ANGAN-ANGAN
SUKEN
Saat-saat menjelang tidur, berubah menjadi sesuatu yang
tidak menyenangkan. Setiap Suken akan memicingkan mata, ada tiga angan-angan
yang selalu menggoda ketentraman hatinya. Pertama, sudah lama Suken ingin
memiliki pedang yang tajam dan dengan pedang itu ditebasnya kaki kirinya atau
kaki kanannya. Dia membayangkan tebasan tersebut berlangsung secepat kilat,
bagaikan menebas pelepah pisang. Sekali tebas. Krresss. Putus. Mungkin perih
sedetik, setelah itu, aahh kepuasan.
Kedua, memukul kepala orang dengan sebatang tongkat besi.
Lebih hebat lagi beberapa kepala, kemudian dijejer, dipukul satu satu seperti
memukul bonang. Alangkah nikmatnya. Ketiga, bermain golf dan bola yang ia pukul
melayang mengenai kepala seseorang. Ini juga tak kalah asyiknya. Orang yang
kena bola golf itu menjadi tahu bahwa Sukenlah yang bermain golf.
Persoalannya tentu saja menjadi tidak lucu karena setiap
kali pula Suken selalu sadar bahwa angan-angannya itu bukan hal biasa sehingga
tak mungkin dapat dilaksanakan. Suken tahu tidak ada di antara angan-angannya
itu yang cukup menyenangkan, bahkan bagi dirinya sendiri. Entah kalau sekedar
main golf, suatu ketika. Tapi menebas pedang pada kaki sendiri atau memukul
kepala seseorang dengan sebatang tongkat besi, itu sedikit aneh.
Kacaunya, justru angan-angannya itu selalu muncul dalam
alur yang relatif utuh. Yaitu dimulai dari bermain golf dengan stick. Setelah
bola menimpa kepala seseorang, kemudian benjo lan itu sebaiknya dipukul dengan
stick agar terbenam kembali dalam kepala. Dan untuk membayangkan rasa sakitnya,
dan sekaligus minta maaf, adalah dengan memotong kaki sendiri.
Sebelum-sebelumnya Suken bisa maklum dengan angan-
angannya itu dan menganggapnya sebagai gangguan psikologis yang bersifat
sementara. Ia yakin suatu saat akan hilang dengan sendirinya. Bahkan
kadang-kadang ia bisa mentertawakan angan- angannya itu sebagai sesuatu yang
tidak bermutu. "Dasar pengkhayal murahan," katanya memaki dirinya
sendiri.
* * *
Itu kemarin-kemarin. Tapi tidak dengan akhir-akhir ini.
Belakangan ini ia mulai merasa terganggu. Benar-benar terganggu. Angan-angan
dalam alur yang agak utuh itu muncul terus menerus seperti sebuah film. Tak
jarang ia mulai tak bisa tidur semalaman, hanya karena harus menahan keinginan
yang semakin mengebu-ebu.
"Percuma ke psikolog," katanya suatu hari pada
temannya. Suken berani berkata begitu karena ia tahu hanya dirinya yang bisa
menyembuhkan obsesinya itu.
Salah satu cara yang ditempuh Suken untuk mengantisipasi
angan-angan yang menurutnya sinting itu adalah dengan menghadirkan angan-angan
lain, semacam angan-angan tandingan. Maka setiap akan tidur ia mencoba membuka
majalah- majalah porno, khususnya majalah yang ada wanita telanjangnya. Di
antara gambar-gambar itu hanya Madonna yang ia kenal dan hapal namanya, yang
lain entah siapa. Semuanya bule. Semaksimal mungkin ia berkhayal bagaimana
seandainya ia main seks dengan wanita itu. Setiap malam digilirnya satu per
satu. Mula-mula cukup manjur juga. Biasanya ia berkhayal sambil onani, dan
setelah itu ia merasa capek, dan tertidur dengan sendirinya.
Namun, itu pun tak berlangsung lama. Ia mulai bosan
bersetubuh dengan gambar wanita bule dan khayalannya sendiri. Suken pun mulai
memburu gambar-gambar telanjang artis-artis negeri sendiri. Syukur ia mendapatkan
beberapa. Mulai dari AA, YS, PR, DS, FF, CC, NZ, bahkan beberapa diantaranya
sama sekali belum dikenal seperti TY, MN, dan GA. Sayang cara terapi ini pun
tidak begitu lama. Memang ada satu dua artis yang disetubuhinya hingga tiga
minggu. Dia suka artis tersebut karena alisnya tebal, serta rambut panjang
terurai, kontras dengan kulitnya yang putih mengkilat.
Kebosanannya memuncak ketika Suken merasa tidak terangsang
lagi sehingga burungnya tidak mengencang dan ia tidak bisa onani. Dan tentu
saja ia tidak menjadi lelah. Karena tidak lelah, ia menjadi sulit tidur, dan
angan-angan yang dihindarinya itu muncul lagi. Cuma angan-angan itu dengan alur
yang sedikit berbeda. Yaitu dimulai dengan memukul kepala orang dengan tongkat
besi, kemudian menebas kaki kirinya. Dan dengan kaki satu bermain golf. Suken
membayangkan alangkah heroiknya bermain golf dengan berjalan pakai tongkat.
Pasti ia akan menjadi pusat perhatian.
Kembali ia selalu cemas menghadapi malam. Ia pasti akan
sulit tidur. Dan itu artinya malam akan merambat secara pelan dengan rasa sepi
dan kecewa. Kecemasan-kecemasan itu membuatnya gampang tersinggung dan marah.
Pernah suatu hari ia hampir berkelahi dengan seorang temannya hanya gara-gara
te mannya mengatakan Suken sok nyeniman.
"Aku bunuh kau kalau kau berkata seperti itu
lagi!"
Temannya tidak terima karena ia merasa tidak bersungguh-
sungguh. "Kamu mau membunuh saya. Apa mungkin. Simpan saja tenagamu.
Makanya, jadi orang jangan suka berkhayal." Temannya masih berkata sabar,
dan tidak tahu jika Suken marah serius.
Mendengar perkataan temannya itu Suken justru tidak
terima, dan langsung menyerang. Yang diserang kaget, dan membela diri. Untung
ada teman lain yang memisahkan mereka, kalau tidak, mungkin perkelahian itu
berketerusan. Di kamar, Suken heran sendiri kenapa ia berubah senekat itu. Dia
merasa selama ini dia hampir tidak pernah berkelahi. Jangankan berkelahi,
bertengkar saja jarang. Suken punya cara tersendiri untuk memendam berbagai
soal yang dihadapinya dengan melampiaskannya dalam khayalan. Dalam khayalan
itu dia akan memenangkan semua masalah yang dihadapinya.
* * *
Pada akhirnya, selang beberapa waktu, Suken memutuskan
pergi ke seorang psikolog. Tidak sepenuh hati. Ia hanya sekedar mengikuti
nasihat bertubi-tubi. "Tidak perlu merasa paling tahu masalahmu sendiri.
Itu tidak menyelesaikan masalah." Berkata salah seorang temannya sambil
menyodorkan alamat seorang psikolog.
Demikianlah, suatu sore yang loyo Suken menceritakan
persoalannya secara rinci. "Tolonglah saya Mbak. Saya sulit
tidur."
Mendengarkan tekun wanita psikolog itu. Mencatat bebera
pa hal yang perlu dicatat. Terlintas di kepalanya persoalannya sendiri. Dadanya
tiba-tiba deg-degan. Sedapat mungkin ditekannya kegugupannya. "Kamu tahu,
apa yang membuatmu sulit tidur kan?" Wanita itu memperlihatkan wajah
serius sambil membetulkan letak kaca matanya yang melorot. Ia sudah biasa
mendapat keluhan seperti itu, dan ia tahu apa pekerjaannya.
"Tahu Mbak."
"Terus?"
"Sejauh ini saya sudah berusaha keras untuk
mengalihkan perhatian. Tapi selalu ujung-ujungnya ke situ-situ lagi."
Cerita Suken sambil menatap tajam dua biji penglihatan psikolog, dan berharap
masalahnya dapat dipecahkan. "Bagaimana Mbak, apakah penyakit saya itu
bisa disembuhkan?"
Wanita psikolog itu menatap tajam, seolah sedang menguras
pikiran untuk memberikan jawaban terbaik. Padahal, jawabannya sudah ia pegang
bahkan sejak pertama Suken mengeluhkan kegelisahannya.
"Bagaimana Mbak?"
"Terapinya gampang." Wanita itu berujar dengan
meyakinkan. "Kamu harus melakukan apa yang menjadi obsesimu itu."
Suken terperangah. Tidak disangkanya jika terapi dari
Mbak Psikolog itu justru akan menyudutkannya. Suken membayangkan jika ia akan
mendapat alternatif lain yang rasional dan mudah, seperti biasa ia baca-baca di
koran. Atau mungkin karena persoalannya berbeda. Suken tidak tahu apakah ia
harus menjawab permasalahan itu atau tidak. Rona kecewa tersirat di wajahnya.
"Tapi bagaimana mungkin Mbak. Itu akan mencelakakan
orang lain dan diri saya sendiri." Geram Suken melontarkan rasa
keberatannya.
"Seperti juga Anda ketahui, semua tergantung Anda
sendiri. Mau sembuh atau tersiksa terus. Tidak ada cara lain, Anda harus
melakukannya."
Sehabis konsultasi Suken menyumpah-nyumpah. "Dasar
psikolog sinting. Kok ada psikolog seperti itu. Yang perlu ke psikolog ya dia
itu."
Dalam perjalanan pulang ia teringat sebuah kemungkinan
pelarian lain. Ia membeli wiski tiga botol. Sesampai di rumah ia langsung
menenggak beberapa gelas wiski. Belum ada empat gelas, kepalanya memberat,
tubuhnya seperti akan melayang. Suken merebahkan dirinya pada tempat tidur.
Langsung tertidur.
Pada sebuah lapangan rumput yang luas Suken bertemu
seorang gadis ayu-jelita. Gadis itu, ketika pertama kali melihat Suken,
langsung menyatakan jatuh cinta. Suken merasa bahagia karena masih ada gadis
jelita yang senang dan cinta padanya. Sambil jalan-jalan bergandengan tangan,
Suken meremas-remas gadis yang bahkan
belum diketahui namanya. Gadis itu pun tak kalah agresif. Alangkah menggemaskan
dan merangsang.
Sambil lalu dikejauhan ia melihat orang bermain golf. Ia
ingin main golf, dan mengajak gadis manis-jelita itu bermain golf. Suken
mengayun-ayunkan stick golf. Dengan stick itu, tiba- tiba nafsunya untuk
memukul kepala gadis itu tak tertahankan. Ia pukul, gadis memekik. Kepala gadis
itu benjol sebesar telur angsa. Suken bingung. Ia pangdangi stick di tangannya.
Stick berubah jadi pedang. Dengan serta merta ditebasnya sebelah kaki kirinya
tepat di atas pergelangan kaki. Kakinya langsung putus. Ia ambil potongan kaki
yang masih bersepatu itu dengan heran. Suken tidak mengenal sepatu itu. Itu
sepatu wanita.
Suken terbangun. Tubuhnya basah, kepalanya masih pening
dan oleng. Ini tidak bisa diteruskan, bisiknya, melangkah gontai entah kemana.
* * *
Pada sebuah kamar, dengan lampu remang, wanita itu
melamun. Dari bibir tipis rekah yang tersenyum di wajahnya yang dingin dan
angkuh, tahulah bahwa ia seperti baru saja menyelesaikan pekerjaan besar.
Problem itu telah bertahun-tahun membebaninya dan tanpa dapat diduga akan
diselesaikannya. Atau paling tidak, ia seperti sedang menemukan jalan keluar
dari persoalan berat yang selama ini menyelimuti keceriannya. Terbayang
malam-malam dijalaninya dengan gelisah. Terbayang di kepalanya wajah Suken yang
pucat, dingin, dan kosong. Ia merasa laki-laki itu dapat membantu persoalan
yang tengah dihadapinya.
Sambil mendengarkan musik lembut, gitar klasik kegairahan,
wanita itu bersalin pakaian tidur. Sempat ia melihat tubuh telanjangnya di
depan kaca. "Tubuh yang indah," katanya dalam hati. Menjelang tidur,
tiba-tiba ia terganggu apakah ia telah mengunci pintu rumahnya. Pikiran yang
selalu datang setiap ia akan tidur. Ia tahu itu hanya gangguan biasa. Biasanya
ia tidak pernah lupa jika pintunya selalu ia kunci. Tapi ia tetap bangkit dan
memeriksa pintu.
Sebelum benar-benar tertidur ia menulis sesuatu di buku
hariannya. Akhirnya orang yang aku impikan itu datang. Telah kudengar gumuruh
sorainya. Akulah putri yang tak pernah disapa. Aku sendiri, aku kesepian.
Mungkin ini saatnya aku harus menyeselaikan buku harianku. Tolonglah aku. Tak
mungkin aku tuliskan apa adanya. Demikian banyak yang mungkin tak terkatakan.
Di luar kamar, seorang laki-laki berjalan bersijingkat
sambil sekali-sekali tiarap. Di kedua belah tangannya, sebilah besi dan sebilah
pedang teracung. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar