KEBOJI
"Tahukah kau apa itu keboji?"
"Tidak. Aku tidak pernah mendengarnya. Belum
pernah."
"Tahukah kau ramuan penghancur cinta?"
"Tidak. Aku belum pernah mendengar kata-kata
itu."
"Ramuan pembenci?"
"Seperti jamu?"
"Tidak!"
"Kalau begitu belum pernah."
"Ramuan yang membuat orang jatuh cinta?"
* * *
Remang-remang dan lembab. Apa-apa terletak di sembarang
tempat. Laki-laki itu duduk memejamkan mata. Raut mukanya terlihat
goresan-goresan berkerut dan bintik-bintik hitam. Sebagian rambutnya terlihat
memerah. Tidak berbaju, hanya bercelana komprang yang tidak jelas lagi warna
aslinya apa, mungki putih mungkin abu-abu. Kepala berpeci kumal. Mulut
komat-kamit. Sepasang kera bermain-main di samping, seekor burung hantu
bertengger. Tak lama kemudian matanya terbuka menatap orang di depannya,
seperti mau memangsa, sambil tangannya bekerja trampil mencampur-campur
beberapa bahan di depannya. Warna hitam, merah, dan cairan kekuning- kuningan.
Bau amis menebar, lembut menusuk-nusuk hidung, dan sebait mantra penutup.
tenduk tendung rampai
fatimah
sungguh engkau hendak
padaku
usaplah lehermu hingga ke
atas
Di kampungku, di daerah Riau Pedalaman yang tidak akan
pernah dapat dicari di peta paling lengkap sekalipun, dulu, ada sebuah cerita.
Jangan coba-coba memperlihatkan rasa benci kepada seseorang. Seorang laki-laki
kepada wanita, atau biasanya seorang wanita kepada laki-laki (Ah, dunia memang
tidak adil). Seorang yang miskin kepada orang kaya, tetapi terutama orang kaya
kepada orang miskin. Orang tua kepada orang muda, tetapi lebih-lebih orang muda
kepada orang tua. Orang jelek kepada orang cantik atau tampan, tetapi terutama
orang cantik kepada orang jelek. (Ah, apakah dunia seharusnya berlaku adil?).
Kamu bisa kualat. Kamu akan berbalik dua ratus persen. Kamu akan menjadi
budaknya. Kamu akan bersedia menjilat pantatnya, bahkan membersihkan duburnya
jika dia berak.
Tapi tentu saja bagiku cerita seperti itu tidak
lebih semacam bualan pengisi malam-malam
kosong dan sepi. Tidak ada satu alasanpun yang membuatku harus percaya dengan
cerita model Mak Lampir seperti itu. Percuma aku sekolah tinggi- tinggi jika
aku masih percaya dengan cerita-cerita tidak masuk akal seperti itu. Tidak
nyombong nih, tapi paling tidak aku belum pernah membuktikannya. Dan lagi, aku
merasa, tidak ada alibi-alibi gelap dan dicari-cari jika hal itu harus terjadi
padaku. Aku tidak pernah membenci orang. Aku ini seratus persen orang
baik-baik, bukan sok suci. Bisa dilihat dari pancaran wajahku, tidak ada
garis-garis mencurigakan yang menunjukkan aku ini orang jahat.
Aku tidak pernah berprasangka buruk kepada orang, tidak
pernah berbuat keji. Jadi, tidak ada alasan orang lain harus berbuat tidak baik
kepadaku. Kalau cuma sekedar kenakalan- kenakalan kecil, biasalah. Laki-laki
berwajah muram dan gelap itu sibuk mengaduk- aduk ramuan yang dibuatnya.
Kembali mulut komat-kamit. Tidak semua kata-kata yang diucapkannya dapat
didengar. Dengan cermat, tetapi tidak dengan rasa penasaran, Hang memperhatikan
semua kelakuan laki-laki tua itu. Yang membawa bahan ramuan itu dia. Jadi dia
tahu semua apa yang dicampur-campur laki-laki tua itu. Tiga hari yang lalu ia
ke tempat laki-laki tua itu. Sambil mewajah agak sangar-sangar manis, seperti
Pak Lampir, gigi hitam-hitam dan ompong, dia berujar.
"Anak bawa saja yang saya minta. Darahmu. Sedikit
saja cukup satu sendok. Terus daki kotoran tubuhmu, dan secuil tahi. Tahi pagi
hari. Tidak usah dicampur. Nanti biar saya yang menangani."
Hang percaya dan tidak bertanya macam-macam. Dalam sebuah
cerita, katanya suatu hari pada temannya, tidak sepenuhnya tidak bisa
dipercaya. Tidak semua cerita mengada-ada. Tidak semua cerita melulu imajinasi.
Pasti ada kebenaran tersimpan di dalamnya, walau cuma setetes. Dengan hati
rancak dan penuh harap, Hang mengantongi pesanan itu. Hang berharap apa yang
diyakininya benar. Katanya lagi, di situ pula letak rahasianya. Kita tidak bisa
menghasilkan sesuatu jika kita sendiri tidak yakin dengan apa yang kita
kerjakan, katanya melanjutkan argumennya pada temannya. Ternyata prosesi itu
tidak lama. Laki-laki tua itu meringkas barang-barangnya. Membungkus ramuan ke
dalam sebuah plastik yang berwarna kecoklat-coklatan. Mungkin plastik itu
pernah dipakai sebelumnya.
"Nah, sekarang semua tergantung anak, bagaimana
caranya agar ramuan ini dapat diminumkan pada orang yang menjadi sasaran
anak."
"Tapi bagaimana caranya Pak. Kan bau." Hang
agak ragu dan berpikir keras.
"Boleh dicampur kopi, atau sejenis minuman
lainnya."
* * *
Di kampung sebelahku ceritanya lain lagi. Kira-kira tujuh
tahun yang lalu, seorang wanita minta tolong kepada seseorang yang katanya
dikenal sebagai dukun. Wanita itu merasa terhina karena cintanya ditolak oleh
seseorang. (Makanya, dilarang menolak cinta seseorang jika tidak bermaksud
ingin menghina). Yang agak keterlaluan, maaf, wanita itu diminta membawa darah
haidnya, daki kotoran tubuh, air kencing, dan sesendok tahi.
Karena dendam dan asmara yang membara, semua permintaan
itu dengan segera dipenuhinya. Darah haid dibawanya dengan cara membawa
pembalutnya sekaligus. Daki tubuhnya dimasukkannya ke dalam plastik, hasil dari
seminggu tidak mandi. Air kencingnya dia bawa segelas, bahkan agak berbau
petai, serta secangkir tahi. "Biar paten", pikir wanita itu. Beberapa
hari kemudian, ramuan itu diberikannya pada laki-laki yang membuatnya dendam asmara
itu dengan cara meminumkannya pada suatu kesempatan yang sudah diperhitungkan
dengan matang. Minuman itu dicampurnya dengan bir hitam, minuman kesukaan
laki-laki itu.
Sayangnya, aku tidak tahu pasti bagaimana cerita
kelanjutannya. Ada yang bercerita bahwa laki-laki itu akhirnya kawin dengan
wanita itu, dan berpinak anak. Ada yang cerita bahwa keluarga laki-laki itu
seperti melihat ketidakwajaran dan mencoba mengatasi hal itu dengan mencari
dukun lain yang lebih kuat. Seperti biasa, terjadi perang tanding.
Yang aku ingin percaya adalah cerita yang ini. Bahwa
ternyata bukan hanya laki-laki itu saja yang minum bir hitam itu, tetapi juga
tiga orang temannya yang lain. Bisa dibayangkan empat pemuda langsung
tergila-gila padanya, dan wanita itu bingung memilih salah satu dari empat
laki-laki itu. Mungkin pada mulanya ia ingin memilih satu yang menjadi sasaran,
yang membuatnya terhina dan dendam asmara. Tapi dengan kegilaan yang
berlebihan, ketiga yang lain terus menerus menggodanya dengan rayuan-rayuan
pemuja. Ada yang membelikannya motor, ada yang membelikannya mobil, bahkan ada
yang membelikannya rumah. Kepalang tanggung, wanita itu melayani semuanya, dan
sekaligus melayani semuanya di tempat tidur.
Aku mencoba percaya dan menyukai cerita yang satu ini
justru karena ada bagian terakhir ini. Aku kemudian berimajinasi sendiri, pasti
laki-laki itu menjilati semua yang ada pada wanita muda itu, yang terbuka
maupun yang terlipat-lipat. Jangankan kulit tubuh, yang lain saja sudah
dimakannya. Waaeeek.
* * *
Demikianlah cerita itu. Yang ini ceritaku sendiri. Belum
lama berselang, aku bertemu teman lamaku, teman waktu kecil, namanya Ainina.
Kami bertemu setelah berpisah dan tidak pernah saling berjumpa lebih dari lima
belas tahun. Aku merantau ke Yogya, dia ke Bukit Tinggi. Kami tahu, kami
berpisah dalam keadaan saling membenci. Aku betul-betul benci dia karena dia
manis-anggun dan tidak pernah memberi perhatian padaku. Perempuan cantik yang
tidak memberi perhatian pada kita memang seharusnya dibenci. Dia benci padaku karena
aku sering menggodanya, bahkan yang membuat dia tidak pernah menegurku lagi
karena suatu kali aku ketahuan mengintipnya ketika ia sedang mandi. Mungkin dia
malu tubuhnya yang buah dadanya masih sangat kecil dan tipis itu terlihat
olehku. Aku pikir, laki-laki yang pernah melihat tubuh wanita lain yang tidak
apa-apanya, memang pantas dibenci. Kalau dalam cerita-cerita silat Cina yang
pernah aku lihat, bisa jadi laki-laki itu dibunuh.
Ketika pertama saling bertemu pun kami tidak saling
menyapa. Hanya kaget, kemudian melengos. Mungkin dia melengos sungguhan.
Lengosanku tidak lebih sebuah akting. Sudah aku bilang, aku tidak berbakat jadi
orang jahat. Dulu aku tidak tahu bahwa sebetulnya aku bukan membencinya, yang
lebih tepat cemburu. Cemburu berat. Yang membuatku tidak habis pikir, kenapa ia
menjadi demikian menawan. Dengan tinggi semampai, kulit putih kekuningan, dan
hidung proporsional. Seperti artis-artis sinetron. Aku tidak tahu, apa yang
dipikirkan Ainina tentang aku. Apakah dia tambah membenciku. Apalagi aku
bertumbuh menjadi laki-laki yang tidak tampan, kulit hitam, berjerawat,
berpenampilan sama sekali tidak rapi. Pasti wanita secantik dia tidak senang
laki-laki hitam, kotor, dan berjerawat.
Kami bertemu lagi ketika sama-sama menghadiri pesta
perkawinan temanku, temannya juga. Kali ini dia tidak terlihat kaget, aku saja
yang kaget dan berharap dia juga kaget.
"Kapan pulang?" kataku berbasa-basi. Kaku.
"Aku sudah tiga tahun ini di sini. Kamu sendiri
kapan?. Baru kelihatan." Ternyata dia tidak sekaku aku. Aku saja yang
ge-er berharap dia kaku dan menganggap penting percakapan kami ini. "Sudah
hampir sepuluh hari. Ada penelitian." Kataku datar. Kurang ajar, kenapa
aku harus menjawab sesuatu yang tidak ditanyakannya.
Selebihnya kami diam, paling tidak aku tidak tahu harus
berkata-kata apa lagi. Diam-diam aku melirik-lirik kakinya, betisnya, dan
rambutnya. Aku tidak berani menatap matanya. Mataku terpaku ke bibirnya. Berani
sumpah, bibirnya sangat menantang untuk dilumat-lumat sehari-semalam. Bagaimana
bibir yang lain, pasti lebih memabukkan. "Ini cuma ilusi terhadap sesuatu
yang baru." Aku berdialog dengan diriku sendiri. Karena dalam banyak hal
aku masih yakin bahwa calon istriku tidak kalah cantik dan menarik. Sumpah.
Itulah sebabnya, aku harus tetap memberi kesan bahwa dia
bukan sesuatu yang penting. Tampaknya dia juga begitu, dari dulu. Aku tahu, aku
bukan bagian penting dari hidupnya. Paling tidak tidak ada tanda-tanda setitik
pun bahwa namaku ada dalam pikiran atau hatinya. Ingatan itu pula yang tiba-tiba
membuatku cemas. Aku mencoba membayangkan tampangku, tubuhku, berjerawat dan
berkulit hitam, dengan penampilan yang tidak meyakinkan. Kenapa tiba-tiba aku
kehilangan rasa percaya diri. Aku merasa tidak lebih seperti anjing kurapan.
Tidak berharga. Apakah anjing kurapan juga merasa dirinya tidak berharga.
"Kamu datang sendiri?" Aku kembali
berbasa-basi. Tidak tahulah kenapa aku harus bertanya itu. Aku hanya tidak
ingin memberi kesan bahwa sepertinya aku memiliki harapan tertentu.
Pertanyaanku ini ingin mengamankan posisiku bahwa aku berprasangka baik
padanya, tidak berharap sesuatu darinya, bahwa aku mengira dia telah
berkeluarga. Bibir dan pipinya bergerak ke atas sedikit, menambah rasa senang
dan bahagia yang melihat. Cuma dari gerakan bibirnya, sepertinya menyembunyikan
sinis. Pada saat itulah, tertatap matanya yang bak bulan pernama.
"Enaknya jawabannya apa?"
Mati aku. Secara refleks keningku mengerenyit. Wah, pasti
wajahku tambah tambal sulam. Aku tidak berpikir ia masih seperti dulu. Belum
sempat aku jawab dia pun berkata, "Kamu sendiri kenapa sendiri?"
Aku sendiri memang sendiri. Bukan karena tidak punya
teman atau pacar. Aku memang belum kawin, dan lagi, aku pulang itu cuma
sebentar. Ibuku sudah lama kangen dengan aku, dan aku sempatkan pulang berbarengan
dengan adanya perkawinan temanku itu. Rencana utama perjalananku sendiri
sebetulnya ke Pulau Batam. Ada seminar. Tidak perlulah aku ceritakan yang ini.
Tidak penting dan tidak menarik. Kalau tidak ada aral melintang, tahun ini aku
akan kawin, segera. Bahkan orang tuaku dan orang tua pacarku sudah saling
bertemu dan berencana tentang perkawinanku.
"Menurut perkiraanku, wanita seperti kamu paling
tidak sudah berkeluarga. Bagaimana mungkin sekuntum bunga nan segar tidak ada
yang segera memetiknya." Aku kaget, kenapa tiba-tiba harus merayunya. Dia
hanya tertawa, gigi putihnya tampak.
"Kalau perkiraanmu benar bagaimana, bagaimana kalau
salah." Dia berbicara seperti itu tanpa ekspresi, seolah apa yang
dikatakannya tidak penting. Aku meneguk coca-cola di depanku hingga habis.
Membasahi tenggorokannku yang tiba-tiba kering. Aku menimang-nimang botol
coca-cola. "Mimumanmu habis, aku ambilkan ya?" Tentu ini kejutan
besar buatku. Tidak mengira ia memberi perhatian padaku. Ia berdiri dan
berjalan ke arah belakang. Tidak berapa lama ia muncul dengan membawa dua
coca-cola botol kecil. Satu diberikannya padaku, satu untuk dia sendiri.
"Terimakasih." Aduh matanya, demikian
berpendar-pendar. Aku pun segera menyeruput. Setelah itu kami berdiam lagi.
Mungkin sama-sama tidak tahu harus berbicara apa. Setelah lima belas tahun
tidak ada kontak, ternyata orang menjadi serba tidak tahu antara satu dengan
yang lain. Kami hanya bisa bicara tentang temanku yang sedang melangsungkan
pernikahan, dan beberapa pembicaraan basa-basi lainnya. Menggairahkan karena
berbicara dengannya.
* * *
Malamnya aku tidak bisa tidur. Gelisah setengah mati.
Tiba-tiba aku merasa alangkah jauhnya Yogyakarta, dan membayangkan pulang yang
melelahkan. Aku merasa kekasihku yang bakal aku kawini itu matanya kalah indah
dibanding Ainina. Jika dibandingkan Ainina, mata pacarku itu tidak lebih bunga
yang layu, pucat dan tidak bergairah. Apakah aku menyukai Ainina, jatuh cinta
padanya. Kenapa agak mendadak. Tidak, tidak tiba- tiba. Kalau tiba-tiba, kenapa
dari dulu aku cemburu padanya. Apa hakku mencemburui-nya kalau bukan karena
pada dasarnya aku menyukainya. Tapi aku masih merasa Ainina membenciku, tidak
ada gelagat-gelagat khusus bahwa dia suka padaku. Tidak ada. Soal coca-cola itu
pasti hanya kebetulan saja.
Alangkah konyolnya aku. Bagaimana mungkin tiba-tiba aku
harus berpaling. Baik, anggaplah dia membenciku, mungkinkah ada cara lain agar
dia bisa menyukaiku, sedikit saja. Aku mencoba mengenang-ngenang berbagai
teknik merayu bagaimana agar seseorang wanita bisa jatuh cinta. Di celah-celah
saraf ingatanku, aku teringat cara-cara orang kampungku bagaimana menakhklukkan
seseorang. Apa aku mungkin melakukan sesuatu yang aku tidak percaya. Sialan!!
Kenapa aku jadi sebodoh ini. Yang pasti, semalaman aku tidak bisa tidur,
terbayang-bayang sepasang mata yang demikian indah, terlalu indah.
Menjelang pagi, aku berak, diam-diam aku mengambil secuil
tahiku dan aku bungkus. "Yang lain gampang." Rasanya aku tersenyum
kecut, teringat nama Cina yang pernah diceritakan oleh temanku di Klaten. Aku
tidak tahu persis apakah ada atau tidak, Cui Lan Tai. Ah, masa cinta dan benci
bisa diatur- atur begitu saja.
Kabut pagi tergusur. Di tempat lain, seorang wanita
anggun-manis termangu. Dia seperti sedang menunggu sesuatu, menunggu kabar,
menunggu kejadian berikutnya. Melihat ke ufuk timur, tak sabar menunggu
matahari muncul. Datanglah padaku.
Usaplah lehermu hingga ke atas. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar