CERITA
SEORANG PEREMPUAN
MUDA DAN
PASAR
Dengan gerakan lambat dan tenang, perempuan muda itu
menyandarkan dirinya pada tembok pasar. Kemudian, dibukanya tasnya dan
mengeluarkan sebuah sisir kecil berwarna merah yang sudah agak kotor dan cermin
kecil. Sambil mengaca, dirapikannya rambutnya. Ada seringai yang tidak jelas
maknanya. Puas mengamati rambutnya, ia menyimpan sisir dan mengeluarkan
pemerah bibir. Bibir pun dimerahkan. Ia memantas- mantaskan bibirnya. Sepintas
ia melihat orang-orang yang lalu- lalang di sekitarnya. Kali ini ia tersenyum
kecil, agak dingin. Tidak tahulah, apakah senyumnya seperti Monalisa. Mungkin
tidak, tapi kira-kira seperti itulah.
Tak ada yang menarik dari dirinya. Badan masih terlihat
cukup bersih dengan pandangan melompong. Dari penampilannya yang agak
acak-acakan, tak ada sesuatu yang menyebabkannya cukup pantas untuk
diperhatikan. Entah kalau laki-laki iseng yang sedang kesepian. Kadang orang
yang kesepian itu seperti tidak memiliki banyak pilihan. Mungkin saja. Orang-
orang baru menoleh dan memperhatikan ketika ia seperti menceritakan sesuatu.
"Betul. Kan bisa dilihat sendiri kalau saya masih
cukup muda. Masih banyak laki-laki yang mau dengan saya. Saya masih bisa kawin
lagi. Saya orang yang rajin bekerja. Saya mau kerja apa saja. Jualan makanan,
jual kerajinan. Apa sajalah. Buka warung kecil-kecilan saya juga bisa. Saya
lulus SMA. Jadi hitung-hitungan saya bisa. Saya mau bekerja keras." Ia
menghen tikan ceritanya, menggaruk-garuk kepala.
"Tapi orang-orang itu lucu. Kan saya pernah bilang
kalau makanan yang saya jual itu tidak enak, bisa dikembalikan. Uangnya akan
saya kembalikan. Tak perlu bayar. Tidak ada yang perlu dirugikan. Anggaplah itu
kesalahan saya. Saya tahu saya pandai masak. Tak mungkin kalau makanan yang saya
bikin tak enak. Tak mungkin."
Perempuan itu berhenti bercerita. Kembali ia menyisir
rambutnya. Ia menggumam, eakeak sayangku mememum, eakeak nanisku memamaum,
eakeak bintaku mimimuam, wirasase menaku meminiumem, seperti bernyanyi. Melirih
dan melolong. Entahlah, tidak begitu jelas jika tidak didengar dari dekat.
"Jamila itu bisa apa coba? Perempuan itu
bisanya cuma bersolek! Tidak bisa kerja. Kalau tidak terpaksa, pasti dia itu
tidak mau jualan. Apalagi masak, ia tidak bisa masak. Tidak bisa bikin makanan.
Cuma dia itu memang berani. Kalau dia jualan, di atas kaleng biskuit
diletakkannya pisau. Pokoknya, kalau ada orang bilang macam-macam tentang
biskuitnya, ia pegang- pegang pisau-nya. Makanya waktu ada ramai-ramai, orang
diam saja. Mana ada yang berani menuduhnya. Sekarang coba lihat. Dia sudah
kaya, sudah punya rumah bagus, TV berwarna, mobil.... Padahal kalau
dihitung-hitung kan lebih dulu dan lama saya yang berjualan."
Ia berhenti lagi. Tampak ia merogoh-rogoh tasnya, mengeluarkan
sebuah foto yang sudah terlihat lusuh. Lama ia menancapkan matanya ke foto
itu. Matanya berair, ada yang mengalir di sisi pipinya. Dengan rasa bersalah,
ia keringkan matanya. Kembali ia mengamati foto, mencium-cium. "Semenjak
peristiwa itu, suami saya lari ke Kalimantan. Pasti saja dia malu. Dia pasti
malu. Dia percaya sama orang- orang kalau istrinya seorang pembunuh berdarah
dingin. Orang- orang itu memang aneh. Ada orang keracunan, mati, kenapa saya
yang dituduh. Memang, apa salah saya." Berhenti lagi sejenak. Melihat gigi
di kaca. "Mereka cuma cemburu, warung saya paling laris. Orang-orang pada
tahu, warung saya paling murah. Saya tidak banyak mengambil keuntungan. Apa
hubungan warung saya dengan orang-orang yang keracunan. Malah dituduh sebagai
pembunuh."
* * *
Dua orang pemuda, sama-sama berkaca mata, sedari awal
ikut tertarik mendengarkan cerita wanita muda itu. Yang satu agak kurus tapi bersih. Yang muda
satu lagi biasa-biasa saja, pakai celana jeans belel. Sebetulnya mereka jarang
ke pasar. Mereka benci pasar. Bagi mereka pasar itu hanya bau, kerumunan, dan
tawar menawar. Pernah yang kurus melihat seseorang menawar harga pisau yang
harganya dua seratus lima puluh rupiah, ditawar seratus. Yang lain melihat ada
orang menawar harga kangkung yang harganya dua ratus perak ditawar seratus lima puluh perak. Padahal,
nonton film, nonton sepak bola, tidak nawar. Mereka muak pasar. Pagi itu mereka
ke pasar membeli bumbu-bumbu untuk menggulai kepiting. Kata temannya yang
kurus, dia seperti ngidam ingin makan gulai kepiting. Ketika mereka akan
pulang, mereka berhenti pada kerumunan kecil.
"Kisah hidup wanita ini pasti menarik kalau
diteliti?"
"Dari sudut pandang psikologi, dia itu mengalami apa
namanya?," pemuda yang kurus mencoba mengingat-ingat. "Kalau dari
sudut pandang politik?"
"Kalau dari sudut pandang politik, wanita itu tidak
lebih sebagai korban politik dagang, apa itu namanya? Itu lho tujuan
menghalalkan cara?"
"Kalau dari sudut pandang sosiologi?"
"Kalau dari sudut pandang sosiologi, dia korban
kekonyolan."
"Kalau dari sudut pandang sejarah kebudayaan? Kamu
kan sedang asyik mempelajari Foucault."
"Dari kacamata Foucault dia korban kerasnya sejarah
penormalan terhadap manusia."
"Kalau dari sudut pandang agama?"
"Aku tidak begitu mendalami agama. Paling ya
takdir."
"Dari sudut pandang matamu yang minus itu
bagaimana?"
"Lha, kamu sendiri bagaimana?. Brengsek kamu! Diajak
ngomong serius sedikit saja tidak mau. Ini masalah serius, masalah kemanusiaan.
Kita harus melakukan simpati dan empati."
"Tadi berapa harga kunyitnya?"
"Coba lihat cara dia berbicara. Masih cukup teratur.
Itu tandanya dia masih bisa berpikir cukup sehat. Kecuali ada faktor- faktor
lain yang tidak dapat diperhitungkan secara pasti."
"Apa semua bumbu yang kita perlukan sudah kita
beli?"
"Berdasarkan analisisku ..."
"Kita belum beli brambang."
* * *
Wanita muda itu makan. Ada seorang ibu tua memberinya
sebungkus nasi. Wanita muda itu tidak mengucapkan terimaka sih. Bahkan
ditatapnya ibu tua itu dengan mata selidik. Cukup lama bungkusan itu tidak
disentuhnya. Untunglah, tak berapa lama kemudian secara tidak sengaja dia
mengambil bungkusan itu. Lama ia menatap isi bungkusan, seperti berpikir.
Mungkin dia mengira-ngira apakah isi bungkusan itu bisa dimakan atau tidak.
Hati-hati, dengan gerakan ragu, dia makan. Satu suap, dua suap. Makannya makin
lama makin cepat dan lahap. Mungkin sudah beberapa hari dia tidak makan.
"Siti itu juga bisa apa? Perempuan cerewet dan
malas. Tapi ia memang lebih cantik. Juga nekat. Kalau jualan dia genit sekali.
Ah, semua orang juga tahu, sebetulnya dia itu tidak lebih cuma perempuan
perayu. Itu sudah rahasia umum. Pasti saja dia juga punya banyak rahasia
tentang laki-laki di sekitarnya. Makanya dia aman. Padahal jualan kami sama.
Dia juga jualan biskuit kaleng. Sumpah mati, kami sama-sama membelinya. Tapi
dia pasti aman. Siapa yang berani menuduhnya. Kalau dia dituduh macam-macam,
pasti dia akan cerita macam-macam. Hehmmm. Siapa yang berani dengan dia jika
rahasia kemaluan yang menidurinya akan diceritakan kepada orang-orang."
Tanpa diduga ia membuka bajunya. Beberapa orang terbelalak.
Beberapa muka melengos. Ada juga yang dengan antusias tertarik. Bagian tubuh
wanita yang tiba-tiba terbuka itu mulus dan tidak kotor. Yang hebat, wanita
muda yang tidak memakai beha itu, susunya masih terlihat kencang, walau tidak
terlalu besar. Dilipatnya bajunya, mengeluarkan kaos putih yang tidak terlalu
bersih, dan dikenakan. Kembali ia merapikan rambutnya dengan tangannya.
"Masa saya tega membunuh anak saya sendiri. Kedua-
duanya lagi. Kalau saya tahu kaleng biskuit itu beracun, tentu saya buang.
Suami lari, anak mati. Memangnya apa salah saya dituduh pembunuh berdarah
dingin. Memangnya darah saya dingin. Tidak mungkin. Mereka begitu saja mengusir
saya. Bahkan memukuli segala. Apa hak mereka memukuli saya. Masa saya tidak
diberi kesempatan untuk mengubur anak saya sendiri. Siapa yang mengubur mereka.
Di mana mereka dikuburkan. Saya sangat mencintai mereka. Kenapa mereka tidak
percaya pada saya. Apa salah saya."
Diperhatikannya orang-orang yang memperhatikannya satu
per satu. Tapi sebetulnya wanita muda itu tidak memperhatikan apa-apa,
memandang dengan mata kosong. Orang-orang yang berkumpul akhirnya sudah bisa
menduga-duga. Itu kelihatan kalau sebagian besar dari mereka mulai meninggalkan
perempuan muda itu. Dan sebagian lagi datang, silih berganti.
Tengah malam yang dingin dan berangin, wanita itu tertidur
lelah pada sebuah los pasar yang ditinggal oleh penyewanya. Di mana-mana pasar
sama saja. Orang berjejal-jejal tanpa harus saling mengenal. Seseorang yang
dari siang telah mengincarnya datang menghampiri. Barangkali karena cukup akrab
dengan situasi pasar, dengan sigap dan kasar orang itu menyergapnya. Tidak ada
perlawanan. Bahkan di luar dugaan wanita itu menyambutnya.
"Ah, akhirnya kau datang juga suamiku," wanita
itu berkata ogah-ogahan karena rasa kantuk dan lelah yang masih menyerangnya.
"Ya. Ya." Laki-laki itu berkata sambil napasnya
mulai memburu dan terengah-engah. Tidak berlangsung lama. Semua berjalan dengan
lancar dan memuaskan. Wanita itu kembali tidur dengan wajah lega. Laki- laki
itu meninggalkan wanita itu dengan tampang puas. Celakanya, kejadian itu
diketahui oleh orang. Akhirnya, dari mulut ke mulut, banyak laki-laki yang
tertarik mencobanya. Sebagian besar akhirnya
berlangganan. Bagaimana tidak, mendapat pelayanan cuma-cuma itu mahal.
Kejadian ini lama-lama dirasakan oleh beberapa wanita
tuna susila yang biasa mangkal di pasar itu. Mereka merasakan turunnya pembeli.
Slidik punya slidik mereka menjadi tahu penyebabnya. Mereka menganggap
kehadiran wanita itu tentu saja mengancam bisnis mereka. Bersaing dengan barang
gratisan tentulah berat. Mulanya mereka berniat jahat dengan melihat wanita
muda itu sebagai musuh yang pantas dihabisi. Untunglah masih ada yang berpikir
jernih dan memberi usulan.
"Begini saja, nanti malam dia kita pindahkan."
"Pindahkan ke mana?"
Setelah berpikir sejenak, wanita itu menjawab. "Ke
pasar atas." Seperti teringat sesuatu, mereka setuju berat. Beberapa di
antaranya bahkan sempat berkata, "Wah, ternyata ada gunanya juga salome
kita itu." Walaupun pasar atas dan pasar bawah cuma berjarak satu setengah
kilo meter, orang di sekitar situ tahu belaka bahwa telah terjadi persaingan
yang cukup tajam antara wanita tuna susila pasar atas dan pasar bawah.
* * *
Seperti biasa, wanita itu terbangun ketika orang-orang
telah sibuk berjual beli. Wanita itu duduk dan menyandarkan pada tembok pasar.
Perbuatan pertamanya adalah membuka tas dan mengeluarkan sisir dan cermin
kecil. Segera ia merapikan rambutnya. Kehadiran wanita itu, tentu saja mulai
menarik perhatian beberapa orang.
"Betul. Saya tidak bohong. Jamilah itu bisa apa.
Coba. Tapi sekarang hidupnya enak deh. Sudah punya rumah gedung, mobil, TV
warna, kulkas. Padahal modalnya apa. Itu, kalau jualan dia memegang-megang
pisau..."
"Siti itu senjatanya apa. Kok orang-orang tidak
menuduhnya. Bahkan suami saya pun membelanya. Dia bilang kalau saya ceroboh.
Kok cuma saya yang dituduh ceroboh. Padahal, kami sama-sama menjual biskuit
kaleng itu. Oalah, pastilah karena senjata Siti itu, apa lagi kalau bukan
selangkangannya. Apa suamiku juga kena senjatanya. Apa selangkanganku kurang
hebat. Paling rasanya sama saja." Ia menghentikan ceritanya. Cuma
sebentar.
"Betul. Siti memang lebih cantik. Tapi apa
kecantikan bisa membedakan rasa selangkanngan? Apa pisau bisa menyebabkan
biskuit itu tidak beracun. Apa selangkangan bisa menawar racun. Kalau begitu,
aku bisa menggunakan kedua-duanya, membuka selangkangan sambil memegang pisau
kalau berjualan. Pasti tidak ada yang berani menuduhku. Ah, kenapa selama ini
aku tidak pernah curiga. Apa aku ini terlalu bodoh? Apa aku ini terlalu
baik... ?"
Seperti yang sudah-sudah, pada malam harinya wanita itu
tertidur karena lelah pada sebuah los pasar. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar