ORANG-ORANG
YANG MENUNGGU
Aku tahu, aku bukan wanita baik-baik. Tetapi itu tidak
boleh menjadi alasan engkau menyia-nyiakan aku seperti ini, di sudut jalan kota
Barcelona yang tidak aku kenal. Aku sadar, dan aku tahu, kalau boleh dianggap
sebagai kesalahan, kesalahanku satu-satunya adalah aku tidak pernah secara
tegas mengatakan bahwa aku mencintaimu. Aku pikir untuk apa. Apakah cinta harus
dikatakan. Sungguh, aku menyukai seluruh dirimu. Aku menyukai bau tubuhmu,
menyukai tawamu, menyukai rambut panjang ikalmu, alismu. Swear mati, kamu
memenuhi semua ingatan dan hari-hariku. Kamu berjanji padaku akan menemuiku di
tempat ini.
Apakah aku salah dengar, atau apakah aku salah mencatat
hari dan tanggal. Tidak mungkin, tidak ada satu kata pun dari dirimu yang terlewatkan
dan terlupakan. Kamu berjanji setelah semua urusanmu selesai, kau akan langsung
terbang dari New York, bahkan kemarin lusa pun kau masih mengatakan itu. Kau
bilang tidak perlu dikontak lagi, karena itu pasti. Kamu bilang kebetulan ada
urusan bisnis yang harus diselesaikan di Barcelona. Tentu aku percaya. Aku
tahu, pekerjaanmu menjadikan kamu seperti burung yang terbang ke mana-mana.
Kamu berjanji akan langsung menciumku begitu engkau
melihatku. Aku demikian bergairah. Seorang wanita, di sudut jalan di kota
Barcelona yang tidak dikenal. Kalau bukan karena engkau, tak mungkin semua ini
aku lakukan. Aku memang wanita petualang, tetapi sungguh mati, ini pertama kali
aku ke Barcelona. Menunggu seseorang yang ingin dipastikan bahwa aku mencintai
seseorang. Ah, apakah aku memang mencintaimu. Apakah aku harus mengatakan itu
di sudut jalan kota Barcelona yang tidak aku kenal?
Entah sudah berapa kali aku membaca Casa Batllo. Bangunan
itu teronggok angkuh di depanku, seperti mentertawakan sebuah kekonyolan, dan
mungkin kesia-siaan. Entah untuk apa aku harus membaca. Setiap aku bingung
harus membuang waktu, tanpa sengaja aku membaca itu kembali. Aku berpikir
mengapa gedung itu harus dinamakan itu. Tapi untuk apa aku harus berpikir dan
mempertanyakan itu. Untuk apa aku harus mengetahui. Itu semua gara-gara kamu.
Aku tidak tahu masih seberapa lama aku masih harus menunggumu. Ah, kenapa
dulu-dulu aku tidak mengucapkan kata-kata itu sehingga kamu tidak perlu
dirundung keraguan. Baiklah, aku akan menunggumu. Aku juga perlu menguji
cintaku.
* * *
Dalam sebuah ruangan, remang lampu seperti enggan
memastikan. Apakah aku harus bernyanyi, sebuah lagu persembahan, seseorang
berkata pada dirinya sendiri. Dari cara berjalannya, terlihat bahwa ia telah
sangat mengenal tempat itu. Sesampai di tempat yang telah dijanjikan, ia duduk
pada sebuah kursi yang terebah dingin dan kaku. Matanya liar menatap ruang-
ruang kosong di ruang yang remang-remang diselimuti asap tembakau. Mantaplah
hatinya. Perlahan-lahan ia membuka baju dan penutup bagian dalam. Kini ia polos
telanjang. Lampu ultra violet membuat kulit tubuhnya kontras dan mencuri
perhatian. Ia menggerak-gerakkan tangan
dan kakinya, menari-menari, berputar-putar. "Aduh kasihku, inilah
milikku, dan sebagian kenikma tan. Jangan ragu kasih, jangan gelisah, tak kan
musnah sebait lagu, lagu persembahan. Kesetiaanku adalah keperempuananku. Aduh
kasihku, inilah milikku, dan sebagian kenikmatan .... Dia tidak mau tahu apakah
lolongan hati itu ada yang mendengar atau tidak.
Seorang laki-laki baya menatap kosong ke penari telanjang
itu. Menjelang dini hari, dan hujan di musim panas ini telah reda sayangku.
Semalaman aku meneguk Martini dan bercakap-cakap ramah dengan siapa saja,
seolah aku telah mengenalnya bertahun-tahun. Sekali-sekali aku ikut berteriak
mengikuti irama blues yang aku tidak pernah tahu judulnya, tidak pernah tahu
siapa penciptanya. Lagu-lagu itu telah kudengar sejak aku remaja, bahkan sejak
sebelum aku memilikimu. Entah apakah kamu menyukai lagu itu atau tidak. Kalau
tidak salah aku pernah berkata pada kamu bahwa aku menyenangi lagu-lagu blues.
Waktu itu kamu berkata bahwa kamu tidak suka, kamu lebih menyukai lagu-lagu pop
ramance. Kamu bilang lebih menyentuh hatimu.
Sudah beberapa tahunkah waktu itu berlalu. Seperti apa
kau kini? Menjadi gadis dewasa yang cerdas dan menarik? Seperti ibumu. Ibumu
memang wanita bersemangat, seorang yang ambisius walau sedikit egois. Malam ini
aku minum Martini karena aku tidak mau mabuk. Itu minuman kesukaan kakekmu.
Waktu kecil aku sering diajak kakekmu minum Martini dan tidak mabuk. Minuman
Martini tidak dibuat untuk mabuk-mabukan. Apa katamu nanti kalau ketemu aku,
aku dalam keadaan mabuk. Pasti kamu kecewa. Aku tidak mau itu terjadi. Seperti
harapanmu. Aku harus menjadi laki-laki seperti yang ingin engkau bayangkan,
seperti yang engkau idolakan, seorang laki-laki yang tenang, matang, dan
percaya diri.
Ah, kenapa itu harus terjadi sayangku, kenapa kita harus
berpisah sekian tahun. Aku tahu, engkau tidak salah, akulah yang salah, aku
laki-laki egois. Kini hari telah menjadi pagi sayangku. Malam yang engkau
janjikan, nyaris berlalu sayangku. Aku tidak tahu apakah aku masih mengenalmu.
Atau jangan- jangan sedari tadi sebetulnya engkau telah di sini, dan telah lama
memperhatikan aku. Tidak mungkin, tidak mungkin aku tidak mengenalmu. Atau
apakah aku telah demikian mabuk, sayangku? Atau, sebetulnya engkau telah
datang, dan malu bertemu aku karena aku tidak seperti laki-laki yang engkau
kenal dulu. Betul, aku memang tidak pantas memilikimu. Tapi, bagaimanapun juga
aku ini ayahmu, sayangku. Kamu akuilah itu, walau semenit saja, dan setelah itu
boleh kau lupakan. Tidak, tidak mungkin engkau melakukan itu. Kamu gadis baik,
sayangku. Apakah engkau telah datang dan sedang memandangku, sayangku ....
* * *
Sudah tiga belas batang asap rokok memenuhi dada. Lebih
dari empat jam berjalan detik per detik. Daerah itu pun telah sangat kukenal.
Sebuah hotel berbintang lima membujur kaku di depanku, perkantoran, mal,
satpam, toko-toko, bar, pohon- pohon kecil nan rindang, orang berjualan
makanan, orang-orang hilir-mudik, dan hutan lampu. Entah makanan apa, aku tidak
tertarik makan jika pekerjaanku belum tuntas. Ratusan orang telah aku
perhatikan, aku kenali raut mukanya, aku perhatikan pakaiannya, aku perhatikan
apakah dia sedang gelisah atau senang hatinya. Sayang, tidak ada satupun orang
dengan ciri-ciri yang sesuai dengan keterangamu itu. Kembali aku memegang-
megang senapan dan memastikan bahwa senapan itu berisi. Sudah berapa kali aku
menggunakan senapan yang kuberi nama Luger. Ini hanya sebuah nama kenangan.
Tidak pernah gagal. Aku selalu memastikan bahwa sasaranku adalah orang yang
tepat.
Kembali kuhidupkan rokok, rokok yang keempat belas. Aku
seperti laki-laki kurang pekerjaan, menghitung berapa batang rokok yang telah
aku hisap, suatu hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Aku memang
mengalami kesulitan. Di sini aku mengalami kesulitan membedakan orang-orang.
Kau memberi keterangan orang itu berkulit kemerah-merahan, rambut ikal hitam,
tinggi sedang. Padahal, di sini orang-orang hampir memiliki ciri-ciri seperti
yang engkau katakan itu. Aku merasa pekerjaanku menjadi demikian sulit dan
brengsek. Kalau aku tahu bahwa aku harus membunuh orang itu di tempat seperti
ini, pasti tidak akan aku sanggupi. Untung kau menjanjikan sejumlah uang yang
menggiurkan. Ohoi, satu juta dolar. Itu bukan jumlah kecil. Setelah semua ini
selesai, aku akan berfoya-foya, mungkin ke Bangkok, ke pantai Hawai. Ada
keterangan lain yang mungkin sangat penting, sayang waktu itu aku tidak
mendengarnya secara jelas. Telepon yang menghubungkan kita agak berisik
sehingga kata-kata itu tidak secara pasti aku dengar. Sialnya, engkau tidak mau
aku hubungi. Aku hanya ingin memastikan, kata-kata apakah itu?
Tapi, ini kali aku harus memutuskan sesuatu sesuai dengan
naluriku. Tidak pernah meleset. Aku tahu siapa orang pantas dibunuh dan mana
yang tidak. Entah dari mana naluri itu aku dapatkan. Ini suatu hal yang sulit
dijelaskan. Kupandang lagi pintu depan bar itu. Telah dini hari, dan hujan
rintik yang dingin. Tiga orang laki-laki ke luar. Aku yakin, inilah saatnya
aku harus memilih salah satu. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku dan
memilihnya lewat tele . Tetapi tidak ada perbedaan yang membuatku berdesir. Aku
berpindah ke rambut, ke warna kulit, sepatu, atau apa saja yang membuatku
memutuskan sesuatu. Apakah aku keliru. Kenapa tidak ada satu pun dari tiga
laki-laki itu yang harus aku bunuh sesuai dengan order. Selintas, aku teringat
sesuatu ...
* * *
Wanita itu, di sudut jalan Barcelona yang tidak
dikenalnya itu, melihat jam tangannya berkali-kali. Detik-detik merambat pelan.
Teringat olehnya pada hari itu, pada jam yang sama ia telah meminta seseorang
melakukan suatu tugas yang telah bertahun-tahun ia rencanakan.
"Aku akan bertemu dengan seseorang yang tidak ingin
aku temui. Kalau kau sukses bisa menghilangkannya dari muka bumi ini, kau akan
mendapat upah besar dariku."
Sambil melamun, ia mengenang peristiwa itu. Entah sudah
berapa kali doa-doa itu dia taburkan.
Matanya berlinang. Kenangan-kenangan berhamburan. Saat-saat ia memasakkan aku
goreng ikan, membuatkanku kandang ayam, membelikanku dua ekor kambing,
menciumku karena aku naik kelas, menghadiahi aku pada hari kelahiranku, setiap
tahun. Kini ia tergeletak lunglai
dimakan kemalangan dan pengkhianatan. Api dimata-nya yang menemani semangatku
bertahun-tahun telah pudar.
"Sekarang aku tidak punya siapa-siapa, tidak punya
apa- apa? Di mana aku mati, di situlah aku dikuburkan. Tidak usah diberi tahu
siapa-siapa. Tidak juga ayahmu. Ternyata beginilah nasibku justru dihari tuaku.
Tapi aku selalu berterimakasih kepada Tuhan. Lebih dari enam puluh tahun aku
diberi kebahagiaan. Kini aku menerima apa saja yang diberikan padaku. Aku
ditinggal oleh laki-laki yang aku cintai sepenuh jiwa ragaku, ayahmu, saat-saat
ketika hanya menunggu ajal kematian. Aku tidak tahu, apa yang dicari oleh
ayahmu? Aku tidak akan penah menyesalinya lagi."
Aku memang telah lama mempersiapkan diriku menerima kabar
tidak baik. Beberapa tahun lalu, semenjak usia ibuku mengijak tujuh puluh
tujuh. Tapi entah kenapa, melihat kelunglaiannya diterpa kemalangan dan
pengkhianatan, aku menjadi tidak siap. Aku tidak mau ibuku meninggal dalam
keadaan seperti itu. Tidak mau. Semua ini di luar perkiraanku. Aku tidak
menyangka ayahku akan berbuat sehina itu. Dia laki-laki yang baik. Aku telah
mencarinya kemana-mana. Tidak ada yang tahu. Sekarang aku hanya bisa menunggu.
Entah apa yang lebih dahulu. Ayahku datang dengan wajah penuh penyesalan, atau
ibuku....
Kini semua telah terlambat ayah. Aku telah memutuskan
sesuatu yang engkau sendiri tidak akan pernah mengira. Aku ini wanita cerdas
yang ambisius dan egois, seperti katamu dulu.
* * *
Sambil mengisi waktu, seorang laki-laki asyik menggesek
gesek dawai senar biolanya. Mengalirlah lagu Stealer Wheels. Late again, when I get home. You 'll be waiting. Still
you know, there ain't no use and you complainin'. I know that I, to show same
respect. Especialy when I'm wrong. Ia telah memutuskan tidak berangkat ke
Barcelona dan tidak memberi kabar. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan
kekasihnya itu dengan kejadian ini. Cinta memang perlu diuji. Kamu harus punya
cara sendiri untuk meyakinkan aku. Entahlah, siapa yang diantara kita yang
manja.
Ada selalu yang membuatnya tidak pernah yakin dan ragu,
bahkan semacam rasa takut. "Napas dan gairahmu sayangku, seperti menyimpan
marah dan dendam. Ini membuatku seolah tidak pernah bisa mengenalmu. Padahal,
sudah bertahun-tahun kita bercengkrama." Ia memandang telepon. Ada yang
tak tertahankan.
* * *
Di sebuah pantai, seorang wanita mencoba mengingat-ingat
penggalan-penggalan kisah itu. Baginya ada yang selalu tak terlupakan. Sambil
melempar-lempar butiran-butiran pasir, Ia sendiri kemudian membayangkan menjadi
istri seorang nelayan. Sepasang mata menatap curiga ke cakrawala. Mendung menggumpal
bergerak cepat mengikuti gerakan angin. Perempuan itu merapatkan tangannya di
dada erat. Ada yang tak terkatakan. Suara-suara ombak yang sumbang seolah
mengabarkan sesuatu kepada wanita itu. Di ufuk timur, warna merah
kekuning-kuningan menggelap tertutup mendung. Rasa dingin menggigil tusuk-
tusuk angin. Kabut perlahan-lahan merebahkan diri ke permukaan bumi. Apakah ia
akan datang pagi ini, pagi kemarin, pagi esok.
"Ini memang bukan kejadian pertama. Aku di sini
terus. Hingga engkau datang."
Ombak mereda. Matahari menyembul perlahan membuka hari.
Wanita itu duduk kokoh menatap tajam cakrawala, memandang horizon, memandang
harapan. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar