Sabtu, 14 April 2012

ORANG-ORANG YANG MENUNGGU


ORANG-ORANG YANG MENUNGGU

Aku tahu, aku bukan wanita baik-baik. Tetapi itu tidak boleh menjadi alasan engkau menyia-nyiakan aku seperti ini, di sudut jalan kota Barcelona yang tidak aku kenal. Aku sadar, dan aku tahu, kalau boleh dianggap sebagai kesalahan, kesalahanku satu-satunya adalah aku tidak pernah secara tegas mengatakan bahwa aku mencintaimu. Aku pikir untuk apa. Apakah cinta harus dikatakan. Sungguh, aku menyukai seluruh dirimu. Aku menyukai bau tubuhmu, menyukai tawamu, menyukai rambut panjang ikalmu, alismu. Swear mati, kamu memenuhi semua ingatan dan hari-hariku. Kamu berjanji padaku akan menemuiku di tempat ini.
Apakah aku salah dengar, atau apakah aku salah mencatat hari dan tanggal. Tidak mungkin, tidak ada satu kata pun dari dirimu yang terlewatkan dan terlupakan. Kamu berjanji setelah semua urusanmu selesai, kau akan langsung terbang dari New York, bahkan kemarin lusa pun kau masih mengatakan itu. Kau bilang tidak perlu dikontak lagi, karena itu pasti. Kamu bilang kebetulan ada urusan bisnis yang harus diselesaikan di Barcelo­na. Tentu aku percaya. Aku tahu, pekerjaanmu menjadikan kamu seperti burung yang terbang ke mana-mana.
Kamu berjanji akan langsung menciumku begitu engkau melihatku. Aku demikian bergairah. Seorang wanita, di sudut jalan di kota Barcelona yang tidak dikenal. Kalau bukan karena engkau, tak mungkin semua ini aku lakukan. Aku memang wanita petualang, tetapi sungguh mati, ini pertama kali aku ke Barcelona. Menunggu seseorang yang ingin dipastikan bahwa aku mencintai seseorang. Ah, apakah aku memang mencintaimu. Apakah aku harus mengatakan itu di sudut jalan kota Barcelona yang tidak aku kenal?
Entah sudah berapa kali aku membaca Casa Batllo. Bangu­nan itu teronggok angkuh di depanku, seperti mentertawakan sebuah kekonyolan, dan mungkin kesia-siaan. Entah untuk apa aku harus membaca. Setiap aku bingung harus membuang waktu, tanpa sengaja aku membaca itu kembali. Aku berpikir mengapa gedung itu harus dinamakan itu. Tapi untuk apa aku harus berpi­kir dan mempertanyakan itu. Untuk apa aku harus mengetahui. Itu semua gara-gara kamu. Aku tidak tahu masih seberapa lama aku masih harus menunggumu. Ah, kenapa dulu-dulu aku tidak mengucapkan kata-kata itu sehingga kamu tidak perlu dirundung keraguan. Baiklah, aku akan menunggumu. Aku juga perlu menguji cintaku.
* * *
Dalam sebuah ruangan, remang lampu seperti enggan memastikan. Apakah aku harus bernyanyi, sebuah lagu persem­bahan, seseorang berkata pada dirinya sendiri. Dari cara berja­lannya, terlihat bahwa ia telah sangat mengenal tempat itu. Sesampai di tempat yang telah dijanjikan, ia duduk pada sebuah kursi yang terebah dingin dan kaku. Matanya liar menatap ruang- ruang kosong di ruang yang remang-remang diselimuti asap tembakau. Mantaplah hatinya. Perlahan-lahan ia membuka baju dan penutup bagian dalam. Kini ia polos telanjang. Lampu ultra violet membuat kulit tubuhnya kontras dan mencuri perhatian.  Ia menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, menari-menari, berpu­tar-putar. "Aduh kasihku, inilah milikku, dan sebagian kenikma­ tan. Jangan ragu kasih, jangan gelisah, tak kan musnah sebait lagu, lagu persembahan. Kesetiaanku adalah keperempuananku. Aduh kasihku, inilah milikku, dan sebagian kenikmatan .... Dia tidak mau tahu apakah lolongan hati itu ada yang mendengar atau tidak.
Seorang laki-laki baya menatap kosong ke penari telanjang itu. Menjelang dini hari, dan hujan di musim panas ini telah reda sayangku. Semalaman aku meneguk Martini dan bercakap-cakap ramah dengan siapa saja, seolah aku telah mengenalnya berta­hun-tahun. Sekali-sekali aku ikut berteriak mengikuti irama blues yang aku tidak pernah tahu judulnya, tidak pernah tahu siapa penciptanya. Lagu-lagu itu telah kudengar sejak aku remaja, bahkan sejak sebelum aku memilikimu. Entah apakah kamu menyukai lagu itu atau tidak. Kalau tidak salah aku pernah berka­ta pada kamu bahwa aku menyenangi lagu-lagu blues. Waktu itu kamu berkata bahwa kamu tidak suka, kamu lebih menyukai lagu-lagu pop ramance. Kamu bilang lebih menyentuh hatimu.
Sudah beberapa tahunkah waktu itu berlalu. Seperti apa kau kini? Menjadi gadis dewasa yang cerdas dan menarik? Seperti ibumu. Ibumu memang wanita bersemangat, seorang yang ambisius walau sedikit egois. Malam ini aku minum Martini karena aku tidak mau mabuk. Itu minuman kesukaan kakekmu. Waktu kecil aku sering diajak kakekmu minum Martini dan tidak mabuk. Minuman Martini tidak dibuat untuk mabuk-mabukan. Apa katamu nanti kalau ketemu aku, aku dalam keadaan mabuk. Pasti kamu kecewa. Aku tidak mau itu terjadi. Seperti harapan­mu. Aku harus menjadi laki-laki seperti yang ingin engkau bayangkan, seperti yang engkau idolakan, seorang laki-laki yang tenang, matang, dan percaya diri.
Ah, kenapa itu harus terjadi sayangku, kenapa kita harus berpisah sekian tahun. Aku tahu, engkau tidak salah, akulah yang salah, aku laki-laki egois. Kini hari telah menjadi pagi sayangku. Malam yang engkau janjikan, nyaris berlalu sayangku. Aku tidak tahu apakah aku masih mengenalmu. Atau jangan- jangan sedari tadi sebetulnya engkau telah di sini, dan telah lama memperhatikan aku. Tidak mungkin, tidak mungkin aku tidak mengenalmu. Atau apakah aku telah demikian mabuk, sayangku? Atau, sebetulnya engkau telah datang, dan malu bertemu aku karena aku tidak seperti laki-laki yang engkau kenal dulu. Betul, aku memang tidak pantas memilikimu. Tapi, bagaimanapun juga aku ini ayahmu, sayangku. Kamu akuilah itu, walau semenit saja, dan setelah itu boleh kau lupakan. Tidak, tidak mungkin engkau melakukan itu. Kamu gadis baik, sayangku. Apakah engkau telah datang dan sedang memandangku, sayangku ....
* * *
Sudah tiga belas batang asap rokok memenuhi dada. Lebih dari empat jam berjalan detik per detik. Daerah itu pun telah sangat kukenal. Sebuah hotel berbintang lima membujur kaku di depanku, perkantoran, mal, satpam, toko-toko, bar, pohon- pohon kecil nan rindang, orang berjualan makanan, orang-orang hilir-mudik, dan hutan lampu. Entah makanan apa, aku tidak tertarik makan jika pekerjaanku belum tuntas. Ratusan orang telah aku perhatikan, aku kenali raut mukanya, aku perhatikan pakaiannya, aku perhatikan apakah dia sedang gelisah atau senang hatinya. Sayang, tidak ada satupun orang dengan ciri-ciri yang sesuai dengan keterangamu itu. Kembali aku memegang- megang senapan dan memastikan bahwa senapan itu berisi. Sudah berapa kali aku menggunakan senapan yang kuberi nama Luger. Ini hanya sebuah nama kenangan. Tidak pernah gagal. Aku selalu memastikan bahwa sasaranku adalah orang yang tepat.
Kembali kuhidupkan rokok, rokok yang keempat belas. Aku seperti laki-laki kurang pekerjaan, menghitung berapa batang rokok yang telah aku hisap, suatu hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Aku memang mengalami kesulitan. Di sini aku mengalami kesulitan membedakan orang-orang. Kau memberi keterangan orang itu berkulit kemerah-merahan, rambut ikal hitam, tinggi sedang. Padahal, di sini orang-orang hampir memiliki ciri-ciri seperti yang engkau katakan itu. Aku merasa pekerjaanku menjadi demikian sulit dan brengsek. Kalau aku tahu bahwa aku harus membunuh orang itu di tempat seperti ini, pasti tidak akan aku sanggupi. Untung kau menjanjikan sejumlah uang yang menggiurkan. Ohoi, satu juta dolar. Itu bukan jumlah kecil. Setelah semua ini selesai, aku akan berfoya-foya, mungkin ke Bangkok, ke pantai Hawai. Ada keterangan lain yang mu­ngkin sangat penting, sayang waktu itu aku tidak mendengarnya secara jelas. Telepon yang menghubungkan kita agak berisik sehingga kata-kata itu tidak secara pasti aku dengar. Sialnya, engkau tidak mau aku hubungi. Aku hanya ingin memastikan, kata-kata apakah itu?
Tapi, ini kali aku harus memutuskan sesuatu sesuai dengan naluriku. Tidak pernah meleset. Aku tahu siapa orang pantas dibunuh dan mana yang tidak. Entah dari mana naluri itu aku dapatkan. Ini suatu hal yang sulit dijelaskan. Kupandang lagi pintu depan bar itu. Telah dini hari, dan hujan rintik yang din­gin. Tiga orang laki-laki ke luar. Aku yakin, inilah saatnya aku harus memilih salah satu. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku dan memilihnya lewat tele . Tetapi tidak ada perbedaan yang membuatku berdesir. Aku berpindah ke rambut, ke warna kulit, sepatu, atau apa saja yang membuatku memutuskan sesuatu. Apakah aku keliru. Kenapa tidak ada satu pun dari tiga laki-laki itu yang harus aku bunuh sesuai dengan order. Selintas, aku teringat sesuatu ...
* * *
Wanita itu, di sudut jalan Barcelona yang tidak dikenalnya itu, melihat jam tangannya berkali-kali. Detik-detik merambat pelan. Teringat olehnya pada hari itu, pada jam yang sama ia telah meminta seseorang melakukan suatu tugas yang telah berta­hun-tahun ia rencanakan.
"Aku akan bertemu dengan seseorang yang tidak ingin aku temui. Kalau kau sukses bisa menghilangkannya dari muka bumi ini, kau akan mendapat upah besar dariku."
Sambil melamun, ia mengenang peristiwa itu. Entah sudah berapa kali doa-doa itu  dia taburkan. Matanya berlinang. Kenangan-kenangan berhamburan. Saat-saat ia memasakkan aku goreng ikan, membuatkanku kandang ayam, membelikanku dua ekor kambing, menciumku karena aku naik kelas, menghadiahi aku pada hari kelahiranku, setiap tahun.  Kini ia tergeletak lun­glai dimakan kemalangan dan pengkhianatan. Api dimata-nya yang menemani semangatku bertahun-tahun telah pudar.
"Sekarang aku tidak punya siapa-siapa, tidak punya apa- apa? Di mana aku mati, di situlah aku dikuburkan. Tidak usah diberi tahu siapa-siapa. Tidak juga ayahmu. Ternyata beginilah nasibku justru dihari tuaku. Tapi aku selalu berterimakasih kepada Tuhan. Lebih dari enam puluh tahun aku diberi kebaha­giaan. Kini aku menerima apa saja yang diberikan padaku. Aku ditinggal oleh laki-laki yang aku cintai sepenuh jiwa ragaku, ayahmu, saat-saat ketika hanya menunggu ajal kematian. Aku tidak tahu, apa yang dicari oleh ayahmu? Aku tidak akan penah menyesalinya lagi."
Aku memang telah lama mempersiapkan diriku menerima kabar tidak baik. Beberapa tahun lalu, semenjak usia ibuku mengijak tujuh puluh tujuh. Tapi entah kenapa, melihat kelun­glaiannya diterpa kemalangan dan pengkhianatan, aku menjadi tidak siap. Aku tidak mau ibuku meninggal dalam keadaan seper­ti itu. Tidak mau. Semua ini di luar perkiraanku. Aku tidak menyangka ayahku akan berbuat sehina itu. Dia laki-laki yang baik. Aku telah mencarinya kemana-mana. Tidak ada yang tahu. Sekarang aku hanya bisa menunggu. Entah apa yang lebih dahu­lu. Ayahku datang dengan wajah penuh penyesalan, atau ibuku....
Kini semua telah terlambat ayah. Aku telah memutuskan sesuatu yang engkau sendiri tidak akan pernah mengira. Aku ini wanita cerdas yang ambisius dan egois, seperti katamu dulu.
* * *
Sambil mengisi waktu, seorang laki-laki asyik menggesek gesek dawai senar biolanya. Mengalirlah lagu Stealer Wheels. Late again, when I get home. You 'll be waiting. Still you know, there ain't no use and you complainin'. I know that I, to show same respect. Especialy when I'm wrong. Ia telah memutuskan tidak berangkat ke Barcelona dan tidak memberi kabar. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan kekasihnya itu dengan kejadian ini. Cinta memang perlu diuji. Kamu harus punya cara sendiri untuk meyakinkan aku. Entahlah, siapa yang diantara kita yang manja.
Ada selalu yang membuatnya tidak pernah yakin dan ragu, bahkan semacam rasa takut. "Napas dan gairahmu sayangku, seperti menyimpan marah dan dendam. Ini membuatku seolah tidak pernah bisa mengenalmu. Padahal, sudah bertahun-tahun kita bercengkrama." Ia memandang telepon. Ada yang tak terta­hankan.
* * *
Di sebuah pantai, seorang wanita mencoba mengingat-ingat penggalan-penggalan kisah itu. Baginya ada yang selalu tak terlupakan. Sambil melempar-lempar butiran-butiran pasir, Ia sendiri kemudian membayangkan menjadi istri seorang nelayan. Sepasang mata menatap curiga ke cakrawala. Mendung meng­gumpal bergerak cepat mengikuti gerakan angin. Perempuan itu merapatkan tangannya di dada erat. Ada yang tak terkatakan. Suara-suara ombak yang sumbang seolah mengabarkan sesuatu kepada wanita itu. Di ufuk timur, warna merah kekuning-kunin­gan menggelap tertutup mendung. Rasa dingin menggigil tusuk- tusuk angin. Kabut perlahan-lahan merebahkan diri ke permu­kaan bumi. Apakah ia akan datang pagi ini, pagi kemarin, pagi esok.
"Ini memang bukan kejadian pertama. Aku di sini terus. Hingga engkau datang."
Ombak mereda. Matahari menyembul perlahan membuka hari. Wanita itu duduk kokoh menatap tajam cakrawala, meman­dang horizon, memandang harapan. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar