Sabtu, 14 April 2012

ANGAN-ANGAN SUKEN


ANGAN-ANGAN SUKEN

Saat-saat menjelang tidur, berubah menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Setiap Suken akan memicingkan mata, ada tiga angan-angan yang selalu menggoda ketentraman hatinya. Pertama, sudah lama Suken ingin memiliki pedang yang tajam dan dengan pedang itu ditebasnya kaki kirinya atau kaki ka­nannya. Dia membayangkan tebasan tersebut berlangsung sece­pat kilat, bagaikan menebas pelepah pisang. Sekali tebas. Krresss. Putus. Mungkin perih sedetik, setelah itu, aahh kepua­san. 
Kedua, memukul kepala orang dengan sebatang tongkat besi. Lebih hebat lagi beberapa kepala, kemudian dijejer, dipukul satu satu seperti memukul bonang. Alangkah nikmatnya. Ketiga, bermain golf dan bola yang ia pukul melayang mengenai kepala seseorang. Ini juga tak kalah asyiknya. Orang yang kena bola golf itu menjadi tahu bahwa Sukenlah yang bermain golf.
Persoalannya tentu saja menjadi tidak lucu karena setiap kali pula Suken selalu sadar bahwa angan-angannya itu bukan hal biasa sehingga tak mungkin dapat dilaksanakan. Suken tahu tidak ada di antara angan-angannya itu yang cukup menyenangkan, bahkan bagi dirinya sendiri. Entah kalau sekedar main golf, suatu ketika. Tapi menebas pedang pada kaki sendiri atau memukul kepala seseorang dengan sebatang tongkat besi, itu sedikit aneh.
Kacaunya, justru angan-angannya itu selalu muncul dalam alur yang relatif utuh. Yaitu dimulai dari bermain golf dengan stick. Setelah bola menimpa kepala seseorang, kemudian benjo­ lan itu sebaiknya dipukul dengan stick agar terbenam kembali dalam kepala. Dan untuk membayangkan rasa sakitnya, dan sekaligus minta maaf, adalah dengan memotong kaki sendiri.
Sebelum-sebelumnya Suken bisa maklum dengan angan- angannya itu dan menganggapnya sebagai gangguan psikologis yang bersifat sementara. Ia yakin suatu saat akan hilang dengan sendirinya. Bahkan kadang-kadang ia bisa mentertawakan angan- angannya itu sebagai sesuatu yang tidak bermutu. "Dasar pengk­hayal murahan," katanya memaki dirinya sendiri.
* * *
Itu kemarin-kemarin. Tapi tidak dengan akhir-akhir ini. Belakangan ini ia mulai merasa terganggu. Benar-benar tergang­gu. Angan-angan dalam alur yang agak utuh itu muncul terus menerus seperti sebuah film. Tak jarang ia mulai tak bisa tidur semalaman, hanya karena harus menahan keinginan yang sema­kin mengebu-ebu.
"Percuma ke psikolog," katanya suatu hari pada temannya. Suken berani berkata begitu karena ia tahu hanya dirinya yang bisa menyembuhkan obsesinya itu.
Salah satu cara yang ditempuh Suken untuk mengantisipasi angan-angan yang menurutnya sinting itu adalah dengan menghadirkan angan-angan lain, semacam angan-angan tandin­gan. Maka setiap akan tidur ia mencoba membuka majalah- majalah porno, khususnya majalah yang ada wanita telanjangnya. Di antara gambar-gambar itu hanya Madonna yang ia kenal dan hapal namanya, yang lain entah siapa. Semuanya bule. Semaksi­mal mungkin ia berkhayal bagaimana seandainya ia main seks dengan wanita itu. Setiap malam digilirnya satu per satu. Mula-mula cukup manjur juga. Biasanya ia berkhayal sambil onani, dan setelah itu ia merasa capek, dan tertidur dengan sendirinya.
Namun, itu pun tak berlangsung lama. Ia mulai bosan bersetubuh dengan gambar wanita bule dan khayalannya sendiri. Suken pun mulai memburu gambar-gambar telanjang artis-artis negeri sendiri. Syukur ia mendapatkan beberapa. Mulai dari AA, YS, PR, DS, FF, CC, NZ, bahkan beberapa diantaranya sama sekali belum dikenal seperti TY, MN, dan GA. Sayang cara terapi ini pun tidak begitu lama. Memang ada satu dua artis yang disetubuhinya hingga tiga minggu. Dia suka artis tersebut karena alisnya tebal, serta rambut panjang terurai, kontras dengan ku­litnya yang putih mengkilat.
Kebosanannya memuncak ketika Suken merasa tidak ter­angsang lagi sehingga burungnya tidak mengencang dan ia tidak bisa onani. Dan tentu saja ia tidak menjadi lelah. Karena tidak lelah, ia menjadi sulit tidur, dan angan-angan yang dihindarinya itu muncul lagi. Cuma angan-angan itu dengan alur yang sedikit berbeda. Yaitu dimulai dengan memukul kepala orang dengan tongkat besi, kemudian menebas kaki kirinya. Dan dengan kaki satu bermain golf. Suken membayangkan alangkah heroiknya bermain golf dengan berjalan pakai tongkat. Pasti ia akan menja­di pusat perhatian.
Kembali ia selalu cemas menghadapi malam. Ia pasti akan sulit tidur. Dan itu artinya malam akan merambat secara pelan dengan rasa sepi dan kecewa. Kecemasan-kecemasan itu mem­buatnya gampang tersinggung dan marah. Pernah suatu hari ia hampir berkelahi dengan seorang temannya hanya gara-gara te­ mannya mengatakan Suken sok nyeniman.
"Aku bunuh kau kalau kau berkata seperti itu lagi!"
Temannya tidak terima karena ia merasa tidak bersungguh- sungguh. "Kamu mau membunuh saya. Apa mungkin. Simpan saja tenagamu. Makanya, jadi orang jangan suka berkhayal." Temannya masih berkata sabar, dan tidak tahu jika Suken marah serius.
Mendengar perkataan temannya itu Suken justru tidak terima, dan langsung menyerang. Yang diserang kaget, dan membela diri. Untung ada teman lain yang memisahkan mereka, kalau tidak, mungkin perkelahian itu berketerusan. Di kamar, Suken heran sendiri kenapa ia berubah senekat itu. Dia merasa selama ini dia hampir tidak pernah berkelahi. Jangankan berkela­hi, bertengkar saja jarang. Suken punya cara tersendiri untuk memendam berbagai soal yang dihadapinya dengan melampias­kannya dalam khayalan. Dalam khayalan itu dia akan meme­nangkan semua masalah yang dihadapinya.
* * *
Pada akhirnya, selang beberapa waktu, Suken memutuskan pergi ke seorang psikolog. Tidak sepenuh hati. Ia hanya sekedar mengikuti nasihat bertubi-tubi. "Tidak perlu merasa paling tahu masalahmu sendiri. Itu tidak menyelesaikan masalah." Berkata salah seorang temannya sambil menyodorkan alamat seorang psi­kolog.
Demikianlah, suatu sore yang loyo Suken menceritakan persoalannya secara rinci. "Tolonglah saya Mbak. Saya sulit tidur." 
Mendengarkan tekun wanita psikolog itu. Mencatat bebera­ pa hal yang perlu dicatat. Terlintas di kepalanya persoalannya sendiri. Dadanya tiba-tiba deg-degan. Sedapat mungkin dite­kannya kegugupannya. "Kamu tahu, apa yang membuatmu sulit tidur kan?" Wanita itu memperlihatkan wajah serius sambil membetulkan letak kaca matanya yang melorot. Ia sudah biasa mendapat keluhan seperti itu, dan ia tahu apa pekerjaannya.
"Tahu Mbak."
"Terus?"
"Sejauh ini saya sudah berusaha keras untuk mengalihkan perhatian. Tapi selalu ujung-ujungnya ke situ-situ lagi." Cerita Suken sambil menatap tajam dua biji penglihatan psikolog, dan berharap masalahnya dapat dipecahkan. "Bagaimana Mbak, apakah penyakit saya itu bisa disembuhkan?"
Wanita psikolog itu menatap tajam, seolah sedang men­guras pikiran untuk memberikan jawaban terbaik. Padahal, jawabannya sudah ia pegang bahkan sejak pertama Suken menge­luhkan kegelisahannya.
"Bagaimana Mbak?"
"Terapinya gampang." Wanita itu berujar dengan meyakin­kan. "Kamu harus melakukan apa yang menjadi obsesimu itu."
Suken terperangah. Tidak disangkanya jika terapi dari Mbak Psikolog itu justru akan menyudutkannya. Suken mem­bayangkan jika ia akan mendapat alternatif lain yang rasional dan mudah, seperti biasa ia baca-baca di koran. Atau mungkin karena persoalannya berbeda. Suken tidak tahu apakah ia harus menja­wab permasalahan itu atau tidak. Rona kecewa tersirat di wa­jahnya.
"Tapi bagaimana mungkin Mbak. Itu akan mencelakakan orang lain dan diri saya sendiri." Geram Suken melontarkan rasa keberatannya.
"Seperti juga Anda ketahui, semua tergantung Anda sen­diri. Mau sembuh atau tersiksa terus. Tidak ada cara lain, Anda harus melakukannya."
Sehabis konsultasi Suken menyumpah-nyumpah. "Dasar psikolog sinting. Kok ada psikolog seperti itu. Yang perlu ke psikolog ya dia itu."
Dalam perjalanan pulang ia teringat sebuah kemungkinan pelarian lain. Ia membeli wiski tiga botol. Sesampai di rumah ia langsung menenggak beberapa gelas wiski. Belum ada empat ge­las, kepalanya memberat, tubuhnya seperti akan melayang. Suken merebahkan dirinya pada tempat tidur. Langsung tertidur.
Pada sebuah lapangan rumput yang luas Suken bertemu seorang gadis ayu-jelita. Gadis itu, ketika pertama kali melihat Suken, langsung menyatakan jatuh cinta. Suken merasa bahagia karena masih ada gadis jelita yang senang dan cinta padanya. Sambil jalan-jalan bergandengan tangan, Suken meremas-remas gadis yang bahkan  belum diketahui namanya. Gadis itu pun tak kalah agresif. Alangkah menggemaskan dan merangsang.
Sambil lalu dikejauhan ia melihat orang bermain golf. Ia ingin main golf, dan mengajak gadis manis-jelita itu bermain golf. Suken mengayun-ayunkan stick golf. Dengan stick itu, tiba- tiba nafsunya untuk memukul kepala gadis itu tak tertahankan. Ia pukul, gadis memekik. Kepala gadis itu benjol sebesar telur angsa. Suken bingung. Ia pangdangi stick di tangannya. Stick berubah jadi pedang. Dengan serta merta ditebasnya sebelah kaki kirinya tepat di atas pergelangan kaki. Kakinya langsung putus. Ia ambil potongan kaki yang masih bersepatu itu dengan heran. Suken tidak mengenal sepatu itu. Itu sepatu wanita.
Suken terbangun. Tubuhnya basah, kepalanya masih pening dan oleng. Ini tidak bisa diteruskan, bisiknya, melangkah gontai entah kemana.
* * *
Pada sebuah kamar, dengan lampu remang, wanita itu melamun. Dari bibir tipis rekah yang tersenyum di wajahnya yang dingin dan angkuh, tahulah bahwa ia seperti baru saja menyelesaikan pekerjaan besar. Problem itu telah bertahun-tahun membebaninya dan tanpa dapat diduga akan diselesaikannya. Atau paling tidak, ia seperti sedang menemukan jalan keluar dari persoalan berat yang selama ini menyelimuti keceriannya. Terbayang malam-malam dijalaninya dengan gelisah. Terbayang di kepalanya wajah Suken yang pucat, dingin, dan kosong. Ia merasa laki-laki itu dapat membantu persoalan yang tengah dihadapinya.
Sambil mendengarkan musik lembut, gitar klasik kegaira­han, wanita itu bersalin pakaian tidur. Sempat ia melihat tubuh telanjangnya di depan kaca. "Tubuh yang indah," katanya dalam hati. Menjelang tidur, tiba-tiba ia terganggu apakah ia telah mengunci pintu rumahnya. Pikiran yang selalu datang setiap ia akan tidur. Ia tahu itu hanya gangguan biasa. Biasanya ia tidak pernah lupa jika pintunya selalu ia kunci. Tapi ia tetap bangkit dan memeriksa pintu.
Sebelum benar-benar tertidur ia menulis sesuatu di buku hariannya. Akhirnya orang yang aku impikan itu datang. Telah kudengar gumuruh sorainya. Akulah putri yang tak pernah disapa. Aku sendiri, aku kesepian. Mungkin ini saatnya aku harus menyeselaikan buku harianku. Tolonglah aku. Tak mu­ngkin aku tuliskan apa adanya. Demikian banyak yang mungkin tak terkatakan.
Di luar kamar, seorang laki-laki berjalan bersijingkat sambil sekali-sekali tiarap. Di kedua belah tangannya, sebilah besi dan sebilah pedang teracung. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar