menari dan berlenggok. "Wanita itu yang penting bagaimana bisa mengetahui kelebihan dirinya dan menerima keadaan."  Omtelah yang mengajarkan bagaimana bersenandung. "Ilmu tertinggi adalah bisa merendahkan dan menghina diri sendiri." Omtelah yang mengajarkan bagaimana berolah raga, menjaga kesehatan secara alamiah, dan meman­faatkan peluang-peluang. "Ada saatnya kita harus mengambil risiko." Omte pulalah yang mengenalkan apa itu arti laki-laki.
Suatu malam, tiga tahun sepeninggal Tantece, Omte masuk ke kamar tidur. Waktu itu umur enam belas. Dengan mata merah dan kusam. "Aku laki-laki nganggur sebatang kero," sambil memeluk. Kasihan sekali. Entah kenapa, malam itu seperti tidak menyadari bahwa ia Omteku. Maka yang terjadi-terjadilah. Omte yang baik. Ada yang aneh. Ada kekuatan yang tak dapat ditolak, maka yang harus berlangsung berlangsunglah. Berlangganan. Ada baiknya. Semenjak itu, setiap ada acara penting, selalu dibawa. Omte seorang yang terbuka. Omte mentransfer semua ilmunya, bahkan sebagian besar perusahaan.
Tidak perlu cemburu pada Omte. Karena pekerjaan, Omte pergi ke setiap kota. Bisa dibayangkan berapa ratus atau ribu wanita yang disebadani Omte. Apa sekarang yang tidak bisa dibeli. Cinta? Tapi ini bukan soal cinta. Sebagai murid yang baik, tentu harus berprestasi minimal seperti Omte. Terjadilah perburuan itu. Bila aku senang pada laki-laki aku yang bayar. Jika laki-laki yang ngebet aku, aku dibayar. Pernah suatu kali aku dikencani laki-laki tinggi besar, orang Arab. Aku seperti bersebadan dengan badak. Berat dan keras. Badan linu-linu. Aku membalasnya dengan cara memperkosa anaknya yang masih ingusan. Sedap ooeii.
Gambar-gambar di teve. Berjuta-juta orang mematung. Tokoh wanita sedang memberikan sambutan. "Aku bukan wanita yang cukup pantas menerima hadiah ini. Aku yakin banyak wanita yang memiliki kelebihan dibanding aku." Tepuk tangan. Menggeleng-gelengkan kepala. Decak kagum. "Dia orang yang rendah hati." "Namun, dengan bangga dan hormat....."
Suaranya nyaris tak terdengar. Ada keinginan lain dalam ruang batinnya yang menteror, bagaikan ribuan semut mengeru­bugi tubuh. "Betul. Jangan salah paham. Yang aku butuhkan cuma kasih sayang murni. Perjaka lugu, dan daya tahan. Yang lain-lain aku sudah punya. Begitulah." Tapi siapa yang mencoba bertahan mendengar suara batin. Hipnotis, hutan belantara, kenangan-kenangan, berhamburan, silih berganti.
* * *
Sejumlah pemuda parlente duduk melamun. Uang, kulit mulus, kehormatan, bau wangi parfum, dan pelukan. Naik pesawat terbang, mobil mewah, piknik ke luar negeri, belanja, kelonan. Gila. Siapa yang tidak suka itu. Celaka. Apalagi. Laki- laki pun berkisah sendiri-sendiri. Sembunyi-sembunyi. Menyang­kut keselamatan dan reputasi. Menyangkut rezeki.
"Kalau tidak salah tidak kurang dari lima belas kali. Tapi aku tidak pernah menghitung. Cuma kira-kira, mengenang setiap kenikmatan yang pernah kami lakukan."
"Kalau aku tidak terhitung. Maklum."
"Aku cuma sekali. Mungkin bukan tipenya. Soalnya aku ...." Malu-malu kucing. Muka memalu. Yang lain tertawa.
"Kalau ngerayu, minta ampun."
"Dia tidak pernah puas. Jalang."
"Kuda betina." Berderai tawa. Air mata gelak bercucuran.
Kemudian memain-mainkan kepala. Mengingat pengalaman sendiri-sendiri. Membayangkan adegan sendiri-sendiri. Menjilat anggur di perut. Tahi lalat kecil di balik ketiak. Rambut-rambut halus. "Mbak wanita cantik yang pernah aku kenal." Dada bengkak. "Engkau pun laki-laki jantan cakep yang pernah aku rasakan." Kamar yang penuh lukisan. Gambar Nyi Roro Kidul. Lukisan seorang wanita karya Basuki Abdullah. Patung Aguste Rodin yang berpikir dan merenung terus. Kesembunyian men­gangkang. Sayup-sayup instrumentalia klasik Bach. Disambung lagu Mungkinkah. Di lembah yang berlumpur dan bernoda. Di sanalah kini engkau berada. Nyindir. "Tapi ini rahasia lho dik. Kalau ada yang tahu, bisa berabe. Kamu kan tahu siapa aku?"
Takut dan khawatir, masa depan dipertaruhkan. Salah melangkah, rezeki melayang. Salah ucap, nasib baik terpenggal. Siapa pendengar yang setia. Pada rumor, pada gosip yang tidak pernah bisa dipercaya. "Akulah orangnya. Betul-betul mengala­mi. Aku tidak bohong." Siapa percaya siapa tidak. "Terserah. Tapi sesungguhnya ini sangat rahasia lho. Hanya kepada kamu saja aku berani bercerita. Kalau kepada orang lain, tidak akan pernah aku ceritakan." Tawa para pemuda itu kembali berham­buran. Sambil takut-takut, dengan serius mulut didekatkan ke kuping.
"Betul. Ini rahasia. Hanya kepadamu aku bercerita." Air ludah menciprat membasahi kuping. "Sialan kamu."  
* * *
Puncak acara. "Kini tibalah saatnya Yang terhormat kepada Omte yang dimuliakan untuk menyerahkan tanda penghargaan dan hadiah sebagai wanita utama."
Kesenyapan menjalar. Kesadaran itu selalu muncul begitu saja. Tak terbendung. Sekali dua masih melirik dan mencari-cari perjaka tampan yang tadi telah divonis. Dulu pernah aku menga­gumimu. Sekarangpun tetap mengaharapkanmu. Mata berkaca. Lagu itu sungguh mengganggu. "Ya, kenapa dari dulu-dulu aku tidak memberi tahu pada mereka bahwa sebetulnya aku tidak lebih hanya seorang lonte saja. Pelacur yang sedang nyamar."
Hadiah simbolis itu sekarang ada di tangan. Tangan pun bergetaran. "Baru kali ini tangan aku bergetaran." Terkesima. "Betul, sudah saatnya sejarah harus ditelanjangi. Kalau tidak, kapan lagi. Dia hanya akan menjadi virus di syaraf-syaraf kepa­la. Penyakit gatal di kerongkongan. kemudian tua, rambut penuh uban, kulit lisut tak keruan. Edan. Hanya akan membuat semakin muram wajah sejarah." Dengan yakin dan tenang kembali harus berpidato.
"Saudara-saudara sekalian." Terhenti, setetes air mata membasahi pinggiran mata. Air mata kuda betina. "Ada hal penting yang ingin aku katakan. Kembali kesunyian merayap. Mata tak berkedip. Napas tertahan. Berdegup detak jantung. "Tapi, aku sungguh minta maaf. Karena pasti apa yang akan aku katakan ini Anda tidak akan mempercayainya."
Bom waktu. Yang tertegun di rumah-rumah tak berkedip. Membesarkan mata. Listrik mati. "Sialan." Kurang ajar." "Cepat hidupkan," teriak seseorang. "Sudah aku bilang, jangan hidupkan pompa air. Semprul."  Listrik hidup lagi. Kalimat dari pidato berlalu. "Sial." "Gila." Penasaran. Mangkel. Mereka harus menunggu sampai besok.  Kira-kira apa yang akan dikatakan wanita yang meraih predikat sebagai wanita utama itu. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar