Sabtu, 14 April 2012

KEBOJI


KEBOJI

"Tahukah kau apa itu keboji?"
"Tidak. Aku tidak pernah mendengarnya. Belum pernah."
"Tahukah kau ramuan penghancur cinta?"
"Tidak. Aku belum pernah mendengar kata-kata itu."
"Ramuan pembenci?"
"Seperti jamu?"
"Tidak!"
"Kalau begitu belum pernah."
"Ramuan yang membuat orang jatuh cinta?"
* * *
Remang-remang dan lembab. Apa-apa terletak di sembarang tempat. Laki-laki itu duduk memejamkan mata. Raut mukanya terlihat goresan-goresan berkerut dan bintik-bintik hitam. Sebagian rambutnya terlihat memerah. Tidak berbaju, hanya bercelana komprang yang tidak jelas lagi warna aslinya apa, mungki putih mungkin abu-abu. Kepala berpeci kumal. Mulut komat-kamit. Sepasang kera bermain-main di samping, seekor burung hantu bertengger. Tak lama kemudian matanya terbuka menatap orang di depannya, seperti mau memangsa, sambil tangannya bekerja trampil mencampur-campur beberapa bahan di depannya. Warna hitam, merah, dan cairan kekuning- kuningan. Bau amis menebar, lembut menusuk-nusuk hidung, dan sebait mantra penutup.
tenduk tendung rampai fatimah
sungguh engkau hendak padaku
usaplah lehermu hingga ke atas

Di kampungku, di daerah Riau Pedalaman yang tidak akan pernah dapat dicari di peta paling lengkap sekalipun, dulu, ada sebuah cerita. Jangan coba-coba memperlihatkan rasa benci kepada seseorang. Seorang laki-laki kepada wanita, atau biasanya seorang wanita kepada laki-laki (Ah, dunia memang tidak adil). Seorang yang miskin kepada orang kaya, tetapi terutama orang kaya kepada orang miskin. Orang tua kepada orang muda, tetapi lebih-lebih orang muda kepada orang tua. Orang jelek kepada orang cantik atau tampan, tetapi terutama orang cantik kepada orang jelek. (Ah, apakah dunia seharusnya berlaku adil?). Kamu bisa kualat. Kamu akan berbalik dua ratus persen. Kamu akan menjadi budaknya. Kamu akan bersedia menjilat pantatnya, bahkan membersihkan duburnya jika dia berak.
Tapi tentu saja bagiku cerita seperti itu tidak lebih  semacam bualan pengisi malam-malam kosong dan sepi. Tidak ada satu alasanpun yang membuatku harus percaya dengan cerita model Mak Lampir seperti itu. Percuma aku sekolah tinggi- tinggi jika aku masih percaya dengan cerita-cerita tidak masuk akal seperti itu. Tidak nyombong nih, tapi paling tidak aku belum pernah membuktikannya. Dan lagi, aku merasa, tidak ada alibi-alibi gelap dan dicari-cari jika hal itu harus terjadi padaku. Aku tidak pernah membenci orang. Aku ini seratus persen orang baik-baik, bukan sok suci. Bisa dilihat dari pancaran wajahku, tidak ada garis-garis mencurigakan yang menunjukkan aku ini orang jahat.
Aku tidak pernah berprasangka buruk kepada orang, tidak pernah berbuat keji. Jadi, tidak ada alasan orang lain harus berbuat tidak baik kepadaku. Kalau cuma sekedar kenakalan- kenakalan kecil, biasalah. Laki-laki berwajah muram dan gelap itu sibuk mengaduk- aduk ramuan yang dibuatnya. Kembali mulut komat-kamit. Tidak semua kata-kata yang diucapkannya dapat didengar. Dengan cermat, tetapi tidak dengan rasa penasaran, Hang memperhatikan semua kelakuan laki-laki tua itu. Yang membawa bahan ramuan itu dia. Jadi dia tahu semua apa yang dicampur-campur laki-laki tua itu. Tiga hari yang lalu ia ke tempat laki-laki tua itu. Sambil mewajah agak sangar-sangar manis, seperti Pak Lampir, gigi hitam-hitam dan ompong, dia berujar.
"Anak bawa saja yang saya minta. Darahmu. Sedikit saja cukup satu sendok. Terus daki kotoran tubuhmu, dan secuil tahi. Tahi pagi hari. Tidak usah dicampur. Nanti biar saya yang menangani."
Hang percaya dan tidak bertanya macam-macam. Dalam sebuah cerita, katanya suatu hari pada temannya, tidak sepenuhnya tidak bisa dipercaya. Tidak semua cerita mengada-ada. Tidak semua cerita melulu imajinasi. Pasti ada kebenaran tersimpan di dalamnya, walau cuma setetes. Dengan hati rancak dan penuh harap, Hang mengantongi pesanan itu. Hang berharap apa yang diyakininya benar. Katanya lagi, di situ pula letak rahasianya. Kita tidak bisa menghasilkan sesuatu jika kita sendiri tidak yakin dengan apa yang kita kerjakan, katanya melanjutkan argumennya pada temannya. Ternyata prosesi itu tidak lama. Laki-laki tua itu meringkas barang-barangnya. Membungkus ramuan ke dalam sebuah plastik yang berwarna kecoklat-coklatan. Mungkin plastik itu pernah dipakai sebelumnya.
"Nah, sekarang semua tergantung anak, bagaimana caranya agar ramuan ini dapat diminumkan pada orang yang menjadi sasaran anak."
"Tapi bagaimana caranya Pak. Kan bau." Hang agak ragu dan berpikir keras.
"Boleh dicampur kopi, atau sejenis minuman lainnya."
* * *
Di kampung sebelahku ceritanya lain lagi. Kira-kira tujuh tahun yang lalu, seorang wanita minta tolong kepada seseorang yang katanya dikenal sebagai dukun. Wanita itu merasa terhina karena cintanya ditolak oleh seseorang. (Makanya, dilarang menolak cinta seseorang jika tidak bermaksud ingin menghina). Yang agak keterlaluan, maaf, wanita itu diminta membawa darah haidnya, daki kotoran tubuh, air kencing, dan sesendok tahi.
Karena dendam dan asmara yang membara, semua permintaan itu dengan segera dipenuhinya. Darah haid dibawanya dengan cara membawa pembalutnya sekaligus. Daki tubuhnya dimasukkannya ke dalam plastik, hasil dari seminggu tidak mandi. Air kencingnya dia bawa segelas, bahkan agak berbau petai, serta secangkir tahi. "Biar paten", pikir wanita itu. Beberapa hari kemudian, ramuan itu diberikannya pada laki-laki yang membuatnya dendam asmara itu dengan cara meminumkannya pada suatu kesempatan yang sudah diperhitungkan dengan matang. Minuman itu dicampurnya dengan bir hitam, minuman kesukaan laki-laki itu.
Sayangnya, aku tidak tahu pasti bagaimana cerita kelanjutannya. Ada yang bercerita bahwa laki-laki itu akhirnya kawin dengan wanita itu, dan berpinak anak. Ada yang cerita bahwa keluarga laki-laki itu seperti melihat ketidakwajaran dan mencoba mengatasi hal itu dengan mencari dukun lain yang lebih kuat. Seperti biasa, terjadi perang tanding.
Yang aku ingin percaya adalah cerita yang ini. Bahwa ternyata bukan hanya laki-laki itu saja yang minum bir hitam itu, tetapi juga tiga orang temannya yang lain. Bisa dibayangkan empat pemuda langsung tergila-gila padanya, dan wanita itu bingung memilih salah satu dari empat laki-laki itu. Mungkin pada mulanya ia ingin memilih satu yang menjadi sasaran, yang membuatnya terhina dan dendam asmara. Tapi dengan kegilaan yang berlebihan, ketiga yang lain terus menerus menggodanya dengan rayuan-rayuan pemuja. Ada yang membelikannya motor, ada yang membelikannya mobil, bahkan ada yang membelikannya rumah. Kepalang tanggung, wanita itu melayani semuanya, dan sekaligus melayani semuanya di tempat tidur.
Aku mencoba percaya dan menyukai cerita yang satu ini justru karena ada bagian terakhir ini. Aku kemudian berimajinasi sendiri, pasti laki-laki itu menjilati semua yang ada pada wanita muda itu, yang terbuka maupun yang terlipat-lipat. Jangankan kulit tubuh, yang lain saja sudah dimakannya. Waaeeek.
* * *
Demikianlah cerita itu. Yang ini ceritaku sendiri. Belum lama berselang, aku bertemu teman lamaku, teman waktu kecil, namanya Ainina. Kami bertemu setelah berpisah dan tidak pernah saling berjumpa lebih dari lima belas tahun. Aku merantau ke Yogya, dia ke Bukit Tinggi. Kami tahu, kami berpisah dalam keadaan saling membenci. Aku betul-betul benci dia karena dia manis-anggun dan tidak pernah memberi perhatian padaku. Perempuan cantik yang tidak memberi perhatian pada kita memang seharusnya dibenci. Dia benci padaku karena aku sering menggodanya, bahkan yang membuat dia tidak pernah menegurku lagi karena suatu kali aku ketahuan mengintipnya ketika ia sedang mandi. Mungkin dia malu tubuhnya yang buah dadanya masih sangat kecil dan tipis itu terlihat olehku. Aku pikir, laki-laki yang pernah melihat tubuh wanita lain yang tidak apa-apanya, memang pantas dibenci. Kalau dalam cerita-cerita silat Cina yang pernah aku lihat, bisa jadi laki-laki itu dibunuh.
Ketika pertama saling bertemu pun kami tidak saling menyapa. Hanya kaget, kemudian melengos. Mungkin dia melengos sungguhan. Lengosanku tidak lebih sebuah akting. Sudah aku bilang, aku tidak berbakat jadi orang jahat. Dulu aku tidak tahu bahwa sebetulnya aku bukan membencinya, yang lebih tepat cemburu. Cemburu berat. Yang membuatku tidak habis pikir, kenapa ia menjadi demikian menawan. Dengan tinggi semampai, kulit putih kekuningan, dan hidung proporsional. Seperti artis-artis sinetron. Aku tidak tahu, apa yang dipikirkan Ainina tentang aku. Apakah dia tambah membenciku. Apalagi aku bertumbuh menjadi laki-laki yang tidak tampan, kulit hitam, berjerawat, berpenampilan sama sekali tidak rapi. Pasti wanita secantik dia tidak senang laki-laki hitam, kotor, dan berjerawat.
Kami bertemu lagi ketika sama-sama menghadiri pesta perkawinan temanku, temannya juga. Kali ini dia tidak terlihat kaget, aku saja yang kaget dan berharap dia juga kaget.
"Kapan pulang?" kataku berbasa-basi. Kaku.
"Aku sudah tiga tahun ini di sini. Kamu sendiri kapan?. Baru kelihatan." Ternyata dia tidak sekaku aku. Aku saja yang ge-er berharap dia kaku dan menganggap penting percakapan kami ini. "Sudah hampir sepuluh hari. Ada penelitian." Kataku datar. Kurang ajar, kenapa aku harus menjawab sesuatu yang tidak ditanyakannya.
Selebihnya kami diam, paling tidak aku tidak tahu harus berkata-kata apa lagi. Diam-diam aku melirik-lirik kakinya, betisnya, dan rambutnya. Aku tidak berani menatap matanya. Mataku terpaku ke bibirnya. Berani sumpah, bibirnya sangat menantang untuk dilumat-lumat sehari-semalam. Bagaimana bibir yang lain, pasti lebih memabukkan. "Ini cuma ilusi terhadap sesuatu yang baru." Aku berdialog dengan diriku sendiri. Karena dalam banyak hal aku masih yakin bahwa calon istriku tidak kalah cantik dan menarik. Sumpah.
Itulah sebabnya, aku harus tetap memberi kesan bahwa dia bukan sesuatu yang penting. Tampaknya dia juga begitu, dari dulu. Aku tahu, aku bukan bagian penting dari hidupnya. Paling tidak tidak ada tanda-tanda setitik pun bahwa namaku ada dalam pikiran atau hatinya. Ingatan itu pula yang tiba-tiba membuatku cemas. Aku mencoba membayangkan tampangku, tubuhku, berjerawat dan berkulit hitam, dengan penampilan yang tidak meyakinkan. Kenapa tiba-tiba aku kehilangan rasa percaya diri. Aku merasa tidak lebih seperti anjing kurapan. Tidak berharga. Apakah anjing kurapan juga merasa dirinya tidak berharga.
"Kamu datang sendiri?" Aku kembali berbasa-basi. Tidak tahulah kenapa aku harus bertanya itu. Aku hanya tidak ingin memberi kesan bahwa sepertinya aku memiliki harapan tertentu. Pertanyaanku ini ingin mengamankan posisiku bahwa aku berprasangka baik padanya, tidak berharap sesuatu darinya, bahwa aku mengira dia telah berkeluarga. Bibir dan pipinya bergerak ke atas sedikit, menambah rasa senang dan bahagia yang melihat. Cuma dari gerakan bibirnya, sepertinya menyembunyikan sinis. Pada saat itulah, tertatap matanya yang bak bulan pernama.
"Enaknya jawabannya apa?"
Mati aku. Secara refleks keningku mengerenyit. Wah, pasti wajahku tambah tambal sulam. Aku tidak berpikir ia masih seperti dulu. Belum sempat aku jawab dia pun berkata, "Kamu sendiri kenapa sendiri?"
Aku sendiri memang sendiri. Bukan karena tidak punya teman atau pacar. Aku memang belum kawin, dan lagi, aku pulang itu cuma sebentar. Ibuku sudah lama kangen dengan aku, dan aku sempatkan pulang berbarengan dengan adanya perkawinan temanku itu. Rencana utama perjalananku sendiri sebetulnya ke Pulau Batam. Ada seminar. Tidak perlulah aku ceritakan yang ini. Tidak penting dan tidak menarik. Kalau tidak ada aral melintang, tahun ini aku akan kawin, segera. Bahkan orang tuaku dan orang tua pacarku sudah saling bertemu dan berencana tentang perkawinanku.
"Menurut perkiraanku, wanita seperti kamu paling tidak sudah berkeluarga. Bagaimana mungkin sekuntum bunga nan segar tidak ada yang segera memetiknya." Aku kaget, kenapa tiba-tiba harus merayunya. Dia hanya tertawa, gigi putihnya tampak.
"Kalau perkiraanmu benar bagaimana, bagaimana kalau salah." Dia berbicara seperti itu tanpa ekspresi, seolah apa yang dikatakannya tidak penting. Aku meneguk coca-cola di depanku hingga habis. Membasahi tenggorokannku yang tiba-tiba kering. Aku menimang-nimang botol coca-cola. "Mimumanmu habis, aku ambilkan ya?" Tentu ini kejutan besar buatku. Tidak mengira ia memberi perhatian padaku. Ia berdiri dan berjalan ke arah belakang. Tidak berapa lama ia muncul dengan membawa dua coca-cola botol kecil. Satu diberikannya padaku, satu untuk dia sendiri.
"Terimakasih." Aduh matanya, demikian berpendar-pendar. Aku pun segera menyeruput. Setelah itu kami berdiam lagi. Mungkin sama-sama tidak tahu harus berbicara apa. Setelah lima belas tahun tidak ada kontak, ternyata orang menjadi serba tidak tahu antara satu dengan yang lain. Kami hanya bisa bicara tentang temanku yang sedang melangsungkan pernikahan, dan beberapa pembicaraan basa-basi lainnya. Menggairahkan karena berbicara dengannya.
* * *
Malamnya aku tidak bisa tidur. Gelisah setengah mati. Tiba-tiba aku merasa alangkah jauhnya Yogyakarta, dan membayangkan pulang yang melelahkan. Aku merasa kekasihku yang bakal aku kawini itu matanya kalah indah dibanding Ainina. Jika dibandingkan Ainina, mata pacarku itu tidak lebih bunga yang layu, pucat dan tidak bergairah. Apakah aku menyukai Ainina, jatuh cinta padanya. Kenapa agak mendadak. Tidak, tidak tiba- tiba. Kalau tiba-tiba, kenapa dari dulu aku cemburu padanya. Apa hakku mencemburui-nya kalau bukan karena pada dasarnya aku menyukainya. Tapi aku masih merasa Ainina membenciku, tidak ada gelagat-gelagat khusus bahwa dia suka padaku. Tidak ada. Soal coca-cola itu pasti hanya kebetulan saja.               
Alangkah konyolnya aku. Bagaimana mungkin tiba-tiba aku harus berpaling. Baik, anggaplah dia membenciku, mungkinkah ada cara lain agar dia bisa menyukaiku, sedikit saja. Aku mencoba mengenang-ngenang berbagai teknik merayu bagaimana agar seseorang wanita bisa jatuh cinta. Di celah-celah saraf ingatanku, aku teringat cara-cara orang kampungku bagaimana menakhklukkan seseorang. Apa aku mungkin melakukan sesuatu yang aku tidak percaya. Sialan!! Kenapa aku jadi sebodoh ini. Yang pasti, semalaman aku tidak bisa tidur, terbayang-bayang sepasang mata yang demikian indah, terlalu indah.
Menjelang pagi, aku berak, diam-diam aku mengambil secuil tahiku dan aku bungkus. "Yang lain gampang." Rasanya aku tersenyum kecut, teringat nama Cina yang pernah diceritakan oleh temanku di Klaten. Aku tidak tahu persis apakah ada atau tidak, Cui Lan Tai. Ah, masa cinta dan benci bisa diatur- atur begitu saja.
Kabut pagi tergusur. Di tempat lain, seorang wanita anggun-manis termangu. Dia seperti sedang menunggu sesuatu, menunggu kabar, menunggu kejadian berikutnya. Melihat ke ufuk timur, tak sabar menunggu matahari muncul. Datanglah padaku. Usaplah lehermu hingga ke atas. * * *


Tidak ada komentar:

Posting Komentar