Sabtu, 14 April 2012

"KALAU BOLEH AKU MINTA SEGELAS BIR SAJA"


"KALAU BOLEH AKU MINTA
SEGELAS BIR SAJA"

Jeruji-jeruji besi membujur kaku. Dingin. Ruang pengap. Warna-warna kusam, kotor. Tahun berganti dari selembar jende­la dan kenangan. Rasa bosan menjalar pelan dari syaraf kepala hingga ujung kaki. Ditimpa oleh siang yang gersang, makanan bau, sayur kubis, kangkung cingcang. Kulit gatal-gatal. Kecoa dan malam-malam yang sepi. Sebilah pisau berdarah. Perut terti­kam. Kepala pecah. Potongan-potongan besi. Mulut berbusa. "Biar dia mampus." Tawa gelak. Kartu remi, puntung-puntung rokok. Bau apek yang membuat muka bertambah muram. Adakah rasa sayang di situ.
"Kenapa bayangan itu tak pernah hilang," sambil membant­ing sebuah tabloid. "Sampah," ia bergumam. "Sial," meringis sendiri. "Kenapa?" Secara tidak sengaja ia melirik tabloid yang baru dilempar itu. Seorang wanita yang sama sekali tidak diken­al, memakai bikini berwarna ungu dan beha berwarna ungu kecil, bergaya membungkuk sehingga susunya yang sebesar bola kaki cukup layak untuk ditendang-tendang. 
Nenek-Nenek Bunuh Seorang Pemuda
Misteri Harta Karun Lima Puluh Trilyun
Rahasia Awet Muda Artis Tiga Zaman
Perang Santet di Ibu Kota
Seorang Bocah Dalangi Perampokan dan Pemerkosaan
Entah kenapa, ia teringat sesuatu. Hati bernyanyi. Pak ketipak ketipung suara gendang bertalu-talu. Pura-pura bingung... Kembali ia membuka-buka halaman tabloid.   Malam pekat. Selalu gelap. Ada kegairahan meledak. Di luar, alunan Frank Sinatra bergema dalam kesunyian sepi. Menusuk-nusuk ruang kerinduan. Di tembok jari-jari mengetuk. Badan tegang. Sekujur tubuh membasah. Wajah-wajah kaku dan pucat. Bau anyir darah. Alangkah segarnya. Tubuh-tubuh berge­limpangan. Nyilu. Ubun-ubun bergetar. Alangkah.
"Waktumu sepenggal matahari," Kepala Penjara memberi tahu. Langkah-langkah kaki menjauh. Naluri tersedot. "Mau apa? Aku minta segelas bir?" Di bawah terik matahari, tak ada yang dapat dibayangkan. Panas debu tak ramah. Teringat bini. Tiga orang anak. "Si Kermit pasti sudah besar. Mungkin dia sekarang sudah jadi supir. Cita-cita dari kecil. Supir Bis. Katan­ya, di setiap pemberhentian bakal dikeloni perempuan. Bagaima­na Pardel? Apakah anak itu masih sakit-sakitan. Salah sendiri. Ah, si bungsu Denok pasti sudah gadis. Dia anakku perempuan satu-satunya. Kelak sudah besar jadi apa? Dari kecil kerjanya bersolek.  Sudah kawin apa belum. Kerja di mana. Jadi pelacur? Ah, tidak lah ya. Tidak apa-apa, asal jadi pelacur yang mahal. Punya uang banyak."
Lamunan buyar. Suara menyanyi.
"Bendera merah putih, bendera tanah airku, gagah dan jernih tampak warnamu, berkibarlah ..."
"Diancuk! Apa tidak pernah diajarkan bagaimana menyan­yikan lagu itu dengan baik. Mentang-mentang."
Diam. Suara ember dibanting. Hening. "Apa suaranya lebih baik dari saya?" Tawa terbahak geli. Mengira bahwa orang yang menyanyi itu hanya hanya lagu itu.
"Satu nusa satu bangsa satu bahasa kita." "Kurang ajar! Aku sayat lidahmu!"
Ember ditendang-tendang. Cekikikan. Nabrak dinding. Ditendang lagi. Braak. Pecah. Puas. Reda.
"Jangan ditanya ke mana aku pergi. Jangan ditanya mengapa aku pergi. Usah diperintah kubersabar hati. Usah dipaksa kumenanti lagi."
Mata nanar. Mencari-cari, tangan meraba-raba. Ambil sebilah pisau yang sudah lama disumbunyikan. Semangat hidup kembali berkobar. Dari tangan mengalir darah segar. Memompa jantung. Tumpas kelesuan. Otak jernih. Dunia terang berderang. "Aku minta segelas bir saja? Apakah merepotkan anda?" Tapi kemudian hati pun ikut bernyanyi. "Jangan ditanya ke mana aku pergi." Kaki kanan bergerak-gerak. Ketukan lagu. Mulut men­ganga. Diam menunggu. 
* * *
Dengan wajah kuyu, kaki melangkah. Orang itu adalah seorang perempuan. Umur empat puluh. Janda. Wajah menan­tang. Mengingatkan pada wajah ibu. Wanita galak. "Jangan kau usik adikmu. Aku bunuh kau!". Maka dengan bernafsu Ibu menyerang. Rotan mendarat di punggung bertalu-talu. Hancur. "Coba lihat apa yang kau pecahkan! Kenapa dari dulu kau tidak kucekik saja." Kembali kayu bertubi-tubi mendarat di punggung. Belum puas. Ibu berlari ke sana kemari. Diambilnya sebotol bir. Punya Ayah. Ditumpahkannya kemulut. Perut gembung. Mu­ntah. Kemudian Ibu melolong-lolong sendiri. "Anakku, anakku. Mau jadi apa kau kalau sudah besar."
Tapi ini lain.  "Betul. Aku belum terlalu tua tidur bersa­manya." Buah dada. Kedua kaki mengangkang, dan kempitan yang menyenangkan. Urat-urat saraf bermekaran. 
Lalu-lalang mobil. Motor. Orang-orang berseliweran. Asap dan bau comberan. Matahari menggigit. "Aku ini binatang jalang bung. Dari kumpulannya terbuang," membatin. Wanita itu melambaikan tangan agar mengikutinya. Menoleh ke kiri ke kanan. Mata-mata memandang. Menghujat. Bersiul. Debur ombak di dada. "Setan alas."
"Nah! Jadi..." Wanita itu menjelaskan maksudnya, sambil melepas ikatan rambut. Rambut terurai. Ikal hitam. Sebahu.
"Lupakan. Aku hanya ingin kamu."
Terperangah. Terjadilah. Diserangnya sang wanita. Pa­kaian di robek-robek. Kutang ditanggalkan. Kedua lutut direng­gangkan. Kasar. Diselenongkannya dengan seenaknya dirinya ke dalam wanita. Terengah-engah. Kenikmatan menjalar ke seluruh tubuh. Geli memuncak. Muncrat. Di manakah kepuasan bersem­bunyi. Pada kemaluan? Pada sebilah pisau? Pada orang mati di kepala? Pada darah berceceran? Pada tempat pembuangan? Kata orang, di dunia ini terlalu banyak sampah. "Aku...!"
Untuk yang kesekian kalinya. Entah yang keberapa. Tidak pernah dihitung. Mungkin untuk yang kesebelas kalinya. Seorang wanita gemuk berkaki demikian besar, tapi cerewet tak ketulun­ngan. Dan pelitnya, Masya Allah. Kelimabelas. Orang itu memang pantas mati. Masa gara-gara rokok saja dia marah. Sontoloyo. Keduapuluh tiga. Sebetulnya tidak sengaja. Orang itu memaksa. Aku cuma membela diri. Ya, kita berhaklah kalau membela diri. Tapi sebetulnya betina itu cantik juga. Laki-laki brengsek. Makanya buang ingus jangan sembarangan. Biar tahu dia. Keseratus. Tidak tahulah. Kenikmatan selalu memanggil- manggil. Mencekam. Asing. Penasaran. Ya, mana tahu, ada apakah di dalam perut itu. Adakah di dalamnya segelas bir siap minum. Mendidih.
* * *
"Tapi aku hanya minta segelas bir! Bagaimana sih rasanya?" Teringat olehnya bahwa ternyata sudah begitu lama ia tidak minum bir. Sejak terakhir kalinya Ibu memaksa mulutnya terbuka dan menuangkan sebotol bir? Padahal mungkin tak ada waktu lagi untuk mencoba. Pernah ia menolak tawaran segelas bir dari seorang teman.
"Aku tak biasa. Lain kali saja."
Padahal alasan sesungguhnya bukan itu. Minum bir tidak baik untuk kesehatan. Dalam hidupnya ada dua hal yang ditakuti. Tubuh sakit, dosa. Cuma waktu itu dia malu berterus terang. Seperti halnya dia begitu malu kalau orang lain tahu bahwa dia takut. Lagi-lagi tersungging. Seekor nyamuk menempel di pipi. Ah, biarkan sajalah. Toh besok darah tubuh ini sudah tidak berguna. Apa tidak boleh beramal barang secuil pun. Siapa yang melarang. Siapa yang membolehkan. Tak sengaja tangan mel­ayang ke pipi. 
Bunyi telapak sepatu melangkah. Seorang laki-laki berko­piah, bersama seorang penjaga, wajahnya malaikat, memberi salam.
"Sudahkah saudara menyatakan rasa penyesalan? Tobat? Mengucaplah." Wajah palsu.
Tidak ada yang perlu dijawab. Mata melirik tajam. Membersihkan kuping dengan kelingking. Mengorek kuku-kuku dengan kuku. Gejolak itu datang begitu saja. "Berlari. Hingga hilang pedih perih. Chairil bajingan. Tidak. Jangan dihalang- halangi. Ini tidak adil. Biarkan aku mati sebagai pembunuh. Itu lebih terhormat. Beri kesempatan kepadaku agar mati sebagai orang terhormat. Bukan sebagai pemerkosa. Kurang ajar. Kudi­san. Berbuat baiklah. Tidak seorangpun yang rugi aku akan mati sebagai apa. Aku pembunuh." Mulut bungkam.
"Kalau boleh aku minta segelas bir saja."
"Tetapi itu tidak baik buat kesehatan. Anda harus menja­ganya hingga besok. Menghadap Tuhan dalam keadaan tubuh bersih. Tidak beralkohol."
Tersinggung kecil. Dia ngajak guyon. Apa di sorga tidak ada alkohol. "Sok tahu dia. Seperti penghuni sorga saja layakn­ya." Cuma di kerongkongan. Tersumbat. "Bir. Bir. Bir."
"Baik. Tugas saya sebagai penasihat spritual selesai."
Ngakak. "Dia pikir dia siapa. Ibu saja tidak melarang!. Bertahun-tahun aku di bangku filsafat, tidak ada pelajaran seperti itu. "Munafik ah!" Menoleh. Kepala berdenyut. Menyesal, kenapa dulu beban itu tidak dituntaskan saja. "Oalah Ibu, oalah Bapak...."
* * *
Penjaga mengikat tali kedua belah tangan. Menuntun berja­lan ke lapangan. Seorang tua bersorban berdoa di belakang. Derap sepatu. Detak-detak jantung. Lewati lorong. Seperti berja­lan di jalan setapak, menuju sebuah hutan. Masuki rimba raya tak bertuan. Apakah yang terjadi di sebuah hutan belantara. Tak ada yang tahu. "Kenapa dulu tidak mencoba bertahan. Paling tidak untuk sekadar membakar buku-buku bergambar itu."
"Permintaan terakhir." Sambil seseorang berangsur menu­ tup kepala. Tingkah lakunya sopan dan halus. Wajahnya ramah seperti orang ingin pinjam uang. Berhati-hati, gerakan tangan halus bagaikan menggantikan popok bayi. "Maaf ya Pak", katan­ya. Kemudian dunia gelap. Terbentanglah pematang itu. Ditum­buhi bunga warna-warni. Hirup udara segar.
"Mungkin ada sesuatu yang ingin dikatakan?"
Tidak tahu, orang itu bertanya kepada siapa. "And now the end is near and show I face...." Nyanyian terhenti. Segelas bir bergelantungan di depan mata. Diraih dan diteguk hingga tetes terakhir. Berteguk-teguk. Pinggir mulut berbuih. Glegeken.  Senjata dikokang. Detik-detik lambat berlalu. Di benak lima puluh tahun lampau. Bapak menggendong, melambung-lambung­kan tubuh. Terbang ke awan. Sayup-sayup terdengar suara tembakan. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar