Jumat, 22 Januari 2016

Sabtu, 14 April 2012

HARGA DIRI


HARGA DIRI

Semenjak diwisuda sebagai seorang sarjana hukum, sudah tujuh tahun Sarjono menganggur. Sudah puluhan instansi ia lamar. Doa-doa secara rutin telah ia hujahkan. Puasa prihatin telah dia kerjakan. Waktu tujuh tahun telah membuatnya terlihat tua dan lelah. Dia pun semakin menyadari bahwa dengan kesar­janaannya itu, dia seperti tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak jarang dia bertanya, apa yang telah dipelajarinya lebih dari enam tahun pada fakultas di perguruan tinggi yang cukup punya nama di kotanya. Kok hampir tidak berguna. Padahal nilai kelulusannya tidak tergolong jelek. Kalau ada sedikit kenangan, ia pernah diajar demonstrasi oleh kakak-kakak kelasnya. Ia pun sering ikut-ikutan demonstrasi. Demonstrasi anti korupsi, penegakkan hukum, demonstrasi pelanggaran HAM, anti KKN, dan sebagainya.
Tapi nyali sebagai seorang demonstran itu sekarang nyaris sirna. Kalau ingin demo, demo kepada siapa, bagaimana caran­ya. Karena alasan apa. Toh yang namanya pengangguran itu puluhan juta. Pernah juga terbetik di pikirannya, bagaimana menggerakkan puluhan juta penganggur untuk demo. Ide itu akhirnya dia tumpas sendiri. Rasa takut jika nanti ditangkap lebih mengerikan daripada menjadi penganggur.
Yang susah tentu bukan hanya Sarjono. Ibu Sarjono, yang merasa demikian bersusah payah menyekolahkan anaknya, tidak kurang stresnya. Ia merasa gairah hidupnya semakin hari sema­kin meluntur. Rasa harapnya dari hari ke hari semakin pupus. Cuma, tidak ada yang dapat dia kerjakan selain pasrah kepada keadaan.
Suatu hari, sepulang dari bepergian, Sarjono membawa berita yang mengejutkan. "Syukurlah Bu, akhirnya saya diterima bekerja."
Mendengar berita yang telah ia tunggu bertahun-tahun itu, alangkah gembira hatinya. Ia pun berteriak memanggil anak- anaknya yang lain. Adik-adik Sarjono berkumpul.
"Beri selamat kepada Masmu. Akhirnya dia dapat kerjaan. Mulai besok dia sudah masuk kerja," ucap Ibunya tanpa mampu menyembunyikan rasa bangga.
"Selamat Mas. Jangan lupa nanti kalau sudah menerima gaji, saya dibelikan sepatu."
"Gitu dong Mas. Saya dibelikan kaos saja."
Sarjono menerima ucapan selamat adik-adiknya, dan ia berjanji kelak pada gaji pertamanya akan membelikan permintaan adiknya. Ia segera ke kamar untuk memberi kesan sibuk. Membongkar-bongkar arsip yang ia simpan pada sebuah tas besar tua dan berdebu. Beberapa berkas bahkan seperti sudah dimakan rengat. Rumah yang lembab dan sumpek, katanya, tempat kesukaan rengat.
Waktu tidur siang adik Sarjono bermimpi. Bermimpi naik motor keliling kota membonceng Sarjono. Mampir ke mal, beli sepatu, beli bakso. Riang dan perut kenyang, Sarjono masih menawarkan ingin beli apa lagi. "Aku sudah lama ingin beli walk-man." Dia terbangun karena tetangganya menyetel lagu Gelas-Gelas Kaca yang dinyanyikan Nia Daniati demikian keras.
Adik Sarjono yang lain bermimpi pada hari ulang tahunnya dihadiahi oleh kakaknya sebuah T-Shirt berwarna oranye. Di bagian dada kaos itu ada tulisan LA. Diciumnya berkali-kali kaos itu. "Tahun depan hadiahi aku levis ya, mas."
* * *
Malam harinya wajah Sarjono tampak muram.
"Ada apa?" Ibunya tanggap.
"Betul Bu, saya diterima bekerja. Tapi ada syaratnya. Syaratnya saya bersedia membayar sebesar delapan juta rupiah."
"Lapan juta rupiah?" Ibu Sarjono terperangah. "Uang bagaimana itu. Orang bekerja itu dapat uang, sekarang belum bekerja malah membayar. Maksudnya nyogok gitu?"
"Sekarang itu wajar Bu. Semua orang melakukan hal yang sama. Apa lagi saya dijanjikan akan menempati kedudukan yang baik, gaji yang baik, dan fasilitas tempat tinggal."
"Dari mana kita mendapatkan uang sebanyak itu?"
"Itulah yang saya pikirkan. Karena jelas mendapatkan uang sebanyak itu tidak mungkin. Setelah berpikir sejenak, akhirnya segera saja saya tolak."
"Apa? Jadi?"
"Saya sudah membuat pernyataan resmi dan minta maaf karena saya tidak mau dengan cara seperti itu."
"Lho, lho, lho, kenapa kamu tidak mengajak berbicara kepada Ibumu dulu. Walaupun uangnya sebesar itu, mana tahu kita punya pilihan lain yang lebih baik. Kalau perlu emas Ibu akan Ibu jual. Sepe­tak sawah warisan juga bisa dijual. Kenapa kamu seceroboh itu. Apa kamu tidak kasihan dengan adik-adikmu. Dia terpaksa tidak sekolah semenjak ditinggal Bapak. Untung kamu masih sempat selesai. Kalau tidak? Diterima pekerjaan malah menolak!" Ibu Sarjono mulai meradang.
"Ini persoalan harga diri."
"Harga diri. Kamu bicara harga diri." "Apa boleh buat. Kedengarannya saya telah berlaku sombong. Di tengah orang-orang antri mencari pekerjaan, mengais-ngais uang dengan cara bagaimanapun dan di mana pun, saya malah sok moralis. Tapi kapan lagi kita memulai sesuatu yang idealis dan moralis. Apalagi saya tidak membela siapa- siapa. Saya cuma membela harga diri. Mungkin cuma itu yang tinggal saya miliki. Semuanya sudah terlanjur. Sudah kepalang basah. Singkat kata, saya tidak mau berkerja dengan tidak jujur. Saya tidak mau bekerja pada sebuah perusahaan atau apapun karena uang haram."
"Apa yang tidak haram sekarang ini. Mencari makan secara halal saja sulit. Ibu kira kamu tidak lebih seperti pahlawan kesiangan. Kamu bisa apa selama ini. Kamu akan mampus sen­diri." Ibunya tak kalah sengit.
"Kalau saya menerima tawaran itu, itu artinya saya tidak berbeda dengan orang lain. Tidak. Saya tidak sudi memulai suatu kerjaan dengan cara gelap dan kotor. Itu jenis penyakit sosial yang harus diberantas. Saya tidak berbeda dengan agen-agen KKN yang lain. Saya tidak mau hanya membuat kaya orang yang sudah kaya." Sarjono tidak mau tahu apakah kata-katanya dapat dimengerti oleh ibunya atau tidak.
Dijawab seperti itu Ibunya melunak. Dia merasa, bagaima­napun, ada kebenaran dalam perkataan anaknya. Kalau kondisi tidak seburuk pengalaman hidupnya, ingin rasanya ia memuji anaknya. Ingin ia memelihara sikap anaknya agar bersikap teguh dan tidak mudah tergoda.
"Kalau bekerja kan lebih mapan. Hatimu akan lebih ten­ang. Ada gaji bulanan yang dapat diharapkan. Tidak cemas terus. Kamu juga bisa segera berkeluarga. Sudah berapa usiamu sekarang. Selama ini kan ibu tidak pernah menuntut kamu macam-macam."
Kedua adik Sarjono yang tadinya mau tidur, tertarik ingin mengetahui pertengkaran antara kakak dan ibunya yang secara samar-samar sempat didengarnya dari kamar mereka.
Sarjono dan Ibunya mendiam.
"Kok belum tidur?"
"Bicara apa? Serius sekali?"
"Kami sedang membicarakan apakah tawaran pekerjaan itu diterima atau tidak. Soalnya, ada kemungkinan Mas akan ditem­patkan di kota lain. Ibu keberatan. Kata Ibu, di rumah ini tidak ada laki-lakinya. Tapi Mas bersikeras bahwa walaupun kota itu cukup jauh, Mas berjanji akan selalu pulang. Paling tidak sekali tiga bulan."
Adik perempuan yang tua hampir menyangka jika Sarjono seperti berbohong. Melihat kesungguhan wajah kakaknya, dia menjadi percaya bahwa sangat mungkin apa yang sepenggal- sepenggal di dengar di kamarnya itu tidak benar. Mereka berpi­hak kepada Sarjono. Mereka mengatakan bahwa sudah saatnya nasib harus dirubah. Salah seorang berkata.
"Kami kira Mas Jono betul Bu. Kami setuju. Tapi jangan lupa lho Mas?"
"Kalau Mas tidak keberatan. Saya ingin sekolah lagi."
"Saya juga. Paling tidak kursus-kursus menjahit, atau apalah."
Ibu Sarjono memandang tajam kepadanya. Sarjono menjadi tidak enak sendiri. "Sudahlah. Lihat saja nanti. Hari sudah larut. Tidak ada salahnya kalian tidur. Jangan lupa, besok Mas dibangunkan pagi hari. Banyak hal yang harus Mas urus."
Dinasihati demikian kedua adik Sarjono ke kamarnya. Dalam kamar mereka sempat bercakap-cakap.
"Kasihan Mas Jono. Ia akan hidup sendirian. Siapa yang akan mengurus makannya. Siapa yang akan mencuci dan menye­trika pakaiannya, siapa yang akan membersihkan kamarnya."
"Itu soal mudah. Kalau ada uang semua bisa diongkoskan. Dan lagi, mana sempat Mas Jono ngurus itu semua. Ia pasti sibuk dengan pekerjaannya."
Di beranda depan, diterangi lampu remang-remang Sarjono dan Ibunya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka sibuk mengatur siasat, perkataan apa yang akan mereka katakan jika masalah penolakan Sarjono dipersoalkan lagi.
"Apa tidak mungkin pernyataanmu itu dicabut?" Ibunya mengabil inisiatif.
"Tidak mungkin. Sekali lagi ini soal harga diri. Apalagi, sambil menyerahkan surat itu, saya sempat berujar. Maaf Tuan, saya memang sangat membutuhkan pekerjaan ini. Dan saya yakin pekerjaan ini akan sangat cocok dengan saya. Tapi saya tidak dapat memulai suatu pekerjaan jika perasaan saya dalam keadaan tertekan menanggung beban."
Ibunya menggeleng-gelengkan kepala. Kekecewaannya ber­tambah-tambah.
"Mulanya Tuan itu sempat mempertahankan saya. Dia bilang, Wah kalau tahu begini, kita dong yang rugi. Saya tersen­yum penuh kemenangan. Sekali lagi saya bilang, maaf". Tak terdengar jawaban sepotong pun dari Ibu Sarjono. Dengan hati luka, ia beranjak ke dalam rumah. Terdengar ada sebuah pintu ditutup agak terbanting. Bantingan pintu itu seperti membanting harga dirinya. Tidak pernah ibunya menutup pintu lebih keras dari malam itu. Ia menjadi luka sendiri, melukai hati ibunya. Ada perasaan bersalah karena skenario yang telah dia rancang tidak sesuai dengan harapannya. Dia berharap bahwa cerita kepada ibunya itu akan melegakan hati ibunya. Karena bagaimana pun juga toh mencari uang delapan juta rupiah itu hampir tidak mungkin. Dengan cerita penolakan itu paling tidak akan membuat ibunya menjadi ringan. Dia tidak menyangka bahwa ibunya justru berani menjual harta tabungan berupa emas atau sepetak sawah. Satu hal yang hampir tidak pernah diketa­huinya kalau ia tidak membawa cerita itu. Di langit bulan sabit dan bintang berkelap-kelip seperti biasa.
* * *
Menjelang subuh, Sarjono perlahan-lahan ke kamar Ibunya. Matanya merah dan ngantuk. Diperhatikannya Ibunya, tahulah ia jika Ibunya tidak pula dapat tidur. Sambil duduk di pinggir dipan, dipegangnya tangan Ibunya.
"Sebetulnya, saya tidak pernah diterima di perusahaan apa pun Bu."
Ibunya menganggukkan kepala sambil meneteskan air mata. Dipegang dan dibelainya kepala anak tertuanya itu.
"Seandainya diterima, kita juga tidak dapat membayar. Ibu tidak punya simpanan emas barang secuil pun. Apalagi sepetak sawah." * * *

KOTA KENANGAN


KOTA KENANGAN

Kota itu kini tidak lebih puing-puing runtuhan berserakan. Bahkan beberapa rumah dan bangunan masih berbau bakaran kayu, sebagian menyisakan arang dan abu. Bangkai-bangkai mobil dibiarkan tergeletak di pinggir-pinggir jalan. Ada tumpukan bangkai elektronik yang terbuang tak terurus. Di tempat lain beberapa potong gombal menyampah tak terurus. Tak jauh dari bangkai elektronik, sepotong kaki manekin yang tampaknya tidak sempat terbakar. Manekin itu bersepatu. Sepatu wanita.
Yang tidak habis membuat Lazuardi heran, peristiwa itu telah terjadi beberapa waktu yang lalu. Waktu itu, ia sedang berada di Amerika menyelesaikan program Ph.D bidang Fisika yang telah dijalaninya tiga tahun. Lazuardi memang mendengar dan membaca berita berkaitan dengan kejadian yang menimpa negerinya, khususnya kotanya. Tapi ia tidak pernah membayangkan jika kejadian tersebut lebih parah daripada yang ia dengar dan lihat di tivi.
"Pulanglah?", seorang temannya pernah menelepon.
Tapi yang membuat Lazuardi pulang sebetulnya bukan ajakan temannya. Yang membuatnya pulang karena tidak ada kabar berita dari Angela semenjak peristiwa ramai-ramai yang menimpa kotanya. Sudah setahun terakhir ini sama sekali tidak ada kabar dari Angela. Padahal, dulu-dulu, paling tidak sekali atau dua kali seminggu Angela telepon. Atau sebaliknya, justru Lazuardi yang telepon. Tetapi belakangan, telepon yang biasa menghubungkan dia dengan Angela, ke rumah Angela, terputus, dengan informasi, ada kerusakan.
Lazuardi sempat menelepon beberapa kenalannya, yang juga mengenal Angela, tetapi tidak seorangpun yang tahu di mana Angela. "Dulu aku pernah bertemu dengannya, di sebuah bank, tapi dulu. Aku lupa persisnya. Ia sempat bercerita padaku bahwa Angela berencana ingin menyusulmu. Situasi semakin tidak aman, katanya." Seorang teman Lazuardi berbasa-basi memberi informasi. "Kami memang pernah sama- sama mengurus paspor, tapi setelah itu kami tidak pernah ketemu lagi." Yah, setelah itu Angela raib seperti asap membumbung ke langit. Hal ini membuat Lazuardi penasaran. Tidak percaya orang bisa hilang begitu saja. Tanpa secuil berita pun. Karena butuh kepastian, Lazuardi memutuskan pulang.
* * *
Sesampai di tanah air, Lazuardi tidak langsung ke tempat Angela. Ia perlu bertemu dengan keluarganya dulu, untuk kangen-kangenan, sekaligus menanyakan segala kemungkinan yang terjadi beberapa waktu belakangan ini. Lazuardi juga sempat melihat-lihat koran-koran lama yang disimpan Bapaknya dengan rapi. Cuma Lazuardi tidak berani menanyakan perihal Angela. Tidak seorang pun dari keluarganya yang menyetu jui hubungan Lazuardi dengan Angela. Alasannya, bukan saja beda agama, orang tuanya mendambakan Lazuardi beristrikan orang Jawa saja. "Jangankan Cina, Arab, atau bule, orang Sumatra saja tidak kuperkenankan!" Demikian suatu hari ibunya memutuskan dengan tegas nasib dan jodoh Lazuardi.
Lazuardi diam saja, dia merasa tidak perlu membantah kehendak ibunya, orang tua yang selama hidupnya telah memelihara dan menyayanginya dengan sepenuh raga jiwa. Karena itu pula Lazuardi memutuskan untuk menunda percintaannya secara terbuka dengan Angela, walaupun sebetulnya keluarganya sudah tahu bahwa Lazuardi tetap saja menjalin cinta dengan seorang wanita keturunan.
"Ibumu benar Mas Adi, kita harus mematuhinya. Aku mencintaimu sepenuh jiwaku. Aku tidak ingin orang yang aku cintai durhaka kepada orang tuanya. Perlahan- lahan saja. Ada waktunya nanti keadaan akan berubah. Percayalah. Perlu engkau ketahui, seandainya aku tidak boleh menjadi istrimu, maka aku tidak akan pernah kawin dengan siapapun. Sumpah." Perkataan itu dikatakan Angela suatu hari sepulang kuliah.
Lazuardi percaya Angela. Gadis paling baik yang pernah ia kenal. Cantik, rajin, berhati mulia, walau sebetulnya ia seorang gadis yang pemalu dan sedikit pendiam. Sehari-harinya, kalau tidak kuliah, ia di rumah membantu bisnis orang tuanya, mengelola sebuah toko. Berkebalikan dengan orang tua Lazuardi, papa ibu Angela justru sangat menerima kehadiran Lazuardi. Bahkan pernah papa Angela berkata, bahwa ia senang jika suatu hari kelak Lazuardi menjadi suami Angela.
"Doakan saja Pap, saya mencintai Angela. Di mata saya, dia gadis yang berkepribadian dan suci." Papa Angela tersenyum bahagia mendengar Lazuardi memuji anaknya. Papa Angela tahu, Lazuardi tidak sedang berbohong padanya. Ia juga tahu persis siapa Angela anaknya. Ia juga menyukai Lazuardi, karena ia yakin bahwa Lazuardi adalah pemuda yang bisa diharapkan.
* * *
Di siang yang agak terik. Orang-orang mulai hilir mudik. Ada yang acuh tak  acuh. Beberapa di antaranya sekali dua menoleh ke bangunan-bangunan yang gosong, sembari berbisik-bisik dengan temannya. "Aku dulu dapat tivi dari toko itu." "Aku tape deck." Kemudian saling tertawa. Di seberang jalan, Lazuardi terpana menatap sebuah ruko.
"Di situlah Angela," bisiknya dalam hati. "Di tempat itulah Angela lahir, makan, minum, belajar. Di tempat itulah Angela besar. Apa yang terjadi pada dirimu Angela? Kenapa hingga hari ini belum ada kabar datang darimu? Di mana engkau. Tahukah engkau bahwa aku sangat merindukanmu?"
Sambil termenung-menung, sayup-sayup terdengar kegaduhan. Lama kelamaan suara itu semakin riuh, semakin sangar. Berderak-derak. "Lempar.... Bakar.... Lempar.... Bakar.... Lempar....". Massa semakin bergemuruh. Toko-toko dan beberapa gedung mulai terbakar. Sejumlah orang mulai masuk toko, menjarah apa yang dapat dijarah. Mobil-mobil dibakar. Teriakan-teriakan sumpah keparat. Asap mulai membumbung, api bersautan. Saat-saat seperti itulah terdengar lolongan orang yang mengalami kengerian. Rintihan wanita. "Jangaaan, jangaaaan, kasihani aku. Toloooong... Toloooong...." Semua berjalan dengan cepat. Kota terbakar. Lazuardi tergagap.
Tapi mudah-mudahan Angela baik-baik saja. Walau Lazuardi mulai ragu sendiri terhadap keyakinannya. Lazuardi hanya berharap sebelum kejadian itu, keluarga Angela sudah mengungsi lebih dahulu. Tapi siapa yang mengira jika kejadiannya bakal menimpa seperti itu. Lazuardi mencoba mendekati tempat Angela tinggal. Melihat dari dekat jejak-jekak Angela. Ya, mana tahu?
Darah Lazuardi berdesir melihat sebuah ruang yang menyampah penuh dengan sisa-sisa hangus yang dibiarkan begitu saja. Ya, di ruang inilah ia berpamitan dengan Angela sebelum ia berangkat ke Amerika. Di ruang ini pula untuk pertama kalinya ia mencium Angela. Di ruang itu pula dengan mesrah dan penuh cinta Angela mencium seorang laki-laki untuk pertama kalinya. "Aku akan menunggumu Mas. Lima tahun tidak lama. Dan semua akan baik-baik saja. Percayalah. Semuanya akan berubah. Aku yakin kelak keluargamu pasti menerima aku. Aku yakin itu."
* * *
Angela benar. Sekarang semua berubah. Semenjak kejadian yang ramai-ramai itu, orang-orang mulai membuka diri untuk menerima perbedaan-perbedaan. Paling tidak sedikit banyak mulai sadar bahwa sebetulnya manusia itu sama saja. Yang berbeda mungkin soal asal usul dan nasib. Kadang-kadang. soal rezeki juga tidak bisa dijelaskan begitu saja. Tetapi, kenapa harus terjadi penjarahan dan pembunuhan, juga bakar- bakaran. Kenapa? Lazuardi tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Manusia memang misterius, katanya dalam hati.
Hal lain yang membuat Lazuardi gamang adalah perubahan sikap keluarganya terhadap Angela. "Kalau engkau sungguh mencintai Angela, kita semua sebetulnya setuju-setuju saja kok. Mama tidak bisa memaksa kamu kawin dengan orang yang mungkin tidak engkau cintai." Tentu saja Lazuardi terharu menerima kabar itu. Walau Lazuardi agak kecewa juga kenapa tidak dulu-dulu. Karena, jika Angela diterima dari dulu, dia sudah menikahi Angela dan dibawanya ke Amerika. Kejadiannya pasti tidak seperti ini. Jangankan akan menikahi Angela, kabarnya saja Lazuardi tidak tahu di mana Angela gerangan berada. Tersirap darah Lazuardi jangan-jangan semua sudah terlambat.
Lazuardi terus menerus mencari jejak dan kabar Angela. Namun hanya ketidaktahuan dan ketidakjelasan yang ditemuinya. Lazuardi menjadi tahu bahwa ternyata keluarga Angela tidak memiliki kerabat dekat yang dapat ditanyakan perihal keluarga Angela. Pernah Lazuardi melapor persoalan Angela pada sebuah komite yang bergerak dalam pencarian orang hilang dan anti kekerasan. Ada sejumlah informasi yang diterima Lazuardi, tetapi tak satu pun yang bisa membawanya ke Angela.
Lazuardi tak habis pikir bahwa seorang manusia, atau mungkin bukan hanya seseorang, bisa hilang tanpa bekas di kotanya. Semua seolah seperti benda-benda saja yang ketika terbakar, maka habislah ia. Kota apa ini? Negara apa ini? Bangsa apa ini? Keluhnya suatu malam. Kenangannya terhadap Angela semakin menusuk-nusuk hatinya.
Di suatu subuh, Lazuardi memutuskan untuk meninggalkan kotanya. Ia tak kuat tinggal dalam sebuah kota yang didalamnya hanya tinggal kenangan.* * *

         


PIDATO DI PINGGIR JALAN (PAK DHE KARYO IN MEMORIAM)


PIDATO DI PINGGIR JALAN
(PAK DHE KARYO IN MEMORIAM)

Pada sebuah jalan pemakaman, matahari merangkak lambat dan pucat. Burung-burung  sekali dua tampak melintas-lintas. Di atas kepala beberapa pelayat, nyiur kelapa menjuntai. Diterpa semilir, putih bunga kamboja berguguran. Ada yang tersingkap. Ada yang merapuh.[1] Ada yang bisik-bisik. Ada yang melihat-lihat batu nisan, membaca nama-nama. Menutupi lobang yang menganga, tanah merah kembali ditelungkupkan. Jasad itu telah dikembalikan pada dirinya. Wajah-wajah tampak kusut dan tertegun, tapi tak ngeri. Pemakaman berjalan dengan cepat. Tanpa doa, tanpa air mata.
* * *
Sudah lama Sin-jim mencari-cariku. Ia pernah bercerita kisah seorang mantan pejuang. Dengan mengenakan baju hijau tentara yang sudah usang, sepatu lars tua, peci, ikat pinggang kopel serta tak lupa kaca mata hitam, laki-laki tua itu berdiri di pinggir jalan besar dekat pasar. Tak jarang ia berkacak pinggang, atau memberi aba-aba, atau melakukan gerakan-gerakan langkah tegap seolah seperti sedang berbaris. Kalau kebetulan ada beberapa orang yang merasa tertarik untuk nonton, maka ia berpidato.
"Saudara-saudara sekalian," katanya sambil mengacung- acungkan tangannya ke atas. "Kemerdekaan Republik Indonesia ini tidak akan pernah tercapai tanpa perjuangan Tentara Republik Indonesia." Ia berhenti sebentar menarik napas. "Oleh karena ini, hormatilah para pejuang, para pahlawan, baik yang gugur di medan laga maupun yang selamat sejahtera. Demikian saudara- saudara, ini mohon diperhatikan."
Secara tidak teratur, beberapa orang berhenti dan melihat acuh tak acuh. Yang sendiri-sendiri, dua-dua, dan sekelompok anak SLTA. Saling berbisik, sebagian orang menyorongkan mulutnya ke kuping temannya, yang mendengar menganggku kecil. Laki-laki itu melanjutkan pidatonya.
"Sekarang coba lihat. Bisa anda rasakan sendiri. Pembangunan lancar, kehidupan membaik. Semua serba mudah. Kemerdekaan memberikan kita kesempatan untuk membangun. Kebebasan berkreasi. Kesempatan menikmati hidup. Tapi itu pulalah yang membuat kita lupa diri. Apa saja yang kita kerjakan selama ini selain mengurus dirinya masing-masing." Laki-laki itu memutuskan pidatonya. Serta merta, dengan langkah tegap ia meninggalkan kerumunan kecil itu. Raut mukanya menyiratkan gairah kebanggaan.
Cuma sebetulnya aku ingin mendengarkan kisah-kisah kasih. Tentang burung-burung berterbangan mengepakkan sayap, redup mentari. Bulir-bulir embun. Riak air dan segar pagi hari dengan senandung. Mungkin ocehan bayi.
"Kau lihat?" Sin-jim memperhatikan Pakdhe Karyo asyik mengelus merpati. "Telah putih rambutnya. Berpuluh tahun ia cintai merpati melebihi anak sendiri." Menerawang Sin-jim. "Aku tak mau hidup seperti itu. Usia habis di depan kandang dan tai. Tua, terbungkuk, mati. Tapi ini soal cinta."
Melamun, berjam-jam di depan kandang. Melihat tingkah merpati. Bulu-bulu lepas, berhamburan. Ditangkap, dielus-elus, dimandikan satu satu. Tanpa sepatah katapun. Membersihkan kandang. Duduk lagi. Melamun. Tiduran. Mengeluh pegang pinggang. Masuk angin. Membatin, bahwa hidup ternyata memang sederhana. Tidak sulit seperti yang dicerita-ceritakan orang. 
* * *
Pakdhe Karyo sebah perutnya. Berita-berita di TV sungguh membuat lambung mual. Kenapa dulu jadi tentara. Teringat oleh Pakdhe Karyo teman-teman seperjuangan. Membela bangsa dan negara. Agar hidup bebas dari penjajahan. Ya, dulu kita dihormati sobat. Setiap orang, angkat tangan kanannya, kaki rapat, memberi hormat. Merdeka! Kita disanjung, dipuja. Kalau berjalan, alangkah gagahnya. Berderak-derak. Merdeka!
Bagaimana anak-anak Satroni? Dimana mereka sekarang? Apakah mereka membaca koran, melihat TV? Kalau bukan karena Satroni, Pakdhe Karyo yang gagah ini sudah dimakan cacing.
"Awas Karyo! Tapi justru Satroni yang tertembak. Satroni menghalangi datangnya peluru dengan tubuhnya. Selamat Karyo. Termenung ia di sisi mayat Satroni. "Kenapa itu kau lakukan Satroni. Aku ini apamu?". Tidak pernah ngerti Pakdhe Karyo.
Terlintas pula bagaimana dia menggendong Hartoyo yang kena ledakan mortir berkilo-kilo. Kalau tidak ada Pakdhe Karyo, regu Paiman pasti sudah mati. Di bawah desingan peluru, merangkak mengalihkan perhatian musuh. Strategi jitu. Ngeri membayangkan, kenapa dulu berani melakukan itu. Edan. Ya, kenapa tidak ada rasa takut? Sial, perjuangan demi bangsa dan negara tidak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. "Apa kabar anak Satroni, apakah dia tahu kalau perutku sering mules. Sering muntah-muntah?"
"Jangan melamun terus! Nanti bludrek-nya kumat!" Anak Pakdhe Karyo memperingatkan. Sambil lalu. Basa-basi. Lantas nyelonong meninggalkan rumah membawa bungkusan. Pakdhe karyo hanya melirik.
Rumah kecil dan tua itu sudah kelihatan reyot, kotor, dan busuk. Sudah bertahun-tahun tidak ada yang membersihkan. Padahal, di rumah itu tinggal beberapa orang. Di samping rumahnya kelihatan air menggenang hijau kehitam-hitaman yang bau, pemandangan yang tidak menyenangkan. Sarang nyamuk dan penyakit. Tidak tahulah apa yang mereka kerjakan sehingga rumah dan halaman rumah itu sama sekali tidak sempat mendapat perawatan. Dinding-dinding papan yang mengeropos, dan dua mata Pakdhe Karyo yang jauh.
Di mana anak Satroni? Mestinya aku yang mencarinya. Belum lama berselang ada anak-anak veteran demonstrasi. Minta jasa-jasa orang tuanya dihormati. Jasa-jasa apa? Kalau perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan masih mending. Wong nyerang dan membunuh kok minta dihormati. Siapa suruh? Siapa suruh datang Jakarta? Pak Parkah tersenyum. Eh, tapi siapa suruh dia jadi anak tentara.
Tidak. Pasti di situ tidak ada anak Satroni. Dia anak orang terhormat. Kalau sekarang memang malu-maluin. Masa kerjanya mukulin rakyat. Kalau tidak mukulin rakyat, ya mbekengi tempat-tempat perjudian. Pelacuran. Ngompas pedagang-pedagang. Ah, kita tahulah. Siapa yang enggak tahu. Kayak gitu kok minta dihormati. Nih, Pakdhe Karyo, enggak minta dihormati. Mualnya menjadi-jadi. Ditambah pusing yang merajam- rajam syaraf kepala. Terpikir juga oleh Pakdhe Karyo untuk mencoba menghargai jasa-jasa dirinya. Agar orang-orang-orang mengenalnya. Mengenangnya. Pakdhe Karyo ke bilik. Ia buka koleksi akiknya yang hanya beberapa. Dipandang satu banding satu. Bosan. Ia buka buku harian. Menulis-nulis. Sesekali ia menggaruk-garuk kaki. Gatal. Mungkin digigit nyamuk. Pakdhe Karyo teringat bahwa ia belum membeli obat pembasmi nyamuk. Tersirap darahnya.
* * *
Burung dan kesetiaan. Darah dan tanah. Ya, ini dia. Betul. Sin-jim ingin bercerita tentang burung dan kesetiaan. Darah dan tanah. Tentang putih komboja berguguran. Cuma lidah kelu. Merpati-merpati gelisah. Pakdhe Karyo juga gelisah. Gerimis tak henti. "Bersabarlah wahai burung. Hari tak selalu gerimis."
"Kurus kering orangnya. Kulitnya hitam. Wajahnya seperti tak menyimpan kenangan. Kalau tertawa, gigi kapaknya berkibar." Sin-jim membolak-balik lembaran. Tidak ada yang tahu secara pasti siapa nama lengkapnya. Tetapi orang-orang biasanya memanggilnya Pakdhe Karyo. Barangkali semacam panggilan keakraban saja. Kalau dia ditanya tentang nama lengkapnya, biasanya dia hanya menjawab, "Ya, kira-kira Karyo itu. Mungkin tidak persis seperti itu. Saya sendiri tidak tahu."
Lain lagi kalau orang tanya tentang umurnya.
"Sebetulnya Pakdhe Karyo ini umurnya berapa?," seseorang pernah aku dengar bertanya.
"Ya, kira kira lima-tujuhlah".
Tapi kalau lain kali ada yang bertanya lagi, dia akan bi lang;
"Ya, mungkin sekitar tujuh puluhan".
Nah, tentu saja orang-orang tidak ada yang tahu pasti siapa nama sesungguhnya dan berapa usianya. Habis, mau bertanya kepada siapa. Tak seorang pun yang mengakui sebagai kerabat dekat Pakdhe Karyo. Semua orang di sekitar kampung itu tahu, ia hidup sendiri. Tegasnya, Pakdhe Karyo hidup sebatang kara di dunia ini. Jadi soal nama dan usia memang masih misterius. Kalau soal usia mungkin masih bisa dikira-kira. Walau Pakdhe Karyo sering menjawab secara ngawur, kadang-kadang lima puluhan, kadang-kadang tujuh puluhan. Akan tetapi jika dilihat dari fisiknya, yang sudah penuh dengan uban, kurus, berkaca- mata, dan sedikit membungkuk, yang jelas di atas enam puluhan. Di atas tujuh puluh mungkin tidak. Ya, sekitar enam puluh limaanlah.
Untuk sisi itu Pakdhe Karyo memang sosok yang agak misterius. Tapi bahwa dia penduduk asli Yogya, jelas tidak ada yang menyangsikannya. Semenjak bujang dulu dia sudah tinggal pada sebuah rumah kecil di jantung kampung itu.  Walau begitu, selama itu pula dia tidak pernah punya KTP.
"Untuk apa", katanya suatu hari. "Pekerjaanku tidak membutuhkan KTP. Toh aku tetap bisa makan walau tidak punya KTP. Dulu memang pernah Pakdhe mencoba mengurusnya. Tapi tidak bisa. Pakdhe tidak punya surat keterangan secuil pun tentang diri Pakdhe. "Pakdhe pikir, peduli amat". Katanya sambil tertawa. Dan, memang orang-orang tidak perlu peduli, apakah Pakdhe Karyo punya KTP atau tidak. Orang seperti Pakdhe Karyo memang tidak perlu dipedulikan. Apalah artinya seorang penambal ban sepeda bagi sebuah peradaban modern yang ramai dan serba canggih. Dia orang yang sama sekali tidak perlu dirisaukan keberadaannya. Dia bukan orang yang dapat mengguncangkan proses pemilihan Ketua RT sekalipun.
* * *
Terbayang dalam kepalaku anak seseorang ? Aduh anak siapa gerangan? Siapa namanya? Kenapa aku begitu sulit mengingat nama? Sial benar hidup ini? Hanya mengingat nama saja sulit? Kepala bergoyang ke atas ke bawah pelan. Pendangan terbuang ke mana-mana. Terbersit sejumput keraguan, tentu bukan anak itu yang diceritakan Sin-jim. Sin-jim tidak kenal anak itu. Siapa gerangan yang diceritakan Sin-jim. Mendung menebal. Secarik kesedihan menggores kening. Wajah itu tak kukenal. Biarlah.   
"Oh, iya. Mungkin dia seorang penyair." Kaget Sin-jim melanjutkan. "Paling tidak, cita-citanya menjadi penyair. Kemana-mana membawa pensil dan kertas. Sering kulihat dia termenung-menung di depan rumah. Sambil corat-coret. Kadang- kadang di kebun. Di pasar. Pernah juga di kuburan. Dasar penyair."
Aku tertawa, lebih tepatnya tersenyum. Sebetulnya tidak mengerti, Sin-jim bercerita apa. Rasa penasaran kadang lebih mendebarkan.
"Pernah suatu malam ia bercerita padaku. Katanya aku orangnya sering tak tahan, lompati pagar seenaknya, menyiang ilalang, batu-batu, dan terik yang menyengat. Di tanah ini pernah kutancapkan kegagalan, pada duka ibu, dan hati yang dendam, lantas dimanakah jalan yang dijanjikan, agar longgarlah dada yang sesak, untuk sembunyi, sembari menghitung detik, menawar masa depan. Entah apa yang diceritakan." Sin-jim menyedot rokok dalam-dalam. "Aku ingin protes, kata Pakdhe Karyo. Agar kita menjadi lebih paham sejarah. Bukan untuk bersedu sedan." Dari rautnya yang kosong, aku tahu Sin-jim sedang berusaha memahami apa yang sedang diceritakannya padaku.
Ada kesunyian yang menyengat. "Kalau nyanyian dan semilir angin terus menggoda, maka gelisahnya menjadi suatu yang menyenangkan untuk direngkuh. Bernyanyilah wahai burung-burung, saat terbit matahari, dan tenggelam, dan air mata. Waktu itu, aku hanya mengangguk-angguk saja, lagaknya orang yang arif karena mengerti banyak hal. Mana tahu dengan itu dia menjadi senang. Mungkin selama ini tidak ada orang yang pernah mau mendengar ceritanya."
"Kau dengar. Ia bercerita dengan gaya dan sok mempesona. Layaknya seorang penyair. Siapa nyana kalau dia bekas tentara."
Kembali kami termenung. "Ah, siapa yang peduli dengan kematian?", Sin-jim menutup cerita. Sekarang aku tertawa. "Aku tahu, jangan-jangan engkau juga bercita-cita ingin jadi penyair?". Sin-jim menggelengkan kepada. "Kamu salah lagi. Aku sendiri ingin jadi pembalap. Tapi ini bukan tentang aku." Wajahnya menjadi serius.
* * *
Pagi membuka diri. Bersama gerimis, seorang tua tertelungkup basah di samping buku harian yang terbuka. Ada percik darah di hidung, telinga, dan lantai. Walaupun mulutnya sedikit berbusa, tapi wajahnya seperti sedang berpikir. Kaku, dingin, kesepian. Seberapa nyerikah? Di pinggir meja, ada tulisan pada secarik kertas.

Perjalanan rintih, menjalar
dari ruang ke sudut-sudut sejarah
pribadi, menebar kenangan.
Disaksikan langit dan daun-daun,
juga mata-mata Tuhan,
suara bergelora,
karena cinta yang berbalik.

Misteri hidup. Seperti puisi? Tidak tahulah. Sin-jim meneruskan.

Siapa peduli. Liku-liku menuju batas,
hidup dan mati.
Berguling darah
dan tanah yang sama.

Di pinggir kuburan seseorang berjalan mondar mandir. Beberapa kali ia menoleh ke kuburan, ragu dan berpikir. Selang beberapa waktu, ia memastikan diri dan bertanya sekepada seorang pelayat.
"Siapakah itu yang dikubur?"
Tak ada jawaban, atau bahkan sekedar menganggukan kepala. * * *


[1] Dengan ingatan kepada puisi Chairil Anwar, “Derai-Derai Cemara.”

RUMAH KACA


RUMAH KACA

Hanya karena merasa kelebihan duit, Pak Sabar punya ide macam-macam. Dia menghubungi seorang arsitek terkenal di kotanya.
"Aku ingin punya rumah yang seluruhnya dari kaca. Aku tidak tahu apakah ide ini nyentrik atau tidak. Aku juga tidak ingin tahu apakah itu mungkin atau tidak. Yang aku ingin tahu kau harus merancangnya dan rumah itu bisa dibangun. Kau boleh menghubungi ahli-ahli lain yang terkait dengan masalah ini. Jangan pikir soal biaya. Itu soal kecil," sabda Pak Sabar mende­sak sang arsitek.
Muncul juga keraguan di hati  Sang Arsitek. Jangan-jangan ia tak bisa memenuhi kesanggupannya kelak. Baru kali ini ia mendapat pesanan demikian aneh. Untunglah selintas timbul keinginannya untuk berpetualang. Berpetualang dalam dunia arsitektur. "Ini tantangan besar," batin Sang Arsitek. "Saya harus membuktikan bahwa dalam peradaban super modern ini tak ada yang tak mungkin. Uanglah yang maha menentukan."
"Apakah saya betul-betul bebas merancang?," Sang Arsitek kembali meyakinkan perjanjiannya dengan Pak Sabar.
"Betul. Betul-betul bebas. Cuma perlu engkau ketahui rumah yang bakal dibangun itu jumlah kamarnya minimal lima, karena anak saya ada empat. Ada kamar mandi pada setiap kamar. Perlu pula kau ingat, paling tidak saya membutuhkan ruang garasi untuk lima mobil. Boleh sebagian kau letakkan di atas. Yang lain-lain, yang berkaitan dengan tata letak ruang, secara keseluruhan aku serahkan sepenuhnya pada keahlianmu." "Oke. Ini terakhir Pak. Di mana rumah itu akan dibangun. Ini berkaitan dengan kemungkinan estetikanya."
"Apa itu artinya?," Pak Sabar tak mengerti.
"Konsep estetika membangun rumah itu tentu saja berbeda antara di daerah perumahan elit, di daerah perkampungan, atau di antaranya. Ini menyangkut setting. Minimal kita perlu membuat suatu perhitungan estetis agar betul-betul teatrikal."
"Teatrikal. Ah, apa pula itu artinya?," Pak Sabar masih tak mengerti. Tapi, tentu saja ia tak berselera untuk berdiskusi soal estetika dengan Sang Arsitek. Pak Sabar memang tidak biasa berdiskusi masalah estetika-teatrikal yang menurutnya terlalu remeh dan mengada-ada.
"Oke, rumah itu akan dibangun kira-kira di antara peruma­han elit dan perkampungan," Pak Sabar memotong agar tidak terjadi diskusi panjang yang menurutnya tidak terlalu relevan untuk diketahuinya. Baginya hal seperti itu bukan sesuatu yang harus dipikirkan orang kaya seperti dia.
"Tolong rahasiakan tentang sosok bangunannya hingga rumah itu betul-betul selesai."
***
Segera saja pekerjaan membangun rumah kaca dimulai. Semua ahli pertukangan yang relevan dimanfaatkan. Alat-alat teknologi modern dikerahkan, karena hanya teknologi yang tinggi yang bisa menangani kebutuhan seperti itu. Begitu banyak orang terlihat sibuk sehingga masyarakat sekitar mulai bertanya- tanya sesungguhnya rumah atau gedung apa yang akan dibangun. Karena hari bertambah hari  tak ada perubahan fisik yang berarti.
"Apa mereka-mereka itu mau bangun rumah di bawah tanah. Saya sama sekali tidak melihat bangunan fisiknya?," tanya seorang penduduk pada temannya.
"Saya sendiri tidak tahu. Tanya saja sendiri sana," te­mannya menjawab tak acuh.
Namun yang jelas kira-kira lima bulan kemudian Sang Arsitek melapor kepada Pak Sabar bila rumah pesanan beliau sudah selesai.
"Lho, kok cepat sekali?"
"Teknologi modern Pak. Teknologi modern," jawab Sang Arsitek dengan memberatkan kata modern. Untung satu kata ini cukup populer di kuping Pak Sabar. Karena ia orang-orang sering mengatakan bahwa dia merupakan contoh orang modern. Pak Sabar juga merasa dia orang modern, sehingga ia tidak terla­lu bodoh untuk sama sekali tidak paham maksud Sang Arsitek.
"Okelah. Saya jadi penasaran lho. Sebentar lagi saya ke sana."
Tak berapa lama Pak Sabar  datang dengan kendaraan pribadi Old-Benz 2000 MILLENIUM-nya. Di pintu gerbang Pak Sabar membaca tulisan DILARANG MASUK, KECUALI SEIZIN PEMILIK RUMAH. Ia tersenyum sendiri. Dia merasa senang dengan tulisan itu. "Aku yang memiliki rumah ini bung," hatinya berteriak. Dan itu dibuktikannya dengan menyuruh Si Supir membunyikan klakson. Mendengar klakson, beberapa orang tergopoh-gopoh ke pintu gerbang. Dari penampilan mobil, orang-orang tersebut tanpa bertanya-tanya lagi langsung saja membukakan pintu.
Tanpa setahu siapapun ada yang membuat Pak Sabar penasaran. Sejak di mobil Pak Sabar sudah melongokkan kepa­ lanya ke sana ke mari mencari-cari sebuah bangunan. Anehnya, tak dilihat satu pun sejenis bangunan. Padahal Sang Arsitek baru saja menelepon jika rumahnya telah selesai. Hampir tak sabar Pak Sabar karena seolah-olah Sang Arsitek telah  mengajaknya bergurau. Kalau Sudono Salim yang bergurau seperti itu den­gannya, boleh-bolehlah. Tentu ia akan tertawa terbahak-bakak. Tapi seorang arsitek? Bukan kelasnya bisa berseloroh dengan Pak Sabar yang high class. Itu tak sopan.
"Mana? Mana? Mana?," Pak Sabar berteriak-teriak seketi­ka ia melihat Sang Arsitek.
"Apanya yang mana Pak?," Sang Arsitek tak kalah bin­gung.
"Kok masih bertanya? Jangan bergurau. Saya orang pent­ing. Katanya sudah selesai," Pak Sabar belum turun emosinya.
"Oh, rumahnya. Lha ini," dengan riang Sang Arsitek menjawab sambil menunjuk sebuah halaman terbuka.
Mendengar kegembiraan dan kesantaian Sang Arsitek, Pak Sabar tergagap. Ia memandang halaman kosong dengan cermat dan konsentrasi. Setelah yakin ada sesuatu di halaman kosong itu, tiba-tiba Pak Sabar tertawa terbahak-bahak. Sang Arsitek juga tertawa terbahak-bahak. Satu dua tukang yang masih di situ, mendengar Pak Sabar tertawa terbahak-bahak, mereka pun tertawa terbahak-bahak. Pak Supir juga tertawa terbahak-bahak di mobil (Ia hanya tertawa kalau bosnya tertawa, dan sedih kalau bosnya sedih. Cuma kalau bosnya marah, dia diam saja).
"Astaga. Betul-betul sudah pikun saya. Saya yang punya ide, saya sendiri yang lupa." Kembali Pak Sabar tertawa terba­hak-bahak. "Maklumlah, terlalu banyak yang harus saya pi­ kirkan. Saya orang sibuk."
"Kita sih maklum-maklum saja Pak."
"Tapi? Tapi, terus bagaimana nih. Mana pintunya, mana ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi, dan seterusnya? Wah, kalau tidak tahu bisa nabrak-nabrak nanti."
"Itu cuma masalah kebiasaan Pak. Mari saya tunjuk-tun­jukkan."
Dengan agak ragu-ragu, Pak Sabar melangkah di belakang Sang Arsitek.
"Sebetulnya semua sederhana Pak. Untuk tanda-tanda ruang dan pintu, semua berpedoman dengan warna-warna garis di lantai. Memang, garis-garis itu pun tidak terlalu menyolok. Sepintas seperti garis-garis lapangan olah raga saja. Untuk lebih jelasnya Bapak bisa pelajari keterangan ini." Pak Sabar meneri­ma semacam brosur. Sambil membaca, dia terus mendengarkan keterangan Arsiteknya. Tak henti-hentinya Pak Sabar mengang­guk dan menggelengkan kepala. Tampaknya betul-betul puas ia.
"Lantas?" Pak Sabar mengerutkan kening seolah mengingat sesuatu. "Oh ya, bagaimana dengan estetika yang anda maksud­kan itu."
"Itu menyangkut tata letak ruang-ruang Pak. Di mana kamar mandi harus diletakkan, di mana tempat tidur, dan lain- lain. Ruang-ruang pribadi itu semua ada di bagian atas. Kan akan menjadi lebih menarik. Karena, maaf Pak, semua seperti di tempat terbuka. Apa saja yang dilakukan di dalam rumah ini, akan nampak dari luar. Apa saja isi rumah ini akan nampak dari luar. Rumah ini tidak bisa menyimpan rahasia bagi orang yang ingin melihat. Semuanya serba transparan." Berdasarkan penjelasan itu kembali Pak Sabar tertawa terbahak-bahak. Sang Arsitek juga tertawa terbahak-bahak.  Tukang-tukang juga tertawa terbahak-bahak. Supir juga tertawa terbahak-bahak.
"Itu sudah saya perhitungkan."
"Toh nanti semua akan lebih jelas kalau rumah ini diisi dan ditempati," Sang Arsitek menutup keterangannya.
"Hari ini juga rumah ini akan saya isi komplit. Pokoknya, semua yang bisa dari kaca akan saya beli yang dari kaca."
***
Keesokan harinya Pak Sabar memboyong keluarganya. Ternyata istri Pak Sabar belum terlalu tua. Kira-kira empat puluh lima tahunan. Dia mempunyai anak perempuan tiga, lumayan menarik dan cantik, dan seorang laki-laki yang cukup menjanji­kan. Maklum, Sebetulnya Pak Sabar orang yang tidak terlalu jelek. Kalau boleh dibilang bahkan sebetulnya Pak Sabar itu terhitung di atas lumayan. Semula keluarga Pak Sabar tak habis mengerti terhadap ide menempati rumah yang terbuka itu. Tapi setelah Pak Sabar meyakinkan anak-anak dan istrinya bahwa hidup itu perlu melakukan petualangan-petualangan serta variasi yang mendebarkan, akhirnya mereka setuju-setuju saja.
"Untuk apa duit berlimpah, kalau hidup kita begitu-begitu saja. Monoton. Tidak bervariasi. Menjemukan." Pak Sabar pernah mengatakan obsesinya kepada anak dan istrinya. Waktu itu anak-anak dan istrinya hanya tertawa saja mendengar kegeli­sahan Pak Sabar.
"Nanti kalau ternyata tidak sip, kita bongkar. Kita bangun lagi jenis rumah yang lain." Setelah Pak Sabar menjelaskan tanda-tanda dalam mema­hami kondisi rumah yang sesungguhnya, mereka siap-siap untuk sekedar istirahat sambil menikmati suasana baru. Hal tersebut membuat mereka sadar jika hampir puluhan orang sedang menonton mereka dengan terheran-heran. Suatu hal yang membuat Pak Sabar justru mendapat hiburan tersendiri.
"Apa Papa bilang. Kita melakukan hal yang spektakuler. Coba lihat. Coba lihat tuh!."
Anak-anak Pak Sabar menoleh dan menanggapinya dengan perasaan jengah. Bagaimanapun juga mereka belum terbiasa ditonton orang banyak. Sebagai orang yang normal-normal saja, ada hal-hal tertentu yang menyebabkan seseorang menjadi malu- malu bila diperhatikan. Malu kalau hal-hal yang berbau pribadi diketahui orang banyak. Apalagi ketika si bungsu Leny merasa ingin ke belakang.
"Kalau mau buang air besar bagaimana Pap?." Si bungsu kehilangan akal. Dia membayangkan kalau dia segera buang air besar yang tempat dan segala sarana telah tersedia di rumah baru itu, pasti ia akan menjadi totonan yang menarik. Tidak hanya bagi keluarganya, terlebih-lebih terhadap orang lain di luar sana. Sebetulnya yang membuat Leny malu bukan sekedar dilihat buang air besar.
"Nanti, tahinya kan juga kelihatan." Katanya malu-malu kucing.
"Iya Pak, kalau mau mandi bagaimana Pap. Nampak dong semuanya?," Santi menambah pertanyaan adiknya.
Ternyata pertanyaan seperti itu sudah diperhitungkan oleh Pak Sabar beserta jawabannya. "Peduli amat, nanti semua akan terbiasa. Ala bisa karena biasa." Pak Sabar berpepatah. "Santailah sedikit. Nikmati hidup. Soal malu itu kan karena terbiasa diakui sebagai kemaluan. Tapi kalau tidak diakui sebagai kemaluan nanti semua akan terbiasa. Percaya saja kepada Papa"
Pak Sabar memang orang yang serba sukses. Ia terbukti sukses pula dalam mendidik anak-anaknya agar patuh kepada orang tua. Nasihat Pak Sabar segera saja diterima oleh anak- anaknya, juga istrinya. Mereka, awal-awal memang agak malu melakukan aktivitas seperti mandi, buang air besar, atau makan, karena jelas terlihat semuanya dari luar. Tapi lama-lama mulai terbiasa. Bahkan semakin hari semakin mendatangkan kenikma­tan bagi mereka. Bisa mengundang perhatian. Bisa menjadi berita, karena segera saja beberapa wartawan datang membuat liputan khusus tentang rumah kaca beserta penghuninya. Pak Sabar dan keluarganya menjadi buah bibir.
Suatu siang, beberapa hari kemudian tak pelak Pak Sabar menjadi tontonan khusus ketika ia melakukan hubungan seksual dengan istrinya yang masih amboi itu. Walau peristiwa hubungan seksual bukan suatu hal yang baru bagi anak-anaknya, bahkan mungkin bagi masyarakat pada umumnya, toh harus diakui membuat mereka risih. Membuat masyarakat sibuk bergunjing. Tapi itu tidak lama. Cuma soal terbiasa atau tidak. Apalagi ketika melihat Papa dan Mamanya biasa-biasa saja. Seperti tidak melakukan suatu yang agak riskan bila dilihat orang banyak.  Kejadian ini menjadi pelajaran yang baik bagi anak-anaknya.
Tak mau kalah dengan Bapaknya, keesokan harinya Santi membawa teman laki-lakinya melakukan hubungan seksual di rumahnya. Si Robi juga tak mau kalah, ia membawa teman perempuannya melakukan hubungan seksual. Si bungsu Leny tak mau ketinggalan, ia membawa teman sekolahnya melakukan hubungan seksual. Semua melakukan hubungan seksual. Semua menjadi totonan yang mengharubiru.
Yang jelas, hampir tiap ada kejadian penting, masyarakat setempat mendapat hiburan yang mengasyikkan. Orang kampung seperti selalu mendapat barang baru untuk dipergunjingkan. "Tidak perlu lagi nonton film Indonesia. Tidak perlu nonton BF." Seorang penduduk mengungkapkan rasa kepuasannya.
Ide Pak Sabar yang sensasional itu lama-kelamaan men­gundang para orang kaya lainnya berlomba-lomba mendirikan rumah kaca, sehingga tak berapa lama kemudian mode rumah kaca pun menjamur, di mana-mana, di sembarang tempat. Mereka pun berlomba-lomba melakukan aktivitas penting di dalam rumahnya masing-masing. Kejadian siapa menonton siapa akhirnya menjadi tidak jelas. Semua menjadi aktor, semua menjadi penonton.
Kejadian ini tentu saja membuat Pak Sabar tidak merasakan sesuatu yang sensasional lagi. Ia mulai menghadapi sesuatu yang tidak menantang. Masyarakat bahkan sudah tidak tertarik lagi untuk memperhatikan isi dan kegiatan di rumahnya. Suatu pagi, Pak Sabar berpikir ingin membongkar rumah kacanya, dan membangun jenis rumah yang lain. * * *