"KALAU
BOLEH AKU MINTA
SEGELAS
BIR SAJA"
Jeruji-jeruji besi membujur kaku. Dingin. Ruang pengap.
Warna-warna kusam, kotor. Tahun berganti dari selembar jendela dan kenangan.
Rasa bosan menjalar pelan dari syaraf kepala hingga ujung kaki. Ditimpa oleh
siang yang gersang, makanan bau, sayur kubis, kangkung cingcang. Kulit
gatal-gatal. Kecoa dan malam-malam yang sepi. Sebilah pisau berdarah. Perut
tertikam. Kepala pecah. Potongan-potongan besi. Mulut berbusa. "Biar dia
mampus." Tawa gelak. Kartu remi, puntung-puntung rokok. Bau apek yang
membuat muka bertambah muram. Adakah rasa sayang di situ.
"Kenapa bayangan itu tak pernah hilang," sambil
membanting sebuah tabloid. "Sampah," ia bergumam. "Sial,"
meringis sendiri. "Kenapa?" Secara tidak sengaja ia melirik tabloid
yang baru dilempar itu. Seorang wanita yang sama sekali tidak dikenal, memakai
bikini berwarna ungu dan beha berwarna ungu kecil, bergaya membungkuk sehingga
susunya yang sebesar bola kaki cukup layak untuk ditendang-tendang.
Nenek-Nenek Bunuh Seorang Pemuda
Misteri Harta Karun Lima Puluh Trilyun
Rahasia Awet Muda Artis Tiga Zaman
Perang Santet di Ibu Kota
Seorang Bocah Dalangi Perampokan dan Pemerkosaan
Entah kenapa, ia teringat sesuatu. Hati bernyanyi. Pak
ketipak ketipung suara gendang bertalu-talu. Pura-pura bingung... Kembali ia
membuka-buka halaman tabloid. Malam
pekat. Selalu gelap. Ada kegairahan meledak. Di luar, alunan Frank Sinatra
bergema dalam kesunyian sepi. Menusuk-nusuk ruang kerinduan. Di tembok
jari-jari mengetuk. Badan tegang. Sekujur tubuh membasah. Wajah-wajah kaku dan
pucat. Bau anyir darah. Alangkah segarnya. Tubuh-tubuh bergelimpangan. Nyilu.
Ubun-ubun bergetar. Alangkah.
"Waktumu sepenggal matahari," Kepala Penjara
memberi tahu. Langkah-langkah kaki menjauh. Naluri tersedot. "Mau apa? Aku
minta segelas bir?" Di bawah terik matahari, tak ada yang dapat
dibayangkan. Panas debu tak ramah. Teringat bini. Tiga orang anak. "Si
Kermit pasti sudah besar. Mungkin dia sekarang sudah jadi supir. Cita-cita dari
kecil. Supir Bis. Katanya, di setiap pemberhentian bakal dikeloni perempuan.
Bagaimana Pardel? Apakah anak itu masih sakit-sakitan. Salah sendiri. Ah, si
bungsu Denok pasti sudah gadis. Dia anakku perempuan satu-satunya. Kelak sudah
besar jadi apa? Dari kecil kerjanya bersolek.
Sudah kawin apa belum. Kerja di mana. Jadi pelacur? Ah, tidak lah ya.
Tidak apa-apa, asal jadi pelacur yang mahal. Punya uang banyak."
Lamunan buyar. Suara menyanyi.
"Bendera merah putih, bendera tanah airku, gagah dan
jernih tampak warnamu, berkibarlah ..."
"Diancuk! Apa tidak pernah diajarkan bagaimana
menyanyikan lagu itu dengan baik. Mentang-mentang."
Diam. Suara ember dibanting. Hening. "Apa suaranya
lebih baik dari saya?" Tawa terbahak geli. Mengira bahwa orang yang
menyanyi itu hanya hanya lagu itu.
"Satu nusa satu bangsa satu bahasa kita."
"Kurang ajar! Aku sayat lidahmu!"
Ember ditendang-tendang. Cekikikan. Nabrak dinding.
Ditendang lagi. Braak. Pecah. Puas. Reda.
"Jangan ditanya ke mana aku pergi. Jangan ditanya
mengapa aku pergi. Usah diperintah kubersabar hati. Usah dipaksa kumenanti
lagi."
Mata nanar. Mencari-cari, tangan meraba-raba. Ambil
sebilah pisau yang sudah lama disumbunyikan. Semangat hidup kembali berkobar.
Dari tangan mengalir darah segar. Memompa jantung. Tumpas kelesuan. Otak
jernih. Dunia terang berderang. "Aku minta segelas bir saja? Apakah
merepotkan anda?" Tapi kemudian hati pun ikut bernyanyi. "Jangan
ditanya ke mana aku pergi." Kaki kanan bergerak-gerak. Ketukan lagu. Mulut
menganga. Diam menunggu.
* * *
Dengan wajah kuyu, kaki melangkah. Orang itu adalah
seorang perempuan. Umur empat puluh. Janda. Wajah menantang. Mengingatkan pada
wajah ibu. Wanita galak. "Jangan kau usik adikmu. Aku bunuh kau!".
Maka dengan bernafsu Ibu menyerang. Rotan mendarat di punggung bertalu-talu.
Hancur. "Coba lihat apa yang kau pecahkan! Kenapa dari dulu kau tidak
kucekik saja." Kembali kayu bertubi-tubi mendarat di punggung. Belum puas.
Ibu berlari ke sana kemari. Diambilnya sebotol bir. Punya Ayah. Ditumpahkannya
kemulut. Perut gembung. Muntah. Kemudian Ibu melolong-lolong sendiri.
"Anakku, anakku. Mau jadi apa kau kalau sudah besar."
Tapi ini lain.
"Betul. Aku belum terlalu tua tidur bersamanya." Buah dada.
Kedua kaki mengangkang, dan kempitan yang menyenangkan. Urat-urat saraf bermekaran.
Lalu-lalang mobil. Motor. Orang-orang berseliweran. Asap
dan bau comberan. Matahari menggigit. "Aku ini binatang jalang bung. Dari
kumpulannya terbuang," membatin. Wanita itu melambaikan tangan agar
mengikutinya. Menoleh ke kiri ke kanan. Mata-mata memandang. Menghujat.
Bersiul. Debur ombak di dada. "Setan alas."
"Nah! Jadi..." Wanita itu menjelaskan
maksudnya, sambil melepas ikatan rambut. Rambut terurai. Ikal hitam. Sebahu.
"Lupakan. Aku hanya ingin kamu."
Terperangah. Terjadilah. Diserangnya sang wanita. Pakaian
di robek-robek. Kutang ditanggalkan. Kedua lutut direnggangkan. Kasar.
Diselenongkannya dengan seenaknya dirinya ke dalam wanita. Terengah-engah.
Kenikmatan menjalar ke seluruh tubuh. Geli memuncak. Muncrat. Di manakah
kepuasan bersembunyi. Pada kemaluan? Pada sebilah pisau? Pada orang mati di
kepala? Pada darah berceceran? Pada tempat pembuangan? Kata orang, di dunia ini
terlalu banyak sampah. "Aku...!"
Untuk yang kesekian kalinya. Entah yang keberapa. Tidak
pernah dihitung. Mungkin untuk yang kesebelas kalinya. Seorang wanita gemuk
berkaki demikian besar, tapi cerewet tak ketulunngan. Dan pelitnya, Masya
Allah. Kelimabelas. Orang itu memang pantas mati. Masa gara-gara rokok saja dia
marah. Sontoloyo. Keduapuluh tiga. Sebetulnya tidak sengaja. Orang itu memaksa.
Aku cuma membela diri. Ya, kita berhaklah kalau membela diri. Tapi sebetulnya
betina itu cantik juga. Laki-laki brengsek. Makanya buang ingus jangan
sembarangan. Biar tahu dia. Keseratus. Tidak tahulah. Kenikmatan selalu memanggil-
manggil. Mencekam. Asing. Penasaran. Ya, mana tahu, ada apakah di dalam perut
itu. Adakah di dalamnya segelas bir siap minum. Mendidih.
* * *
"Tapi aku hanya minta segelas bir! Bagaimana sih
rasanya?" Teringat olehnya bahwa ternyata sudah begitu lama ia tidak minum
bir. Sejak terakhir kalinya Ibu memaksa mulutnya terbuka dan menuangkan sebotol
bir? Padahal mungkin tak ada waktu lagi untuk mencoba. Pernah ia menolak
tawaran segelas bir dari seorang teman.
"Aku tak biasa. Lain kali saja."
Padahal alasan sesungguhnya bukan itu. Minum bir tidak
baik untuk kesehatan. Dalam hidupnya ada dua hal yang ditakuti. Tubuh sakit,
dosa. Cuma waktu itu dia malu berterus terang. Seperti halnya dia begitu malu
kalau orang lain tahu bahwa dia takut. Lagi-lagi tersungging. Seekor nyamuk
menempel di pipi. Ah, biarkan sajalah. Toh besok darah tubuh ini sudah tidak
berguna. Apa tidak boleh beramal barang secuil pun. Siapa yang melarang. Siapa
yang membolehkan. Tak sengaja tangan melayang ke pipi.
Bunyi telapak sepatu melangkah. Seorang laki-laki berkopiah,
bersama seorang penjaga, wajahnya malaikat, memberi salam.
"Sudahkah saudara menyatakan rasa penyesalan? Tobat?
Mengucaplah." Wajah palsu.
Tidak ada yang perlu dijawab. Mata melirik tajam.
Membersihkan kuping dengan kelingking. Mengorek kuku-kuku dengan kuku. Gejolak
itu datang begitu saja. "Berlari. Hingga hilang pedih perih. Chairil
bajingan. Tidak. Jangan dihalang- halangi. Ini tidak adil. Biarkan aku mati
sebagai pembunuh. Itu lebih terhormat. Beri kesempatan kepadaku agar mati
sebagai orang terhormat. Bukan sebagai pemerkosa. Kurang ajar. Kudisan.
Berbuat baiklah. Tidak seorangpun yang rugi aku akan mati sebagai apa. Aku
pembunuh." Mulut bungkam.
"Kalau boleh aku minta segelas bir saja."
"Tetapi itu tidak baik buat kesehatan. Anda harus
menjaganya hingga besok. Menghadap Tuhan dalam keadaan tubuh bersih. Tidak
beralkohol."
Tersinggung kecil. Dia ngajak guyon. Apa di sorga tidak
ada alkohol. "Sok tahu dia. Seperti penghuni sorga saja layaknya."
Cuma di kerongkongan. Tersumbat. "Bir. Bir. Bir."
"Baik. Tugas saya sebagai penasihat spritual
selesai."
Ngakak. "Dia pikir dia siapa. Ibu saja tidak
melarang!. Bertahun-tahun aku di bangku filsafat, tidak ada pelajaran seperti
itu. "Munafik ah!" Menoleh. Kepala berdenyut. Menyesal, kenapa dulu
beban itu tidak dituntaskan saja. "Oalah Ibu, oalah Bapak...."
* * *
Penjaga mengikat tali kedua belah tangan. Menuntun berjalan
ke lapangan. Seorang tua bersorban berdoa di belakang. Derap sepatu.
Detak-detak jantung. Lewati lorong. Seperti berjalan di jalan setapak, menuju
sebuah hutan. Masuki rimba raya tak bertuan. Apakah yang terjadi di sebuah
hutan belantara. Tak ada yang tahu. "Kenapa dulu tidak mencoba bertahan.
Paling tidak untuk sekadar membakar buku-buku bergambar itu."
"Permintaan terakhir." Sambil seseorang
berangsur menu tup kepala. Tingkah lakunya sopan dan halus. Wajahnya ramah
seperti orang ingin pinjam uang. Berhati-hati, gerakan tangan halus bagaikan
menggantikan popok bayi. "Maaf ya Pak", katanya. Kemudian dunia
gelap. Terbentanglah pematang itu. Ditumbuhi bunga warna-warni. Hirup udara
segar.
"Mungkin ada sesuatu yang ingin dikatakan?"
Tidak tahu, orang itu bertanya kepada siapa. "And
now the end is near and show I face...." Nyanyian terhenti. Segelas bir
bergelantungan di depan mata. Diraih dan diteguk hingga tetes terakhir.
Berteguk-teguk. Pinggir mulut berbuih. Glegeken. Senjata dikokang. Detik-detik lambat berlalu.
Di benak lima puluh tahun lampau. Bapak menggendong, melambung-lambungkan
tubuh. Terbang ke awan. Sayup-sayup terdengar suara tembakan. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar