"MAAF, AKU INI CUMA
SEORANG LONTE"
Duduk sambil bersandar pada kursi empuk halus. Udara
dingin ber-AC, tidak terdengar suara mesin. Gronjalan halus, di kiri kanan
pohon-pohon bergerak. Tak terhitung. Ah, siapa yang mau menghitung. Berkelebat
rasa penasaran dan perasaan bersalah. Juga sesal. Sekali-sekali supir
membunyikan kelakson. Mobil melata dengan kecepatan tinggi. "Kalau
tabrakan bagaimana? Nanti mati?" Bergolak di dada, ada rasa cemas.
"Hati-hati lho Pak supir." Menyeringai,
mengenang. "Beberapa orang mengatakan aku ini seperti Jennifer Lopez.
Mereka hanya ngincar hartaku, dan segumpal kehangatan. Itu pasti. Mana berani
dia mengatakan aku seperti keledai betina. Aku akan buat dia sempoyongan."
Alunan lagu dangdut menghentak. Lima Menit Lagi. Engkau kan
datang ke rumahku. Entahlah, apakah liriknya persis seperti itu. Seorang
gadis tiba-tiba harus sibuk berdandan ketika diketahui pacarnya datang.
"Aku tidak pernah begitu. Edan apa piye. Gengsi dong. Itu masalah anak-anak."
Senyum dikulum, beberapa bagian bedak tebal wangi retak. Ia tahu itu, mengambil
saput dan menempel-nempelkan ke wajah. Jempol ikuti irama lagu. Lagu dangdut bisa atasi kalut.
Scraf leher dibenahi. Bibir lipstik mahal merah menyala
persis seperti ondel-ondel, ondel-ondel hidup dan mewah. "Jam berapa
sekarang? Ah, jangan khawatir? Mereka pasti menunggu. Aku orang penting. Tanpa
aku, mana mungkin acara tersebut dimulai. Acara tersebut diadakan untuk aku.
Tidak ada orang penting di sana. Yang ada cuma ular dan penjilat. Dan babi-
babi." Lagi-lagi menerawang, sepintas seperti memperhatikan lalu-lintas.
Asyik dengan pikiran sendiri. Sekilas melihat sebuah gedung tinggi menjulang, “Milikku.
Itu hanya salah satu.”
"Ah, walau mereka ular dan penjilat, kalau mau
melidah tubuhku asyik juga kan? Bayangkan jika seratus ular melidah
tubuhku." Dulu pernah bercita-cita menjadi penari ular. Meliuk- liuk,
bergesekan kulit. Ih alangkah menggelikan, horor, merangsang. Omte melarang,
dia bilang dia bisa menjadi ular itu. Omte tidak main-main, dia menjadi ular
sungguhan.
Sampai di tempat. Sekali lagi sempatkan lihat wajah di
kaca memastikan diri masih menawan. Turun dari mobil, kepala dan mata lurus ke
depan, berjalan yakin. Tetap ada yang tertangkap. "Benarkan, ada perjaka
tampan di pojok itu?" Hadirin mengelu-elu. "Hidup Ibu kita. Seorang
dermawan berhati mulia. Seorang wanita tauladan. Seorang tokoh yang perlu
ditiru." Semua berebut menyalami. Ada yang membungkuk. Ada yang dengan
rakus menyiumi tangan. Ada yang mencoba mencium bokong. Pada sebuah sepanduk
tertulis, Selamat Datang Penerima Hadiah
Wanita Utama. Hadiah yang diberikan hanya 10 tahun sekali untuk tokoh
wanita populer dan berbakti pada nusa dan bangsa.
Hati berbunga. "Siapa nyana kalau aku ini bukan
wanita seperti yang mereka bayangkan. Dunia ini memang perlu dikasih ngerti.
Mereka pada tertipu. Biar tahu rasa." Kening berkerut.
"Terimakasih-terimakasih." Mata kembali mencuri-curi melirik ke
sebuah pojok. "Sial kemana laki-laki itu." Menyalami seseorang untuk
kesekian kalinya.
"Terimakasih. Aku senang sekaligus terharu."
Melirik lagi. "Tunggu saja, pasti kamu nanti aku keloni."
Sorak-sorai. Di rumah-rumah, ratusan juta orang terpaku di depan teve.
"Luar biasa," kata seseorang.
"Dia pantas menerima hadiah itu," seseorang
yang lain sambil menahan kencing karena tak mau kehilangan kesempatan itu.
Sesekali, diselingi tayangan aktivitas dan prestasi sang wanita. Ketika ia
mengunjungi tempat penampungan anak yatim piatu. "Matikan pompa airnya,
nanti listriknya tidak kuat." Ketika ia memberi sumbangan sosial.
"Jangan menyetrika dulu. Ini penting." Melihat orang-orang kena
musibah bencana alam. Menyanyi dan menari. Pada sebuah acara seminar. Peresmian
pabrik. Ceramah. "Dia wanita serba bisa. Dua puluh lima saja wanita seperti
dia maka dunia akan sentosa."
Acara inti dimulai. Hati teriris. Semakin dekat acara
penyerahan hadiah, luka hati semakin
menganga. Ada yang mengganjal di dada. Menusuk-nusuk kalbu. "Betul, aku cuma seorang lonte. Pelacur yang sedang nyamar,"
berbisik kepada diri sendiri, suatu pagi. Berpakaian training, kaca mata hitam, berlari kecil susuri pematang. Dua
laki-laki tegap ikut berlari di belakang. Hati berlubang, tubuh ringan. Capek.
Napas tersengal, peluh membasah, berjalan bersenandung dengan pantat sedikit
bergoyang. Kenangan terkikis.
"Yang kami hormati...."
Orang pertama yang selalu muncul di kepala setiap ada
perkataan "Yang kami hormati" adalah Omte. Omtelah yang mengajarkan
bagaimana menari dan berlenggok. "Wanita itu yang penting bagaimana bisa
mengetahui kelebihan dirinya dan menerima keadaan." Omtelah yang mengajarkan bagaimana
bersenandung. "Ilmu tertinggi adalah bisa merendahkan dan menghina diri
sendiri." Omtelah yang mengajarkan bagaimana berolah raga, menjaga
kesehatan secara alamiah, dan memanfaatkan peluang-peluang. "Ada saatnya
kita harus mengambil risiko." Omte pulalah yang mengenalkan apa itu arti
laki-laki.
Suatu malam, tiga tahun sepeninggal Tantece, Omte masuk
ke kamar tidur. Waktu itu umur enam belas. Dengan mata merah dan kusam.
"Aku laki-laki nganggur sebatang kero," sambil memeluk. Kasihan
sekali. Entah kenapa, malam itu seperti tidak menyadari bahwa ia Omteku. Maka
yang terjadi-terjadilah. Omte yang baik. Ada yang aneh. Ada kekuatan yang tak
dapat ditolak, maka yang harus berlangsung berlangsunglah. Berlangganan. Ada
baiknya. Semenjak itu, setiap ada acara penting, selalu dibawa. Omte seorang
yang terbuka. Omte mentransfer semua ilmunya, bahkan sebagian besar perusahaan.
Tidak perlu cemburu pada Omte. Karena pekerjaan, Omte
pergi ke setiap kota. Bisa dibayangkan berapa ratus atau ribu wanita yang
disebadani Omte. Apa sekarang yang tidak bisa dibeli. Cinta? Tapi ini bukan
soal cinta. Sebagai murid yang baik, tentu harus berprestasi minimal seperti
Omte. Terjadilah perburuan itu. Bila aku senang pada laki-laki aku yang bayar.
Jika laki-laki yang ngebet aku, aku dibayar. Pernah suatu kali aku dikencani
laki-laki tinggi besar, orang Arab. Aku seperti bersebadan dengan badak. Berat
dan keras. Badan linu-linu. Aku membalasnya dengan cara memperkosa anaknya yang
masih ingusan. Sedap ooeii.
Gambar-gambar di teve. Berjuta-juta orang mematung. Tokoh
wanita sedang memberikan sambutan. "Aku bukan wanita yang cukup pantas
menerima hadiah ini. Aku yakin banyak wanita yang memiliki kelebihan dibanding
aku." Tepuk tangan. Menggeleng-gelengkan kepala. Decak kagum. "Dia
orang yang rendah hati." "Namun, dengan bangga dan hormat....."
Suaranya nyaris tak terdengar. Ada keinginan lain dalam
ruang batinnya yang menteror, bagaikan ribuan semut mengerubugi tubuh.
"Betul. Jangan salah paham. Yang aku butuhkan cuma kasih sayang murni.
Perjaka lugu, dan daya tahan. Yang lain-lain aku sudah punya. Begitulah."
Tapi siapa yang mencoba bertahan mendengar suara batin. Hipnotis, hutan
belantara, kenangan-kenangan, berhamburan, silih berganti.
* * *
Sejumlah
pemuda parlente duduk melamun. Uang, kulit mulus, kehormatan, bau wangi parfum,
dan pelukan. Naik pesawat terbang, mobil mewah, piknik ke luar negeri, belanja,
kelonan. Gila. Siapa yang tidak suka itu. Celaka. Apalagi. Laki- laki pun
berkisah sendiri-sendiri. Sembunyi-sembunyi. Menyangkut keselamatan dan
reputasi. Menyangkut rezeki.
"Kalau
tidak salah tidak kurang dari lima belas kali. Tapi aku tidak pernah
menghitung. Cuma kira-kira, mengenang setiap kenikmatan yang pernah kami
lakukan."
"Kalau
aku tidak terhitung. Maklum."
"Aku
cuma sekali. Mungkin bukan tipenya. Soalnya aku ...." Malu-malu kucing.
Muka memalu. Yang lain tertawa.
"Kalau
ngerayu, minta ampun."
"Dia
tidak pernah puas. Jalang."
"Kuda
betina." Berderai tawa. Air mata gelak bercucuran.
Kemudian
memain-mainkan kepala. Mengingat pengalaman sendiri-sendiri. Membayangkan
adegan sendiri-sendiri. Menjilat anggur di perut. Tahi lalat kecil di balik
ketiak. Rambut-rambut halus. "Mbak wanita cantik yang pernah aku kenal."
Dada bengkak. "Engkau pun laki-laki jantan cakep yang pernah aku
rasakan." Kamar yang penuh lukisan. Gambar Nyi Roro Kidul. Lukisan seorang
wanita karya Basuki Abdullah. Patung Aguste Rodin yang berpikir dan merenung
terus. Kesembunyian mengangkang. Sayup-sayup instrumentalia klasik Bach.
Disambung lagu Mungkinkah. Di lembah
yang berlumpur dan bernoda. Di sanalah
kini engkau berada. Nyindir. "Tapi ini rahasia lho dik. Kalau ada yang
tahu, bisa berabe. Kamu kan tahu siapa aku?"
Takut
dan khawatir, masa depan dipertaruhkan. Salah melangkah, rezeki melayang. Salah
ucap, nasib baik terpenggal. Siapa pendengar yang setia. Pada rumor, pada gosip
yang tidak pernah bisa dipercaya. "Akulah orangnya. Betul-betul mengalami.
Aku tidak bohong." Siapa percaya siapa tidak. "Terserah. Tapi
sesungguhnya ini sangat rahasia lho. Hanya kepada kamu saja aku berani
bercerita. Kalau kepada orang lain, tidak akan pernah aku ceritakan." Tawa
para pemuda itu kembali berhamburan. Sambil takut-takut, dengan serius mulut
didekatkan ke kuping.
"Betul.
Ini rahasia. Hanya kepadamu aku bercerita." Air ludah menciprat membasahi
kuping. "Sialan kamu."
* * *
Puncak acara. "Kini tibalah saatnya Yang terhormat
kepada Omte yang dimuliakan untuk menyerahkan tanda penghargaan dan hadiah sebagai
wanita utama."
Kesenyapan menjalar. Kesadaran itu selalu muncul begitu
saja. Tak terbendung. Sekali dua masih melirik dan mencari-cari perjaka tampan
yang tadi telah divonis. Dulu pernah aku mengagumimu. Sekarangpun tetap
mengaharapkanmu. Mata berkaca. Lagu itu sungguh mengganggu. "Ya, kenapa
dari dulu-dulu aku tidak memberi tahu pada mereka bahwa sebetulnya aku tidak
lebih hanya seorang lonte saja.
Pelacur yang sedang nyamar."
Hadiah simbolis itu sekarang ada di tangan. Tangan pun
bergetaran. "Baru kali ini tangan aku bergetaran." Terkesima.
"Betul, sudah saatnya sejarah harus ditelanjangi. Kalau tidak, kapan lagi.
Dia hanya akan menjadi virus di syaraf-syaraf kepala. Penyakit gatal di
kerongkongan. kemudian tua, rambut penuh uban, kulit lisut tak keruan. Edan.
Hanya akan membuat semakin muram wajah sejarah." Dengan yakin dan tenang
kembali harus berpidato.
"Saudara-saudara sekalian." Terhenti, setetes
air mata membasahi pinggiran mata. Air mata kuda betina. "Ada hal penting
yang ingin aku katakan. Kembali kesunyian merayap. Mata tak berkedip. Napas
tertahan. Berdegup detak jantung. "Tapi, aku sungguh minta maaf. Karena
pasti apa yang akan aku katakan ini Anda tidak akan mempercayainya."
Bom waktu. Yang tertegun di rumah-rumah tak berkedip.
Membesarkan mata. Listrik mati. "Sialan." Kurang ajar."
"Cepat hidupkan," teriak seseorang. "Sudah aku bilang, jangan
hidupkan pompa air. Semprul."
Listrik hidup lagi. Kalimat dari pidato berlalu. "Sial."
"Gila." Penasaran. Mangkel. Mereka harus menunggu sampai besok. Kira-kira apa yang akan dikatakan wanita yang
meraih predikat sebagai wanita utama itu. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar