https://play.google.com/store/books/author?id=Aprinus+Salam
///
Kumpulan cerpen Aprinus Salam, sudah diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Budaya UGM, tahun 2009
Jumat, 22 Januari 2016
Sabtu, 14 April 2012
HARGA DIRI
HARGA DIRI
Semenjak
diwisuda sebagai seorang sarjana hukum, sudah tujuh tahun Sarjono menganggur.
Sudah puluhan instansi ia lamar. Doa-doa secara rutin telah ia hujahkan. Puasa
prihatin telah dia kerjakan. Waktu tujuh tahun telah membuatnya terlihat tua dan
lelah. Dia pun semakin menyadari bahwa dengan kesarjanaannya itu, dia seperti
tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak jarang dia bertanya, apa yang telah
dipelajarinya lebih dari enam tahun pada fakultas di perguruan tinggi yang
cukup punya nama di kotanya. Kok hampir tidak berguna. Padahal nilai
kelulusannya tidak tergolong jelek. Kalau ada sedikit kenangan, ia pernah
diajar demonstrasi oleh kakak-kakak kelasnya. Ia pun sering ikut-ikutan
demonstrasi. Demonstrasi anti korupsi, penegakkan hukum, demonstrasi pelanggaran
HAM, anti KKN, dan sebagainya.
Tapi nyali sebagai seorang demonstran itu sekarang nyaris
sirna. Kalau ingin demo, demo kepada siapa, bagaimana caranya. Karena alasan
apa. Toh yang namanya pengangguran itu puluhan juta. Pernah juga terbetik di pikirannya,
bagaimana menggerakkan puluhan juta penganggur untuk demo. Ide itu akhirnya dia
tumpas sendiri. Rasa takut jika nanti ditangkap lebih mengerikan daripada
menjadi penganggur.
Yang susah tentu bukan hanya Sarjono. Ibu Sarjono, yang
merasa demikian bersusah payah menyekolahkan anaknya, tidak kurang stresnya. Ia merasa gairah hidupnya semakin hari semakin meluntur.
Rasa harapnya dari hari ke hari semakin pupus. Cuma, tidak ada yang dapat dia
kerjakan selain pasrah kepada keadaan.
Suatu hari, sepulang dari bepergian, Sarjono membawa
berita yang mengejutkan. "Syukurlah Bu, akhirnya saya diterima
bekerja."
Mendengar
berita yang telah ia tunggu bertahun-tahun itu, alangkah gembira hatinya. Ia
pun berteriak memanggil anak- anaknya yang lain. Adik-adik Sarjono berkumpul.
"Beri selamat kepada Masmu. Akhirnya dia dapat
kerjaan. Mulai besok dia sudah masuk kerja," ucap Ibunya tanpa mampu
menyembunyikan rasa bangga.
"Selamat Mas. Jangan lupa nanti kalau sudah menerima
gaji, saya dibelikan sepatu."
"Gitu dong Mas. Saya dibelikan kaos saja."
Sarjono menerima ucapan selamat adik-adiknya, dan ia
berjanji kelak pada gaji pertamanya akan membelikan permintaan adiknya. Ia
segera ke kamar untuk memberi kesan sibuk. Membongkar-bongkar arsip yang ia
simpan pada sebuah tas besar tua dan berdebu. Beberapa berkas bahkan seperti
sudah dimakan rengat. Rumah yang lembab dan sumpek, katanya, tempat kesukaan
rengat.
Waktu tidur siang adik Sarjono bermimpi. Bermimpi naik motor keliling kota membonceng Sarjono.
Mampir ke mal, beli sepatu, beli bakso. Riang dan perut kenyang, Sarjono masih
menawarkan ingin beli apa lagi. "Aku sudah lama ingin beli walk-man."
Dia terbangun karena tetangganya menyetel lagu Gelas-Gelas Kaca yang
dinyanyikan Nia Daniati demikian keras.
Adik
Sarjono yang lain bermimpi pada hari ulang tahunnya dihadiahi oleh kakaknya
sebuah T-Shirt berwarna oranye. Di bagian dada kaos itu ada tulisan LA.
Diciumnya berkali-kali kaos itu. "Tahun depan hadiahi aku levis ya, mas."
* * *
Malam harinya wajah Sarjono tampak
muram.
"Ada apa?" Ibunya tanggap.
"Betul Bu, saya diterima bekerja. Tapi ada
syaratnya. Syaratnya saya bersedia membayar sebesar delapan juta rupiah."
"Lapan juta rupiah?" Ibu Sarjono terperangah.
"Uang bagaimana itu. Orang bekerja itu dapat uang, sekarang belum bekerja
malah membayar. Maksudnya nyogok gitu?"
"Sekarang itu wajar Bu. Semua orang melakukan hal
yang sama. Apa lagi saya dijanjikan akan menempati kedudukan yang baik,
gaji yang baik, dan fasilitas tempat tinggal."
"Dari
mana kita mendapatkan uang sebanyak itu?"
"Itulah
yang saya pikirkan. Karena jelas mendapatkan uang sebanyak itu tidak mungkin.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya segera saja saya tolak."
"Apa?
Jadi?"
"Saya
sudah membuat pernyataan resmi dan minta maaf karena saya tidak mau dengan cara
seperti itu."
"Lho,
lho, lho, kenapa kamu tidak mengajak berbicara kepada Ibumu dulu. Walaupun uangnya sebesar itu, mana tahu kita punya pilihan
lain yang lebih baik. Kalau perlu emas Ibu akan Ibu jual. Sepetak sawah
warisan juga bisa dijual. Kenapa kamu seceroboh itu. Apa kamu tidak kasihan
dengan adik-adikmu. Dia terpaksa tidak sekolah semenjak ditinggal Bapak. Untung
kamu masih sempat selesai. Kalau tidak? Diterima pekerjaan malah menolak!"
Ibu Sarjono mulai meradang.
"Ini persoalan harga diri."
"Harga diri. Kamu bicara harga
diri." "Apa boleh buat. Kedengarannya saya telah berlaku sombong. Di
tengah orang-orang antri mencari pekerjaan, mengais-ngais uang dengan cara
bagaimanapun dan di mana pun, saya malah sok moralis. Tapi kapan lagi kita memulai sesuatu yang idealis dan
moralis. Apalagi saya tidak membela siapa- siapa. Saya cuma membela harga diri.
Mungkin cuma itu yang tinggal saya miliki. Semuanya sudah terlanjur. Sudah
kepalang basah. Singkat kata, saya tidak mau berkerja dengan tidak jujur. Saya tidak
mau bekerja pada sebuah perusahaan atau apapun karena uang haram."
"Apa yang tidak haram sekarang ini. Mencari makan
secara halal saja sulit. Ibu kira kamu tidak lebih seperti pahlawan kesiangan.
Kamu bisa apa selama ini. Kamu akan mampus sendiri." Ibunya tak kalah
sengit.
"Kalau saya menerima tawaran itu, itu artinya saya
tidak berbeda dengan orang lain. Tidak. Saya tidak sudi memulai suatu kerjaan
dengan cara gelap dan kotor. Itu jenis penyakit sosial yang harus diberantas.
Saya tidak berbeda dengan agen-agen KKN yang lain. Saya tidak mau hanya membuat
kaya orang yang sudah kaya." Sarjono tidak mau tahu apakah kata-katanya
dapat dimengerti oleh ibunya atau tidak.
Dijawab seperti itu Ibunya melunak. Dia merasa, bagaimanapun,
ada kebenaran dalam perkataan anaknya. Kalau kondisi tidak seburuk pengalaman
hidupnya, ingin rasanya ia memuji anaknya. Ingin ia memelihara sikap anaknya
agar bersikap teguh dan tidak mudah tergoda.
"Kalau bekerja kan lebih mapan. Hatimu akan lebih
tenang. Ada gaji bulanan yang dapat diharapkan. Tidak cemas terus. Kamu juga
bisa segera berkeluarga. Sudah berapa usiamu sekarang. Selama ini kan ibu tidak
pernah menuntut kamu macam-macam."
Kedua adik Sarjono yang tadinya mau tidur, tertarik ingin
mengetahui pertengkaran antara kakak dan ibunya yang secara samar-samar sempat
didengarnya dari kamar mereka.
Sarjono dan Ibunya mendiam.
"Kok belum tidur?"
"Bicara apa? Serius
sekali?"
"Kami sedang membicarakan
apakah tawaran pekerjaan itu diterima atau tidak. Soalnya, ada kemungkinan Mas
akan ditempatkan di kota lain. Ibu keberatan. Kata Ibu, di rumah ini tidak ada
laki-lakinya. Tapi Mas bersikeras bahwa walaupun kota itu cukup jauh, Mas
berjanji akan selalu pulang. Paling tidak sekali tiga bulan."
Adik perempuan yang tua hampir
menyangka jika Sarjono seperti berbohong. Melihat kesungguhan wajah kakaknya,
dia menjadi percaya bahwa sangat mungkin apa yang sepenggal- sepenggal di
dengar di kamarnya itu tidak benar. Mereka berpihak kepada Sarjono. Mereka
mengatakan bahwa sudah saatnya nasib harus dirubah. Salah seorang berkata.
"Kami kira Mas Jono betul Bu.
Kami setuju. Tapi jangan lupa lho Mas?"
"Kalau
Mas tidak keberatan. Saya ingin sekolah lagi."
"Saya
juga. Paling tidak kursus-kursus menjahit, atau apalah."
Ibu Sarjono memandang tajam kepadanya.
Sarjono menjadi tidak enak sendiri. "Sudahlah. Lihat
saja nanti. Hari sudah larut. Tidak ada salahnya kalian tidur. Jangan lupa,
besok Mas dibangunkan pagi hari. Banyak hal yang harus Mas urus."
Dinasihati demikian kedua adik Sarjono ke kamarnya. Dalam
kamar mereka sempat bercakap-cakap.
"Kasihan Mas Jono. Ia akan hidup sendirian. Siapa
yang akan mengurus makannya. Siapa yang akan mencuci dan menyetrika
pakaiannya, siapa yang akan membersihkan kamarnya."
"Itu soal mudah. Kalau ada uang semua bisa
diongkoskan. Dan lagi, mana sempat Mas Jono ngurus itu semua. Ia pasti sibuk
dengan pekerjaannya."
Di beranda depan, diterangi lampu remang-remang Sarjono
dan Ibunya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka sibuk mengatur siasat,
perkataan apa yang akan mereka katakan jika masalah penolakan Sarjono
dipersoalkan lagi.
"Apa tidak mungkin pernyataanmu itu dicabut?"
Ibunya mengabil inisiatif.
"Tidak mungkin. Sekali lagi ini soal harga diri.
Apalagi, sambil menyerahkan surat itu, saya sempat berujar. Maaf Tuan, saya
memang sangat membutuhkan pekerjaan ini. Dan saya yakin pekerjaan ini akan
sangat cocok dengan saya. Tapi saya tidak dapat memulai suatu pekerjaan jika
perasaan saya dalam keadaan tertekan menanggung beban."
Ibunya menggeleng-gelengkan kepala. Kekecewaannya bertambah-tambah.
"Mulanya Tuan itu sempat mempertahankan saya. Dia
bilang, Wah kalau tahu begini, kita dong yang rugi. Saya tersenyum penuh
kemenangan. Sekali lagi saya bilang, maaf". Tak terdengar jawaban sepotong
pun dari Ibu Sarjono. Dengan hati luka, ia beranjak ke dalam rumah. Terdengar
ada sebuah pintu ditutup agak terbanting. Bantingan pintu itu seperti
membanting harga dirinya. Tidak pernah ibunya menutup pintu lebih keras dari
malam itu. Ia menjadi luka sendiri, melukai hati ibunya. Ada perasaan bersalah
karena skenario yang telah dia rancang tidak sesuai dengan harapannya. Dia
berharap bahwa cerita kepada ibunya itu akan melegakan hati ibunya. Karena bagaimana pun juga toh mencari uang delapan juta
rupiah itu hampir tidak mungkin. Dengan cerita penolakan itu paling tidak akan
membuat ibunya menjadi ringan. Dia tidak menyangka bahwa ibunya justru berani
menjual harta tabungan berupa emas atau sepetak sawah. Satu hal yang hampir
tidak pernah diketahuinya kalau ia tidak membawa cerita itu. Di langit bulan
sabit dan bintang berkelap-kelip seperti biasa.
* * *
Menjelang
subuh, Sarjono perlahan-lahan ke kamar Ibunya. Matanya merah dan ngantuk.
Diperhatikannya Ibunya, tahulah ia jika Ibunya tidak pula dapat tidur. Sambil
duduk di pinggir dipan, dipegangnya tangan Ibunya.
"Sebetulnya,
saya tidak pernah diterima di perusahaan apa pun Bu."
Ibunya
menganggukkan kepala sambil meneteskan air mata. Dipegang dan dibelainya kepala
anak tertuanya itu.
"Seandainya diterima, kita juga tidak dapat membayar.
Ibu tidak punya simpanan emas barang secuil pun. Apalagi sepetak
sawah." * * *
KOTA KENANGAN
KOTA KENANGAN
Kota itu kini tidak lebih puing-puing runtuhan
berserakan. Bahkan beberapa rumah dan bangunan masih berbau bakaran kayu,
sebagian menyisakan arang dan abu. Bangkai-bangkai mobil dibiarkan tergeletak
di pinggir-pinggir jalan. Ada tumpukan bangkai elektronik yang terbuang tak
terurus. Di tempat lain beberapa potong gombal menyampah tak terurus. Tak jauh
dari bangkai elektronik, sepotong kaki manekin yang tampaknya tidak sempat
terbakar. Manekin itu bersepatu. Sepatu wanita.
Yang tidak habis membuat Lazuardi heran, peristiwa itu
telah terjadi beberapa waktu yang lalu. Waktu itu, ia sedang berada di Amerika
menyelesaikan program Ph.D bidang Fisika yang telah dijalaninya tiga tahun.
Lazuardi memang mendengar dan membaca berita berkaitan dengan kejadian yang
menimpa negerinya, khususnya kotanya. Tapi ia tidak pernah membayangkan jika
kejadian tersebut lebih parah daripada yang ia dengar dan lihat di tivi.
"Pulanglah?", seorang temannya pernah
menelepon.
Tapi yang membuat Lazuardi pulang sebetulnya bukan ajakan
temannya. Yang membuatnya pulang karena tidak ada kabar berita dari Angela
semenjak peristiwa ramai-ramai yang menimpa kotanya. Sudah setahun terakhir ini
sama sekali tidak ada kabar dari Angela. Padahal, dulu-dulu, paling tidak
sekali atau dua kali seminggu Angela telepon. Atau sebaliknya, justru Lazuardi
yang telepon. Tetapi belakangan, telepon yang biasa menghubungkan dia dengan
Angela, ke rumah Angela, terputus, dengan informasi, ada kerusakan.
Lazuardi sempat menelepon beberapa kenalannya, yang juga
mengenal Angela, tetapi tidak seorangpun yang tahu di mana Angela. "Dulu
aku pernah bertemu dengannya, di sebuah bank, tapi dulu. Aku lupa persisnya. Ia
sempat bercerita padaku bahwa Angela berencana ingin menyusulmu. Situasi
semakin tidak aman, katanya." Seorang teman Lazuardi berbasa-basi memberi
informasi. "Kami memang pernah sama- sama mengurus paspor, tapi setelah
itu kami tidak pernah ketemu lagi." Yah, setelah itu Angela raib seperti
asap membumbung ke langit. Hal ini membuat Lazuardi penasaran. Tidak percaya
orang bisa hilang begitu saja. Tanpa secuil berita pun. Karena butuh kepastian,
Lazuardi memutuskan pulang.
* * *
Sesampai di tanah air, Lazuardi tidak langsung ke tempat
Angela. Ia perlu bertemu dengan keluarganya dulu, untuk kangen-kangenan,
sekaligus menanyakan segala kemungkinan yang terjadi beberapa waktu belakangan
ini. Lazuardi juga sempat melihat-lihat koran-koran lama yang disimpan Bapaknya
dengan rapi. Cuma Lazuardi tidak berani menanyakan perihal Angela. Tidak
seorang pun dari keluarganya yang menyetu jui hubungan Lazuardi dengan Angela.
Alasannya, bukan saja beda agama, orang tuanya mendambakan Lazuardi beristrikan
orang Jawa saja. "Jangankan Cina, Arab, atau bule, orang Sumatra saja
tidak kuperkenankan!" Demikian suatu hari ibunya memutuskan dengan tegas
nasib dan jodoh Lazuardi.
Lazuardi diam saja, dia merasa tidak perlu membantah
kehendak ibunya, orang tua yang selama hidupnya telah memelihara dan
menyayanginya dengan sepenuh raga jiwa. Karena itu pula Lazuardi memutuskan untuk
menunda percintaannya secara terbuka dengan Angela, walaupun sebetulnya
keluarganya sudah tahu bahwa Lazuardi tetap saja menjalin cinta dengan seorang
wanita keturunan.
"Ibumu benar Mas Adi, kita harus mematuhinya. Aku
mencintaimu sepenuh jiwaku. Aku tidak ingin orang yang aku cintai durhaka
kepada orang tuanya. Perlahan- lahan saja. Ada waktunya nanti keadaan akan
berubah. Percayalah. Perlu engkau ketahui, seandainya aku tidak boleh menjadi
istrimu, maka aku tidak akan pernah kawin dengan siapapun. Sumpah."
Perkataan itu dikatakan Angela suatu hari sepulang kuliah.
Lazuardi percaya Angela. Gadis paling baik yang pernah ia
kenal. Cantik, rajin, berhati mulia, walau sebetulnya ia seorang gadis yang
pemalu dan sedikit pendiam. Sehari-harinya, kalau tidak kuliah, ia di rumah
membantu bisnis orang tuanya, mengelola sebuah toko. Berkebalikan dengan orang
tua Lazuardi, papa ibu Angela justru sangat menerima kehadiran Lazuardi. Bahkan
pernah papa Angela berkata, bahwa ia senang jika suatu hari kelak Lazuardi menjadi
suami Angela.
"Doakan saja Pap, saya mencintai Angela. Di mata
saya, dia gadis yang berkepribadian dan suci." Papa Angela tersenyum
bahagia mendengar Lazuardi memuji anaknya. Papa Angela tahu, Lazuardi tidak
sedang berbohong padanya. Ia juga tahu persis siapa Angela anaknya. Ia juga
menyukai Lazuardi, karena ia yakin bahwa Lazuardi adalah pemuda yang bisa
diharapkan.
* * *
Di siang yang agak terik. Orang-orang mulai hilir mudik.
Ada yang acuh tak acuh. Beberapa di
antaranya sekali dua menoleh ke bangunan-bangunan yang gosong, sembari
berbisik-bisik dengan temannya. "Aku dulu dapat tivi dari toko itu."
"Aku tape deck." Kemudian saling tertawa. Di seberang jalan, Lazuardi
terpana menatap sebuah ruko.
"Di situlah Angela," bisiknya dalam hati.
"Di tempat itulah Angela lahir, makan, minum, belajar. Di tempat itulah
Angela besar. Apa yang terjadi pada dirimu Angela? Kenapa hingga hari ini belum
ada kabar datang darimu? Di mana engkau. Tahukah engkau bahwa aku sangat
merindukanmu?"
Sambil termenung-menung, sayup-sayup terdengar kegaduhan.
Lama kelamaan suara itu semakin riuh, semakin sangar. Berderak-derak.
"Lempar.... Bakar.... Lempar.... Bakar.... Lempar....". Massa semakin
bergemuruh. Toko-toko dan beberapa gedung mulai terbakar. Sejumlah orang mulai
masuk toko, menjarah apa yang dapat dijarah. Mobil-mobil dibakar.
Teriakan-teriakan sumpah keparat. Asap mulai membumbung, api bersautan.
Saat-saat seperti itulah terdengar lolongan orang yang mengalami kengerian.
Rintihan wanita. "Jangaaan, jangaaaan, kasihani aku. Toloooong...
Toloooong...." Semua berjalan dengan cepat. Kota terbakar. Lazuardi
tergagap.
Tapi mudah-mudahan Angela baik-baik saja. Walau Lazuardi
mulai ragu sendiri terhadap keyakinannya. Lazuardi hanya berharap sebelum
kejadian itu, keluarga Angela sudah mengungsi lebih dahulu. Tapi siapa yang
mengira jika kejadiannya bakal menimpa seperti itu. Lazuardi mencoba mendekati
tempat Angela tinggal. Melihat dari dekat jejak-jekak Angela. Ya, mana tahu?
Darah Lazuardi berdesir melihat sebuah ruang yang
menyampah penuh dengan sisa-sisa hangus yang dibiarkan begitu saja. Ya, di
ruang inilah ia berpamitan dengan Angela sebelum ia berangkat ke Amerika. Di
ruang ini pula untuk pertama kalinya ia mencium Angela. Di ruang itu pula
dengan mesrah dan penuh cinta Angela mencium seorang laki-laki untuk pertama
kalinya. "Aku akan menunggumu Mas. Lima tahun tidak lama. Dan semua akan
baik-baik saja. Percayalah. Semuanya akan berubah. Aku yakin kelak keluargamu
pasti menerima aku. Aku yakin itu."
* * *
Angela benar. Sekarang semua berubah. Semenjak kejadian
yang ramai-ramai itu, orang-orang mulai membuka diri untuk menerima
perbedaan-perbedaan. Paling tidak sedikit banyak mulai sadar bahwa sebetulnya
manusia itu sama saja. Yang berbeda mungkin soal asal usul dan nasib.
Kadang-kadang. soal rezeki juga tidak bisa dijelaskan begitu saja. Tetapi,
kenapa harus terjadi penjarahan dan pembunuhan, juga bakar- bakaran. Kenapa?
Lazuardi tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Manusia memang misterius, katanya
dalam hati.
Hal lain yang membuat Lazuardi gamang adalah perubahan
sikap keluarganya terhadap Angela. "Kalau engkau sungguh mencintai Angela,
kita semua sebetulnya setuju-setuju saja kok. Mama tidak bisa memaksa kamu
kawin dengan orang yang mungkin tidak engkau cintai." Tentu saja Lazuardi
terharu menerima kabar itu. Walau Lazuardi agak kecewa juga kenapa tidak
dulu-dulu. Karena, jika Angela diterima dari dulu, dia sudah menikahi Angela
dan dibawanya ke Amerika. Kejadiannya pasti tidak seperti ini. Jangankan akan
menikahi Angela, kabarnya saja Lazuardi tidak tahu di mana Angela gerangan
berada. Tersirap darah Lazuardi jangan-jangan semua sudah terlambat.
Lazuardi terus menerus mencari jejak dan kabar Angela.
Namun hanya ketidaktahuan dan ketidakjelasan yang ditemuinya. Lazuardi menjadi
tahu bahwa ternyata keluarga Angela tidak memiliki kerabat dekat yang dapat
ditanyakan perihal keluarga Angela. Pernah Lazuardi melapor persoalan Angela
pada sebuah komite yang bergerak dalam pencarian orang hilang dan anti
kekerasan. Ada sejumlah informasi yang diterima Lazuardi, tetapi tak satu pun
yang bisa membawanya ke Angela.
Lazuardi tak habis pikir bahwa seorang manusia, atau
mungkin bukan hanya seseorang, bisa hilang tanpa bekas di kotanya. Semua seolah
seperti benda-benda saja yang ketika terbakar, maka habislah ia. Kota apa ini?
Negara apa ini? Bangsa apa ini? Keluhnya suatu malam. Kenangannya terhadap
Angela semakin menusuk-nusuk hatinya.
Di suatu subuh, Lazuardi memutuskan untuk meninggalkan
kotanya. Ia tak kuat tinggal dalam sebuah kota yang didalamnya hanya tinggal
kenangan.* * *
PIDATO DI PINGGIR JALAN (PAK DHE KARYO IN MEMORIAM)
PIDATO DI PINGGIR JALAN
(PAK DHE KARYO IN MEMORIAM)
Pada sebuah jalan pemakaman, matahari merangkak lambat
dan pucat. Burung-burung sekali dua tampak melintas-lintas. Di atas
kepala beberapa pelayat, nyiur kelapa menjuntai. Diterpa semilir, putih bunga kamboja
berguguran. Ada yang tersingkap. Ada yang merapuh.[1]
Ada yang bisik-bisik. Ada yang melihat-lihat batu nisan, membaca nama-nama.
Menutupi lobang yang menganga, tanah merah kembali ditelungkupkan. Jasad itu
telah dikembalikan pada dirinya. Wajah-wajah tampak kusut dan tertegun, tapi
tak ngeri. Pemakaman berjalan dengan cepat. Tanpa doa, tanpa air mata.
* * *
Sudah
lama Sin-jim mencari-cariku. Ia pernah bercerita kisah seorang mantan pejuang.
Dengan mengenakan baju hijau tentara yang sudah usang, sepatu lars tua, peci,
ikat pinggang kopel serta tak lupa kaca mata hitam, laki-laki tua itu berdiri
di pinggir jalan besar dekat pasar. Tak jarang ia berkacak pinggang, atau
memberi aba-aba, atau melakukan gerakan-gerakan langkah tegap seolah seperti
sedang berbaris. Kalau kebetulan ada beberapa orang yang merasa tertarik untuk
nonton, maka ia berpidato.
"Saudara-saudara sekalian," katanya sambil
mengacung- acungkan tangannya ke atas. "Kemerdekaan Republik Indonesia ini
tidak akan pernah tercapai tanpa perjuangan Tentara Republik Indonesia."
Ia berhenti sebentar menarik napas. "Oleh karena ini, hormatilah para
pejuang, para pahlawan, baik yang gugur di medan laga maupun yang selamat
sejahtera. Demikian saudara- saudara, ini mohon diperhatikan."
Secara tidak teratur, beberapa orang berhenti dan melihat
acuh tak acuh. Yang sendiri-sendiri, dua-dua, dan sekelompok anak SLTA. Saling
berbisik, sebagian orang menyorongkan mulutnya ke kuping temannya, yang
mendengar menganggku kecil. Laki-laki
itu melanjutkan pidatonya.
"Sekarang coba lihat. Bisa anda rasakan sendiri. Pembangunan lancar, kehidupan membaik. Semua serba
mudah. Kemerdekaan memberikan kita
kesempatan untuk membangun. Kebebasan berkreasi. Kesempatan menikmati hidup.
Tapi itu pulalah yang membuat kita lupa diri. Apa saja yang kita kerjakan
selama ini selain mengurus dirinya masing-masing." Laki-laki itu
memutuskan pidatonya. Serta merta, dengan langkah tegap ia meninggalkan
kerumunan kecil itu. Raut mukanya menyiratkan gairah kebanggaan.
Cuma sebetulnya aku ingin mendengarkan kisah-kisah kasih.
Tentang burung-burung berterbangan mengepakkan sayap, redup mentari.
Bulir-bulir embun. Riak air dan segar pagi hari dengan senandung. Mungkin
ocehan bayi.
"Kau lihat?" Sin-jim memperhatikan Pakdhe Karyo
asyik mengelus merpati. "Telah putih rambutnya. Berpuluh tahun ia cintai
merpati melebihi anak sendiri." Menerawang
Sin-jim. "Aku tak mau hidup seperti itu. Usia habis di depan kandang dan
tai. Tua, terbungkuk, mati. Tapi ini soal cinta."
Melamun, berjam-jam di depan kandang. Melihat tingkah
merpati. Bulu-bulu lepas, berhamburan. Ditangkap,
dielus-elus, dimandikan satu satu. Tanpa sepatah katapun. Membersihkan kandang.
Duduk lagi. Melamun. Tiduran. Mengeluh pegang pinggang. Masuk angin. Membatin,
bahwa hidup ternyata memang sederhana. Tidak sulit seperti yang
dicerita-ceritakan orang.
* * *
Pakdhe
Karyo sebah perutnya. Berita-berita di TV sungguh membuat lambung mual. Kenapa dulu jadi tentara. Teringat oleh Pakdhe Karyo
teman-teman seperjuangan. Membela bangsa dan negara. Agar hidup bebas dari
penjajahan. Ya, dulu kita dihormati sobat. Setiap orang, angkat tangan
kanannya, kaki rapat, memberi hormat. Merdeka! Kita disanjung, dipuja. Kalau
berjalan, alangkah gagahnya. Berderak-derak. Merdeka!
Bagaimana anak-anak Satroni? Dimana mereka sekarang?
Apakah mereka membaca koran, melihat TV? Kalau bukan karena Satroni, Pakdhe
Karyo yang gagah ini sudah dimakan cacing.
"Awas Karyo! Tapi justru Satroni yang tertembak.
Satroni menghalangi datangnya peluru dengan tubuhnya. Selamat Karyo. Termenung ia di sisi mayat Satroni.
"Kenapa itu kau lakukan Satroni. Aku ini apamu?". Tidak pernah ngerti
Pakdhe Karyo.
Terlintas pula bagaimana dia menggendong Hartoyo yang
kena ledakan mortir berkilo-kilo. Kalau tidak ada Pakdhe Karyo, regu Paiman pasti
sudah mati. Di bawah desingan peluru, merangkak mengalihkan perhatian musuh.
Strategi jitu. Ngeri membayangkan, kenapa dulu berani melakukan itu. Edan. Ya,
kenapa tidak ada rasa takut? Sial, perjuangan demi bangsa dan negara tidak
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. "Apa kabar anak Satroni, apakah dia
tahu kalau perutku sering mules. Sering
muntah-muntah?"
"Jangan melamun terus! Nanti bludrek-nya
kumat!" Anak Pakdhe Karyo memperingatkan. Sambil lalu. Basa-basi. Lantas
nyelonong meninggalkan rumah membawa bungkusan. Pakdhe karyo hanya melirik.
Rumah kecil dan tua itu sudah kelihatan reyot, kotor, dan
busuk. Sudah bertahun-tahun tidak ada yang membersihkan. Padahal, di rumah itu
tinggal beberapa orang. Di samping rumahnya kelihatan air menggenang hijau kehitam-hitaman
yang bau, pemandangan yang tidak menyenangkan. Sarang nyamuk dan penyakit.
Tidak tahulah apa yang mereka kerjakan sehingga rumah dan halaman rumah itu
sama sekali tidak sempat mendapat perawatan. Dinding-dinding papan yang
mengeropos, dan dua mata Pakdhe Karyo yang jauh.
Di mana anak Satroni? Mestinya aku yang mencarinya. Belum
lama berselang ada anak-anak veteran demonstrasi. Minta jasa-jasa orang tuanya dihormati. Jasa-jasa apa?
Kalau perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan masih mending. Wong nyerang
dan membunuh kok minta dihormati. Siapa suruh? Siapa suruh datang Jakarta? Pak
Parkah tersenyum. Eh, tapi siapa suruh dia jadi anak tentara.
Tidak. Pasti di
situ tidak ada anak Satroni. Dia anak
orang terhormat. Kalau sekarang memang malu-maluin. Masa kerjanya mukulin
rakyat. Kalau tidak mukulin rakyat, ya mbekengi tempat-tempat perjudian.
Pelacuran. Ngompas pedagang-pedagang. Ah, kita tahulah. Siapa yang enggak tahu.
Kayak gitu kok minta dihormati. Nih, Pakdhe Karyo, enggak minta dihormati.
Mualnya menjadi-jadi. Ditambah pusing yang merajam- rajam syaraf kepala.
Terpikir juga oleh Pakdhe Karyo untuk mencoba menghargai jasa-jasa dirinya. Agar orang-orang-orang mengenalnya. Mengenangnya. Pakdhe
Karyo ke bilik. Ia buka koleksi akiknya yang hanya beberapa. Dipandang satu
banding satu. Bosan. Ia buka buku harian. Menulis-nulis. Sesekali ia
menggaruk-garuk kaki. Gatal. Mungkin digigit nyamuk. Pakdhe Karyo teringat
bahwa ia belum membeli obat pembasmi nyamuk. Tersirap darahnya.
* * *
Burung dan kesetiaan. Darah dan tanah. Ya, ini dia.
Betul. Sin-jim ingin bercerita tentang burung dan kesetiaan. Darah dan tanah.
Tentang putih komboja berguguran. Cuma lidah kelu. Merpati-merpati gelisah.
Pakdhe Karyo juga gelisah. Gerimis tak henti. "Bersabarlah wahai burung.
Hari tak selalu gerimis."
"Kurus kering orangnya. Kulitnya hitam. Wajahnya
seperti tak menyimpan kenangan. Kalau tertawa, gigi kapaknya berkibar."
Sin-jim membolak-balik lembaran. Tidak ada yang tahu secara pasti siapa nama
lengkapnya. Tetapi orang-orang biasanya memanggilnya Pakdhe Karyo. Barangkali
semacam panggilan keakraban saja. Kalau dia ditanya tentang nama lengkapnya,
biasanya dia hanya menjawab, "Ya, kira-kira Karyo itu. Mungkin tidak
persis seperti itu. Saya sendiri tidak tahu."
Lain lagi kalau orang tanya tentang umurnya.
"Sebetulnya Pakdhe Karyo ini umurnya berapa?,"
seseorang pernah aku dengar bertanya.
"Ya, kira kira lima-tujuhlah".
Tapi kalau lain kali ada yang bertanya lagi, dia akan bi
lang;
"Ya, mungkin sekitar tujuh puluhan".
Nah, tentu saja orang-orang tidak ada yang tahu pasti
siapa nama sesungguhnya dan berapa usianya. Habis, mau bertanya kepada siapa.
Tak seorang pun yang mengakui sebagai kerabat dekat Pakdhe Karyo. Semua orang
di sekitar kampung itu tahu, ia hidup sendiri. Tegasnya, Pakdhe Karyo hidup
sebatang kara di dunia ini. Jadi soal nama dan usia memang masih misterius.
Kalau soal usia mungkin masih bisa dikira-kira. Walau Pakdhe Karyo sering
menjawab secara ngawur, kadang-kadang lima puluhan, kadang-kadang tujuh puluhan.
Akan tetapi jika dilihat dari fisiknya, yang sudah penuh dengan uban, kurus,
berkaca- mata, dan sedikit membungkuk, yang jelas di atas enam puluhan. Di atas
tujuh puluh mungkin tidak. Ya, sekitar enam puluh limaanlah.
Untuk sisi itu Pakdhe Karyo memang sosok yang agak
misterius. Tapi bahwa dia penduduk asli Yogya, jelas tidak ada yang
menyangsikannya. Semenjak bujang dulu dia sudah tinggal pada sebuah rumah kecil
di jantung kampung itu. Walau begitu, selama itu pula dia tidak pernah punya
KTP.
"Untuk apa", katanya suatu hari.
"Pekerjaanku tidak membutuhkan KTP. Toh aku tetap bisa makan walau tidak
punya KTP. Dulu memang pernah Pakdhe mencoba mengurusnya. Tapi tidak bisa.
Pakdhe tidak punya surat keterangan secuil pun tentang diri Pakdhe. "Pakdhe
pikir, peduli amat". Katanya sambil tertawa. Dan, memang orang-orang tidak
perlu peduli, apakah Pakdhe Karyo punya KTP atau tidak. Orang seperti Pakdhe
Karyo memang tidak perlu dipedulikan. Apalah artinya seorang penambal ban
sepeda bagi sebuah peradaban modern yang ramai dan serba canggih. Dia orang
yang sama sekali tidak perlu dirisaukan keberadaannya. Dia bukan orang yang
dapat mengguncangkan proses pemilihan Ketua RT sekalipun.
* * *
Terbayang dalam kepalaku anak seseorang ? Aduh anak siapa
gerangan? Siapa namanya? Kenapa aku begitu sulit mengingat nama? Sial benar
hidup ini? Hanya mengingat nama saja sulit? Kepala bergoyang ke atas ke bawah
pelan. Pendangan terbuang ke mana-mana. Terbersit sejumput keraguan, tentu
bukan anak itu yang diceritakan Sin-jim. Sin-jim tidak kenal anak itu. Siapa
gerangan yang diceritakan Sin-jim. Mendung menebal. Secarik kesedihan menggores
kening. Wajah itu tak kukenal. Biarlah.
"Oh, iya. Mungkin dia seorang penyair." Kaget
Sin-jim melanjutkan. "Paling
tidak, cita-citanya menjadi penyair. Kemana-mana membawa pensil dan kertas.
Sering kulihat dia termenung-menung di depan rumah. Sambil corat-coret. Kadang- kadang di kebun. Di pasar. Pernah juga di
kuburan. Dasar penyair."
Aku tertawa, lebih tepatnya tersenyum. Sebetulnya tidak mengerti,
Sin-jim bercerita apa. Rasa penasaran kadang lebih mendebarkan.
"Pernah suatu malam ia bercerita padaku. Katanya aku
orangnya sering tak tahan, lompati pagar seenaknya, menyiang ilalang,
batu-batu, dan terik yang menyengat. Di tanah ini pernah kutancapkan kegagalan,
pada duka ibu, dan hati yang dendam, lantas dimanakah jalan yang dijanjikan,
agar longgarlah dada yang sesak, untuk sembunyi, sembari menghitung detik,
menawar masa depan. Entah apa yang diceritakan." Sin-jim menyedot rokok
dalam-dalam. "Aku ingin protes, kata Pakdhe Karyo. Agar kita menjadi lebih
paham sejarah. Bukan untuk bersedu sedan." Dari rautnya yang kosong, aku
tahu Sin-jim sedang berusaha memahami apa yang sedang diceritakannya padaku.
Ada kesunyian yang menyengat. "Kalau nyanyian dan
semilir angin terus menggoda, maka gelisahnya menjadi suatu yang menyenangkan
untuk direngkuh. Bernyanyilah wahai burung-burung, saat terbit matahari, dan
tenggelam, dan air mata. Waktu itu, aku hanya mengangguk-angguk saja, lagaknya
orang yang arif karena mengerti banyak hal. Mana tahu dengan itu dia menjadi
senang. Mungkin selama ini tidak ada orang yang pernah mau mendengar
ceritanya."
"Kau dengar. Ia bercerita dengan gaya dan sok
mempesona. Layaknya seorang penyair. Siapa nyana kalau dia bekas tentara."
Kembali kami termenung. "Ah, siapa yang peduli
dengan kematian?", Sin-jim menutup cerita. Sekarang aku tertawa. "Aku
tahu, jangan-jangan engkau juga bercita-cita ingin jadi penyair?". Sin-jim
menggelengkan kepada. "Kamu salah lagi. Aku sendiri ingin jadi pembalap.
Tapi ini bukan tentang aku." Wajahnya menjadi serius.
* * *
Pagi membuka diri. Bersama gerimis, seorang tua
tertelungkup basah di samping buku harian yang terbuka. Ada percik darah di
hidung, telinga, dan lantai. Walaupun mulutnya sedikit berbusa, tapi wajahnya
seperti sedang berpikir. Kaku,
dingin, kesepian. Seberapa nyerikah? Di pinggir meja, ada tulisan pada secarik
kertas.
Perjalanan rintih, menjalar
dari ruang ke sudut-sudut sejarah
pribadi, menebar kenangan.
Disaksikan langit dan daun-daun,
juga mata-mata Tuhan,
suara bergelora,
karena cinta yang berbalik.
Misteri hidup. Seperti puisi? Tidak tahulah. Sin-jim
meneruskan.
Siapa peduli. Liku-liku menuju batas,
hidup dan mati.
Berguling darah
dan tanah yang sama.
Di pinggir kuburan seseorang berjalan mondar mandir.
Beberapa kali ia menoleh ke kuburan, ragu dan berpikir. Selang beberapa waktu,
ia memastikan diri dan bertanya sekepada seorang pelayat.
"Siapakah itu yang dikubur?"
Tak ada jawaban, atau bahkan sekedar menganggukan kepala.
*
* *
RUMAH KACA
RUMAH KACA
Hanya karena merasa kelebihan duit, Pak Sabar punya ide
macam-macam. Dia menghubungi seorang arsitek terkenal di kotanya.
"Aku ingin punya rumah yang seluruhnya dari kaca.
Aku tidak tahu apakah ide ini nyentrik atau tidak. Aku juga tidak ingin tahu
apakah itu mungkin atau tidak. Yang aku ingin tahu kau harus merancangnya dan
rumah itu bisa dibangun. Kau boleh menghubungi ahli-ahli lain yang terkait
dengan masalah ini. Jangan pikir soal biaya. Itu soal kecil," sabda Pak
Sabar mendesak sang arsitek.
Muncul
juga keraguan di hati Sang Arsitek.
Jangan-jangan ia tak bisa memenuhi kesanggupannya kelak. Baru kali ini ia
mendapat pesanan demikian aneh. Untunglah selintas timbul keinginannya untuk
berpetualang. Berpetualang dalam dunia arsitektur. "Ini tantangan
besar," batin Sang Arsitek. "Saya harus membuktikan bahwa dalam
peradaban super modern ini tak ada yang tak mungkin. Uanglah yang maha
menentukan."
"Apakah
saya betul-betul bebas merancang?," Sang Arsitek kembali meyakinkan
perjanjiannya dengan Pak Sabar.
"Betul.
Betul-betul bebas. Cuma perlu engkau ketahui rumah yang bakal dibangun itu
jumlah kamarnya minimal lima,
karena anak saya ada empat. Ada
kamar mandi pada setiap kamar. Perlu pula kau ingat, paling tidak saya
membutuhkan ruang garasi untuk lima
mobil. Boleh sebagian kau letakkan di atas. Yang lain-lain, yang berkaitan
dengan tata letak ruang, secara keseluruhan aku serahkan sepenuhnya pada
keahlianmu." "Oke. Ini terakhir Pak. Di mana rumah itu akan dibangun.
Ini berkaitan dengan kemungkinan estetikanya."
"Apa itu artinya?," Pak Sabar tak mengerti.
"Konsep estetika membangun rumah itu tentu saja
berbeda antara di daerah perumahan elit, di daerah perkampungan, atau di
antaranya. Ini menyangkut setting. Minimal kita perlu membuat suatu perhitungan
estetis agar betul-betul teatrikal."
"Teatrikal. Ah, apa pula itu artinya?," Pak
Sabar masih tak mengerti. Tapi, tentu saja ia tak berselera untuk berdiskusi
soal estetika dengan Sang Arsitek. Pak Sabar memang tidak biasa berdiskusi
masalah estetika-teatrikal yang menurutnya terlalu remeh dan mengada-ada.
"Oke, rumah itu akan dibangun kira-kira di antara
perumahan elit dan perkampungan," Pak Sabar memotong agar tidak terjadi
diskusi panjang yang menurutnya tidak terlalu relevan untuk diketahuinya. Baginya
hal seperti itu bukan sesuatu yang harus dipikirkan orang kaya seperti dia.
"Tolong
rahasiakan tentang sosok bangunannya hingga rumah itu betul-betul
selesai."
***
Segera
saja pekerjaan membangun rumah kaca dimulai. Semua ahli pertukangan yang relevan
dimanfaatkan. Alat-alat teknologi modern
dikerahkan, karena hanya teknologi yang tinggi yang bisa menangani kebutuhan
seperti itu. Begitu banyak orang terlihat sibuk sehingga masyarakat sekitar
mulai bertanya- tanya sesungguhnya rumah atau gedung apa yang akan dibangun.
Karena hari bertambah hari tak ada
perubahan fisik yang berarti.
"Apa mereka-mereka itu mau bangun rumah di bawah
tanah. Saya sama sekali tidak melihat bangunan fisiknya?," tanya seorang
penduduk pada temannya.
"Saya sendiri tidak tahu. Tanya saja sendiri
sana," temannya menjawab tak acuh.
Namun yang jelas kira-kira lima bulan kemudian Sang
Arsitek melapor kepada Pak Sabar bila rumah pesanan beliau sudah selesai.
"Lho, kok cepat sekali?"
"Teknologi modern Pak. Teknologi modern," jawab
Sang Arsitek dengan memberatkan kata modern. Untung satu kata ini cukup populer
di kuping Pak Sabar. Karena ia orang-orang sering mengatakan bahwa dia
merupakan contoh orang modern. Pak Sabar juga merasa dia orang modern, sehingga
ia tidak terlalu bodoh untuk sama sekali tidak paham maksud Sang Arsitek.
"Okelah. Saya jadi penasaran lho. Sebentar lagi saya
ke sana."
Tak berapa lama Pak Sabar
datang dengan kendaraan pribadi Old-Benz 2000 MILLENIUM-nya. Di pintu
gerbang Pak Sabar membaca tulisan DILARANG MASUK, KECUALI SEIZIN PEMILIK RUMAH.
Ia tersenyum sendiri. Dia merasa senang dengan tulisan itu. "Aku yang
memiliki rumah ini bung," hatinya berteriak. Dan itu dibuktikannya dengan
menyuruh Si Supir membunyikan klakson. Mendengar klakson, beberapa orang tergopoh-gopoh
ke pintu gerbang. Dari penampilan mobil, orang-orang tersebut tanpa
bertanya-tanya lagi langsung saja membukakan pintu.
Tanpa setahu siapapun ada yang membuat Pak Sabar
penasaran. Sejak di mobil Pak Sabar sudah melongokkan kepa lanya ke sana ke mari
mencari-cari sebuah bangunan. Anehnya, tak dilihat satu pun sejenis bangunan.
Padahal Sang Arsitek baru saja menelepon jika rumahnya telah selesai. Hampir
tak sabar Pak Sabar karena seolah-olah Sang Arsitek telah mengajaknya bergurau. Kalau Sudono Salim yang
bergurau seperti itu dengannya, boleh-bolehlah. Tentu ia akan tertawa
terbahak-bakak. Tapi seorang arsitek? Bukan kelasnya bisa berseloroh dengan Pak
Sabar yang high class. Itu tak sopan.
"Mana? Mana? Mana?," Pak Sabar berteriak-teriak
seketika ia melihat Sang Arsitek.
"Apanya yang mana Pak?," Sang Arsitek tak kalah
bingung.
"Kok masih bertanya? Jangan bergurau. Saya orang
penting. Katanya sudah selesai," Pak Sabar belum turun emosinya.
"Oh, rumahnya. Lha ini," dengan riang Sang
Arsitek menjawab sambil menunjuk sebuah halaman terbuka.
Mendengar kegembiraan dan kesantaian Sang Arsitek, Pak
Sabar tergagap. Ia memandang halaman kosong dengan cermat dan konsentrasi.
Setelah yakin ada sesuatu di halaman kosong itu, tiba-tiba Pak Sabar tertawa
terbahak-bahak. Sang Arsitek juga tertawa terbahak-bahak. Satu dua tukang yang
masih di situ, mendengar Pak Sabar tertawa terbahak-bahak, mereka pun tertawa
terbahak-bahak. Pak Supir juga tertawa terbahak-bahak di mobil (Ia hanya
tertawa kalau bosnya tertawa, dan sedih kalau bosnya sedih. Cuma kalau bosnya
marah, dia diam saja).
"Astaga. Betul-betul sudah pikun saya. Saya yang
punya ide, saya sendiri yang lupa." Kembali Pak Sabar tertawa terbahak-bahak.
"Maklumlah, terlalu banyak yang harus saya pi kirkan. Saya orang
sibuk."
"Kita sih maklum-maklum saja Pak."
"Tapi? Tapi, terus bagaimana nih. Mana pintunya,
mana ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi, dan seterusnya? Wah, kalau tidak
tahu bisa nabrak-nabrak nanti."
"Itu cuma masalah kebiasaan Pak. Mari saya tunjuk-tunjukkan."
Dengan agak ragu-ragu, Pak Sabar melangkah di belakang
Sang Arsitek.
"Sebetulnya semua sederhana Pak. Untuk tanda-tanda
ruang dan pintu, semua berpedoman dengan warna-warna garis di lantai. Memang,
garis-garis itu pun tidak terlalu menyolok. Sepintas seperti garis-garis
lapangan olah raga saja. Untuk lebih jelasnya Bapak bisa pelajari keterangan
ini." Pak Sabar menerima semacam brosur. Sambil membaca, dia terus
mendengarkan keterangan Arsiteknya. Tak henti-hentinya Pak Sabar mengangguk
dan menggelengkan kepala. Tampaknya betul-betul puas ia.
"Lantas?"
Pak Sabar mengerutkan kening seolah mengingat sesuatu. "Oh ya, bagaimana
dengan estetika yang anda maksudkan itu."
"Itu
menyangkut tata letak ruang-ruang Pak. Di
mana kamar mandi harus diletakkan, di mana tempat tidur, dan lain- lain. Ruang-ruang
pribadi itu semua ada di bagian atas. Kan
akan menjadi lebih menarik. Karena, maaf Pak, semua seperti di tempat terbuka.
Apa saja yang dilakukan di dalam rumah ini, akan nampak dari luar. Apa saja isi
rumah ini akan nampak dari luar. Rumah ini tidak bisa menyimpan rahasia bagi
orang yang ingin melihat. Semuanya serba transparan." Berdasarkan
penjelasan itu kembali Pak Sabar tertawa terbahak-bahak. Sang Arsitek juga
tertawa terbahak-bahak. Tukang-tukang juga
tertawa terbahak-bahak. Supir juga tertawa terbahak-bahak.
"Itu
sudah saya perhitungkan."
"Toh
nanti semua akan lebih jelas kalau rumah ini diisi dan ditempati," Sang
Arsitek menutup keterangannya.
"Hari
ini juga rumah ini akan saya isi komplit. Pokoknya, semua yang bisa dari kaca
akan saya beli yang dari kaca."
***
Keesokan
harinya Pak Sabar memboyong keluarganya. Ternyata istri Pak Sabar belum terlalu tua. Kira-kira
empat puluh lima tahunan. Dia mempunyai anak perempuan tiga, lumayan menarik
dan cantik, dan seorang laki-laki yang cukup menjanjikan. Maklum, Sebetulnya
Pak Sabar orang yang tidak terlalu jelek. Kalau boleh dibilang bahkan
sebetulnya Pak Sabar itu terhitung di atas lumayan. Semula keluarga Pak Sabar
tak habis mengerti terhadap ide menempati rumah yang terbuka itu. Tapi setelah
Pak Sabar meyakinkan anak-anak dan istrinya bahwa hidup itu perlu melakukan
petualangan-petualangan serta variasi yang mendebarkan, akhirnya mereka
setuju-setuju saja.
"Untuk apa duit berlimpah,
kalau hidup kita begitu-begitu saja. Monoton. Tidak bervariasi.
Menjemukan." Pak Sabar pernah mengatakan obsesinya kepada anak dan
istrinya. Waktu itu anak-anak dan istrinya hanya tertawa saja mendengar kegelisahan
Pak Sabar.
"Nanti kalau ternyata tidak
sip, kita bongkar. Kita bangun lagi jenis rumah yang lain." Setelah Pak
Sabar menjelaskan tanda-tanda dalam memahami kondisi rumah yang sesungguhnya,
mereka siap-siap untuk sekedar istirahat sambil menikmati suasana baru. Hal tersebut membuat mereka sadar jika hampir puluhan
orang sedang menonton mereka dengan terheran-heran. Suatu hal yang membuat Pak
Sabar justru mendapat hiburan tersendiri.
"Apa Papa bilang. Kita melakukan hal yang
spektakuler. Coba lihat. Coba lihat
tuh!."
Anak-anak Pak Sabar menoleh dan menanggapinya dengan
perasaan jengah. Bagaimanapun juga mereka belum terbiasa ditonton orang banyak.
Sebagai orang yang normal-normal saja, ada hal-hal tertentu yang menyebabkan
seseorang menjadi malu- malu bila diperhatikan. Malu kalau hal-hal yang berbau
pribadi diketahui orang banyak. Apalagi ketika si bungsu Leny merasa ingin ke
belakang.
"Kalau mau buang air besar bagaimana Pap?." Si
bungsu kehilangan akal. Dia membayangkan kalau dia segera buang air besar yang
tempat dan segala sarana telah tersedia di rumah baru itu, pasti ia akan
menjadi totonan yang menarik. Tidak hanya bagi keluarganya, terlebih-lebih
terhadap orang lain di luar sana. Sebetulnya yang membuat Leny malu bukan
sekedar dilihat buang air besar.
"Nanti, tahinya kan juga kelihatan." Katanya
malu-malu kucing.
"Iya Pak, kalau mau mandi bagaimana Pap. Nampak dong
semuanya?," Santi menambah pertanyaan adiknya.
Ternyata pertanyaan seperti itu sudah diperhitungkan oleh
Pak Sabar beserta jawabannya. "Peduli
amat, nanti semua akan terbiasa. Ala bisa karena biasa." Pak Sabar
berpepatah. "Santailah sedikit. Nikmati hidup. Soal malu itu kan karena
terbiasa diakui sebagai kemaluan. Tapi kalau tidak diakui sebagai kemaluan
nanti semua akan terbiasa. Percaya saja kepada Papa"
Pak Sabar memang orang yang serba sukses. Ia terbukti sukses pula dalam mendidik anak-anaknya
agar patuh kepada orang tua. Nasihat
Pak Sabar segera saja diterima oleh anak- anaknya, juga istrinya. Mereka,
awal-awal memang agak malu melakukan aktivitas seperti mandi, buang air besar,
atau makan, karena jelas terlihat semuanya dari luar. Tapi lama-lama mulai terbiasa. Bahkan semakin hari
semakin mendatangkan kenikmatan bagi mereka. Bisa mengundang perhatian. Bisa
menjadi berita, karena segera saja beberapa wartawan datang membuat liputan
khusus tentang rumah kaca beserta penghuninya. Pak Sabar dan keluarganya
menjadi buah bibir.
Suatu siang, beberapa hari kemudian tak pelak Pak Sabar
menjadi tontonan khusus ketika ia melakukan hubungan seksual dengan istrinya
yang masih amboi itu. Walau peristiwa hubungan seksual bukan suatu hal yang
baru bagi anak-anaknya, bahkan mungkin bagi masyarakat pada umumnya, toh harus
diakui membuat mereka risih. Membuat masyarakat sibuk bergunjing. Tapi itu
tidak lama. Cuma soal terbiasa atau tidak. Apalagi ketika melihat Papa dan
Mamanya biasa-biasa saja. Seperti tidak melakukan suatu yang agak riskan bila
dilihat orang banyak. Kejadian ini
menjadi pelajaran yang baik bagi anak-anaknya.
Tak mau kalah dengan Bapaknya, keesokan harinya Santi
membawa teman laki-lakinya melakukan hubungan seksual di rumahnya. Si Robi juga
tak mau kalah, ia membawa teman perempuannya melakukan hubungan seksual. Si
bungsu Leny tak mau ketinggalan, ia membawa teman sekolahnya melakukan hubungan
seksual. Semua melakukan hubungan seksual. Semua menjadi totonan yang
mengharubiru.
Yang jelas, hampir tiap ada kejadian penting, masyarakat
setempat mendapat hiburan yang mengasyikkan. Orang kampung seperti selalu
mendapat barang baru untuk dipergunjingkan. "Tidak perlu lagi nonton film
Indonesia. Tidak perlu nonton BF." Seorang penduduk mengungkapkan rasa
kepuasannya.
Ide Pak Sabar yang sensasional itu lama-kelamaan mengundang
para orang kaya lainnya berlomba-lomba mendirikan rumah kaca, sehingga tak
berapa lama kemudian mode rumah kaca pun menjamur, di mana-mana, di sembarang
tempat. Mereka pun berlomba-lomba
melakukan aktivitas penting di dalam rumahnya masing-masing. Kejadian siapa
menonton siapa akhirnya menjadi tidak jelas. Semua menjadi aktor, semua menjadi
penonton.
Kejadian ini tentu saja membuat Pak Sabar tidak merasakan
sesuatu yang sensasional lagi. Ia mulai menghadapi sesuatu yang tidak
menantang. Masyarakat bahkan sudah tidak tertarik lagi untuk memperhatikan isi
dan kegiatan di rumahnya. Suatu pagi, Pak Sabar berpikir ingin membongkar rumah
kacanya, dan membangun jenis rumah yang lain. * * *
Langganan:
Postingan (Atom)