Sabtu, 14 April 2012

CERITA SEORANG PEREMPUAN MUDA DAN PASAR


CERITA SEORANG PEREMPUAN
MUDA DAN PASAR

Dengan gerakan lambat dan tenang, perempuan muda itu menyandarkan dirinya pada tembok pasar. Kemudian, dibukanya tasnya dan mengeluarkan sebuah sisir kecil berwarna merah yang sudah agak kotor dan cermin kecil. Sambil mengaca, dirapi­kannya rambutnya. Ada seringai yang tidak jelas maknanya. Puas mengamati rambutnya, ia menyimpan sisir dan menge­luarkan pemerah bibir. Bibir pun dimerahkan. Ia memantas- mantaskan bibirnya. Sepintas ia melihat orang-orang yang lalu- lalang di sekitarnya. Kali ini ia tersenyum kecil, agak dingin. Tidak tahulah, apakah senyumnya seperti Monalisa. Mungkin tidak, tapi kira-kira seperti itulah.
Tak ada yang menarik dari dirinya. Badan masih terlihat cukup bersih dengan pandangan melompong. Dari penampi­lannya yang agak acak-acakan, tak ada sesuatu yang menyebab­kannya cukup pantas untuk diperhatikan. Entah kalau laki-laki iseng yang sedang kesepian. Kadang orang yang kesepian itu seperti tidak memiliki banyak pilihan. Mungkin saja. Orang- orang baru menoleh dan memperhatikan ketika ia seperti mencer­itakan sesuatu.
"Betul. Kan bisa dilihat sendiri kalau saya masih cukup muda. Masih banyak laki-laki yang mau dengan saya. Saya masih bisa kawin lagi. Saya orang yang rajin bekerja. Saya mau kerja apa saja. Jualan makanan, jual kerajinan. Apa sajalah. Buka warung kecil-kecilan saya juga bisa. Saya lulus SMA. Jadi hitung-hitungan saya bisa. Saya mau bekerja keras." Ia menghen­ tikan ceritanya, menggaruk-garuk kepala.
"Tapi orang-orang itu lucu. Kan saya pernah bilang kalau makanan yang saya jual itu tidak enak, bisa dikembalikan. Uangnya akan saya kembalikan. Tak perlu bayar. Tidak ada yang perlu dirugikan. Anggaplah itu kesalahan saya. Saya tahu saya pandai masak. Tak mungkin kalau makanan yang saya bikin tak enak. Tak mungkin."
Perempuan itu berhenti bercerita. Kembali ia menyisir rambutnya. Ia menggumam, eakeak sayangku mememum, eakeak nanisku memamaum, eakeak bintaku mimimuam, wirasase menaku meminiumem, seperti bernyanyi. Melirih dan melolong. Entahlah, tidak begitu jelas jika tidak didengar dari dekat.
"Jamila itu bisa apa coba? Perempuan itu bisanya cuma bersolek! Tidak bisa kerja. Kalau tidak terpaksa, pasti dia itu tidak mau jualan. Apalagi masak, ia tidak bisa masak. Tidak bisa bikin makanan. Cuma dia itu memang berani. Kalau dia jualan, di atas kaleng biskuit diletakkannya pisau. Pokoknya, kalau ada orang bilang macam-macam tentang biskuitnya, ia pegang- pegang pisau-nya. Makanya waktu ada ramai-ramai, orang diam saja. Mana ada yang berani menuduhnya. Sekarang coba lihat. Dia sudah kaya, sudah punya rumah bagus, TV berwarna, mobil.... Padahal kalau dihitung-hitung kan lebih dulu dan lama saya yang berjualan."
Ia berhenti lagi. Tampak ia merogoh-rogoh tasnya, menge­luarkan sebuah foto yang sudah terlihat lusuh. Lama ia menan­capkan matanya ke foto itu. Matanya berair, ada yang mengalir di sisi pipinya. Dengan rasa bersalah, ia keringkan matanya. Kembali ia mengamati foto, mencium-cium. "Semenjak peristiwa itu, suami saya lari ke Kalimantan. Pasti saja dia malu. Dia pasti malu. Dia percaya sama orang- orang kalau istrinya seorang pembunuh berdarah dingin. Orang- orang itu memang aneh. Ada orang keracunan, mati, kenapa saya yang dituduh. Memang, apa salah saya." Berhenti lagi sejenak. Melihat gigi di kaca. "Mereka cuma cemburu, warung saya paling laris. Orang-orang pada tahu, warung saya paling murah. Saya tidak banyak mengambil keuntungan. Apa hubun­gan warung saya dengan orang-orang yang keracunan. Malah dituduh sebagai pembunuh."
* * *
Dua orang pemuda, sama-sama berkaca mata, sedari awal ikut tertarik mendengarkan cerita wanita muda itu.   Yang satu agak kurus tapi bersih. Yang muda satu lagi biasa-biasa saja, pakai celana jeans belel. Sebetulnya mereka jarang ke pasar. Mereka benci pasar. Bagi mereka pasar itu hanya bau, kerumu­nan, dan tawar menawar. Pernah yang kurus melihat seseorang menawar harga pisau yang harganya dua seratus lima puluh rupiah, ditawar seratus. Yang lain melihat ada orang menawar harga kangkung yang harganya dua ratus perak  ditawar seratus lima puluh perak. Padahal, nonton film, nonton sepak bola, tidak nawar. Mereka muak pasar. Pagi itu mereka ke pasar membeli bumbu-bumbu untuk menggulai kepiting. Kata temannya yang kurus, dia seperti ngidam ingin makan gulai kepiting. Ketika mereka akan pulang, mereka berhenti pada kerumunan kecil.
"Kisah hidup wanita ini pasti menarik kalau diteliti?"
"Dari sudut pandang psikologi, dia itu mengalami apa namanya?," pemuda yang kurus mencoba mengingat-ingat. "Kalau dari sudut pandang politik?"
"Kalau dari sudut pandang politik, wanita itu tidak lebih sebagai korban politik dagang, apa itu namanya? Itu lho tujuan menghalalkan cara?"
"Kalau dari sudut pandang sosiologi?"
"Kalau dari sudut pandang sosiologi, dia korban kekonyo­lan."
"Kalau dari sudut pandang sejarah kebudayaan? Kamu kan sedang asyik mempelajari Foucault."
"Dari kacamata Foucault dia korban kerasnya sejarah penormalan terhadap manusia."
"Kalau dari sudut pandang agama?"
"Aku tidak begitu mendalami agama. Paling ya takdir."
"Dari sudut pandang matamu yang minus itu bagaimana?"
"Lha, kamu sendiri bagaimana?. Brengsek kamu! Diajak ngomong serius sedikit saja tidak mau. Ini masalah serius, masalah kemanusiaan. Kita harus melakukan simpati dan empati."
"Tadi berapa harga kunyitnya?"
"Coba lihat cara dia berbicara. Masih cukup teratur. Itu tandanya dia masih bisa berpikir cukup sehat. Kecuali ada faktor- faktor lain yang tidak dapat diperhitungkan secara pasti."
"Apa semua bumbu yang kita perlukan sudah kita beli?"
"Berdasarkan analisisku ..."
"Kita belum beli brambang."
* * *
Wanita muda itu makan. Ada seorang ibu tua memberinya sebungkus nasi. Wanita muda itu tidak mengucapkan terimaka­ sih. Bahkan ditatapnya ibu tua itu dengan mata selidik. Cukup lama bungkusan itu tidak disentuhnya. Untunglah, tak berapa lama kemudian secara tidak sengaja dia mengambil bungkusan itu. Lama ia menatap isi bungkusan, seperti berpikir. Mungkin dia mengira-ngira apakah isi bungkusan itu bisa dimakan atau tidak. Hati-hati, dengan gerakan ragu, dia makan. Satu suap, dua suap. Makannya makin lama makin cepat dan lahap. Mungkin sudah beberapa hari dia tidak makan.
"Siti itu juga bisa apa? Perempuan cerewet dan malas. Tapi ia memang lebih cantik. Juga nekat. Kalau jualan dia genit seka­li. Ah, semua orang juga tahu, sebetulnya dia itu tidak lebih cuma perempuan perayu. Itu sudah rahasia umum. Pasti saja dia juga punya banyak rahasia tentang laki-laki di sekitarnya. Makanya dia aman. Padahal jualan kami sama. Dia juga jualan biskuit kaleng. Sumpah mati, kami sama-sama membelinya. Tapi dia pasti aman. Siapa yang berani menuduhnya. Kalau dia ditu­duh macam-macam, pasti dia akan cerita macam-macam. Hehmmm. Siapa yang berani dengan dia jika rahasia kemaluan yang menidurinya akan diceritakan kepada orang-orang."
Tanpa diduga ia membuka bajunya. Beberapa orang terbe­lalak. Beberapa muka melengos. Ada juga yang dengan antusias tertarik. Bagian tubuh wanita yang tiba-tiba terbuka itu mulus dan tidak kotor. Yang hebat, wanita muda yang tidak memakai beha itu, susunya masih terlihat kencang, walau tidak terlalu besar. Dilipatnya bajunya, mengeluarkan kaos putih yang tidak terlalu bersih, dan dikenakan. Kembali ia merapikan rambutnya dengan tangannya.
"Masa saya tega membunuh anak saya sendiri. Kedua- duanya lagi. Kalau saya tahu kaleng biskuit itu beracun, tentu saya buang. Suami lari, anak mati. Memangnya apa salah saya dituduh pembunuh berdarah dingin. Memangnya darah saya dingin. Tidak mungkin. Mereka begitu saja mengusir saya. Bahkan memukuli segala. Apa hak mereka memukuli saya. Masa saya tidak diberi kesempatan untuk mengubur anak saya sendiri. Siapa yang mengubur mereka. Di mana mereka dikuburkan. Saya sangat mencintai mereka. Kenapa mereka tidak percaya pada saya. Apa salah saya."
Diperhatikannya orang-orang yang memperhatikannya satu per satu. Tapi sebetulnya wanita muda itu tidak memperhatikan apa-apa, memandang dengan mata kosong. Orang-orang yang berkumpul akhirnya sudah bisa menduga-duga. Itu kelihatan kalau sebagian besar dari mereka mulai meninggalkan perem­puan muda itu. Dan sebagian lagi datang, silih berganti.
Tengah malam yang dingin dan berangin, wanita itu terti­dur lelah pada sebuah los pasar yang ditinggal oleh penyewanya. Di mana-mana pasar sama saja. Orang berjejal-jejal tanpa harus saling mengenal. Seseorang yang dari siang telah mengincarnya datang menghampiri. Barangkali karena cukup akrab dengan situasi pasar, dengan sigap dan kasar orang itu menyergapnya. Tidak ada perlawanan. Bahkan di luar dugaan wanita itu men­yambutnya.
"Ah, akhirnya kau datang juga suamiku," wanita itu berka­ta ogah-ogahan karena rasa kantuk dan lelah yang masih menyer­angnya.
"Ya. Ya." Laki-laki itu berkata sambil napasnya mulai memburu dan terengah-engah. Tidak berlangsung lama. Semua berjalan dengan lancar dan memuaskan. Wanita itu kembali tidur dengan wajah lega. Laki- laki itu meninggalkan wanita itu dengan tampang puas. Celakan­ya, kejadian itu diketahui oleh orang. Akhirnya, dari mulut ke mulut, banyak laki-laki yang tertarik mencobanya. Sebagian besar akhirnya  berlangganan. Bagaimana tidak, mendapat pe­layanan cuma-cuma itu mahal.
Kejadian ini lama-lama dirasakan oleh beberapa wanita tuna susila yang biasa mangkal di pasar itu. Mereka merasakan turunnya pembeli. Slidik punya slidik mereka menjadi tahu penyebabnya. Mereka menganggap kehadiran wanita itu tentu saja mengancam bisnis mereka. Bersaing dengan barang gratisan tentulah berat. Mulanya mereka berniat jahat dengan melihat wanita muda itu sebagai musuh yang pantas dihabisi. Untunglah masih ada yang berpikir jernih dan memberi usulan.
"Begini saja, nanti malam dia kita pindahkan."
"Pindahkan ke mana?"
Setelah berpikir sejenak, wanita itu menjawab. "Ke pasar atas." Seperti teringat sesuatu, mereka setuju berat. Beberapa di antaranya bahkan sempat berkata, "Wah, ternyata ada gunanya juga salome kita itu." Walaupun pasar atas dan pasar bawah cuma berjarak satu setengah kilo meter, orang di sekitar situ tahu belaka bahwa telah terjadi persaingan yang cukup tajam antara wanita tuna susila pasar atas dan pasar bawah.
* * *
Seperti biasa, wanita itu terbangun ketika orang-orang telah sibuk berjual beli. Wanita itu duduk dan menyandarkan pada tembok pasar. Perbuatan pertamanya adalah membuka tas dan mengeluarkan sisir dan cermin kecil. Segera ia merapikan rambutnya. Kehadiran wanita itu, tentu saja mulai menarik perhatian beberapa orang.
"Betul. Saya tidak bohong. Jamilah itu bisa apa. Coba. Tapi sekarang hidupnya enak deh. Sudah punya rumah gedung, mobil, TV warna, kulkas. Padahal modalnya apa. Itu, kalau jualan dia memegang-megang pisau..."
"Siti itu senjatanya apa. Kok orang-orang tidak menuduhn­ya. Bahkan suami saya pun membelanya. Dia bilang kalau saya ceroboh. Kok cuma saya yang dituduh ceroboh. Padahal, kami sama-sama menjual biskuit kaleng itu. Oalah, pastilah karena senjata Siti itu, apa lagi kalau bukan selangkangannya. Apa suamiku juga kena senjatanya. Apa selangkanganku kurang hebat. Paling rasanya sama saja." Ia menghentikan ceritanya. Cuma sebentar.
"Betul. Siti memang lebih cantik. Tapi apa kecantikan bisa membedakan rasa selangkanngan? Apa pisau bisa menyebabkan biskuit itu tidak beracun. Apa selangkangan bisa menawar racun. Kalau begitu, aku bisa menggunakan kedua-duanya, membuka selangkangan sambil memegang pisau kalau berjualan. Pasti tidak ada yang berani menuduhku. Ah, kenapa selama ini aku tidak pernah curiga. Apa aku ini terlalu bodoh? Apa aku ini terla­lu baik... ?" 
Seperti yang sudah-sudah, pada malam harinya wanita itu tertidur karena lelah pada sebuah los pasar. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar