Sabtu, 14 April 2012

PEMILIHAN KADES


PEMILIHAN KADES

Dalam waktu dekat, desa kami akan mengadakan pemilihan Kepala Desa. Hal ini membawa ketegangan tersendiri bagi desa kami. Sejumlah orang kami lihat berprilaku tidak seperti biasan­ya. Ada yang memilih banyak di rumah. Katanya, mereka tidak mau terlibat dengan intrik-intrik yang tidak menguntungkan. "Hanya mendatangkan permusuhan," kata mereka. Ada yang tiba-tiba berubah senang mentraktir dan banyak omong. Kalau ada kumpul-kumpul di warung, dia akan mentraktir sambil membuka diskusi siapa yang paling layak menjadi lurah. Tentu dengan membuka kebaikan seseorang dan memburuk-burukan yang lain. Ada yang dulu akrab, akhir-akhir ini menjadi tidak akrab, bahkan cenderung bermusuhan. Sudah menjadi kelaziman bahwa mereka memiliki jago yang berbeda. 
Menurut isu-isu yang hingga hari ini semakin santer, ada tiga calon kuat yang akan bertarung memperebutkan kursi. Pertama, Ir. R. Tang, seseorang yang masyarakat mengakuinya sebagai sarjana pertanian, tapi yang pasti saat ini bekerja sebagai pedagang.  Kedua, Tung, katanya tidak lulus SMA, relatif pengangguran, walau sering juga terlihat berkerja pada sebuah bengkel sepeda motor, atau kadang-kadang sebagai makelar. Dan ketiga, Drs. Ting, sarjana olahraga yang memilih bekerja sebagai guru agama pada sebuah SMU. Dalam masyarakat kita, biasalah orang bekerja sama sekali tidak sesuai dengan apa yang pernah mereka pelajari di sekolah dulu.
Mereka semua sudah berkeluarga. Ir. R. Tang, sejauh ini diketahui hanya memiliki satu orang istri dengan tiga orang anak, dan terhitung sebagai pedagang yang sukses. Drs. Ting, walau cuma guru pada sebuah SMU swasta, tapi hidupnya berkecuku­pan, dengan dua orang anak. Tung, juga tidak dapat dikatakan orang yang tidak sukses. Mungkin karena orang tuanya terhitung keluarga berada untuk ukuran kampung kami. Apalagi istrinya bekerja sebagai guru pada sebuah sekolah dasar. Tung baru dua tahun berkeluarga dan belum punya anak.
Di atas kertas, mereka merupakan kandidat yang seimbang. Punya kelebihan dan katakanlah kekurangan masing-masing. Ir. R. Tang memang sudah mapan, tapi bukan asli penduduk kampung itu. Walaupun semua orang tahu bahwa dia telah ting­gal di kampung kami lebih dari lima belas tahun. Drs. Ting, penduduk asli, dikenal sebagai orang yang saleh, tapi agak kurang bergaul. Tung, secara ekonomi belum mapan, tidak begitu berpendidikan, tetapi sebagai pemuda asli, tentu dia banyak teman. Yang pasti, setiap orang punya jago sendiri-sen­diri.
"Kita bisa berharap banyak dari Pak Tang. Orangnya sudah kaya. Kalau ia jadi Kades, dia tak bakal korupsi. Untuk apa dia harus korupsi," ungkap seseorang. Hampir semua orang tahu, yang berkata tersebut, masih ada hubungan famili dengan Ir. Tang.
"Tidak ada jaminan sama sekali apakah orang yang sudah kaya itu masih ingin korupsi atau tidak. Lumayan Pak Ting. Dia orang yang saleh. Saya kira dia orang yang tahu apa itu dosa. Bayangkan kalau pemimpin kita tidak mengenal apa itu dosa. Maka jangan salahkan kalau suatu ketika kelak dia akan mengha­lalkan apa saja," ungkap yang lain tak kalah sengit sembari tertawa.
"Siapa tahu."
"Yang pakai kopiah tapi bajingan banyak Mas."
"Yang lebih penting dari itu, dia itu putra daerah. Pendu­duk asli." Si pendukung Ting monohok lawannya berdebat kusir.
"Putra daerah bagaimana?"
Panas juga kuping beberapa sahabat Tung. Sayang, dia tidak punya kartu yang cukup kuat untuk mengangkat citra Tung. Memang, sejauh ini tidak ada yang secara khusus membicarakan kelebihan Tung. Kalau ada cuma selentingan. Orang mengatakan bahwa Pak Tung itu pandai bermain bulu tangkis dan sepak bola. "Cemesannya seperti Liem Swie King." Begitu beberapa orang pernah berseloroh. Kemudian, entah mengapa, biasanya pembi­caraan beralih  pada persoalan sepak bola.
Namun, bukan itu nian yang menjadi fokus pembicaraan masyarakat berkaitan dengan pemilihan Kades. Yang lebih menarik adalah pembahasan janji-janji kampanye yang dita­warkan oleh ketiga kontestan Kades itu.
Belum lama berselang, misalnya, Drs. Ting menyebarkan semacam pamflet yang berisi rencana kerjanya jika kelak ia terpi­lih menjadi lurah. Ada tujuh janji yang ditawarkan oleh Drs. Ting. Pertama, penertiban dan pemudahan urusan administrasi masyarakat. Kedua, pemaksimalan dana pembangunan yang dimiliki desa. Ketiga, peningkatan keamanan dan kebersihan. Keempat meningkatkan ketakwaan dan suasana religius. Kelima, membangun masyarakat demokratis dan berkeadilan. Keenam, meningkatkan industri berbasis rumah tangga. Dan ketujuh, siap diturunkan jika program tersebut tidak dilaksanakan. Selebaran yang dibuat oleh Ir. R. Tang lebih gila-gilaan lagi. Ia menyebar beratus lembar kertas manila ukuran satu kali setengah meter warna-warni tentang program kerjanya. Kertas itu ditempel di dinding-dinding rumah penduduk, papan-papan pengumunan, bahkan pagar-pagar. Desa kami jadi warna warni. Kalau dilihat dari langit, pasti desa kami paling mencuri perha­tian. Paling tidak beberapa hal penting perlu diutarakan dari kampanyenya. Antara lain, Pertama, semua yang dijanjikan oleh calon Kades Drs. Ting. Kedua, pokoknya semua yang baik-baik, yang konstruktif, yang selama ini diidam-idamkan oleh masyara­kat, akan direalisasikan.
* * *
Di dalam sebuah rumah, Tung menjadi ragu-ragu sendiri, apakah ia perlu meneruskan niatnya sebagai calon Kades atau tidak. Sejauh ini ia tidak punya program yang menarik yang perlu ia tawarkan kepada masyarakat. Dulu ia mencalonkan diri lebih karena dorongan beberapa temannya, yang mereka tahu bahwa dalam banyak hal Tung memenuhi syarat menjadi Kades. Tung tidak tahu apakah dorongan itu serius atau sekedar ingin mempermainkan dia saja.
"Ikut saja Yu. Buat ramai-ramai. Toh kita tidak dirugikan. Kita tidak perlu mengeluarkan biaya. Kalau terpilih diterima dengan baik. Kalau tidak, tidak apa-apa. Tidak perlu merasa bersaing," Bapaknya menentramkan hati Tung, suatu sore beber­apa waktu yang lalu. Karena tidak ada target dan beban macam- macam, dia mendaftar sebagai salah seorang kandidat.
Tung manggut-manggut. Penjelasan Bapaknya, menyebab­kan keraguan yang selama ini menyesakkan dadanya perlahan kempes. Ia menjadi lebih rileks. Tung memutuskan, tidak perlu memikirkan secara serius pemilihan Kades yang secara langsung melibatkan dirinya sebagai calon. Ia bekerja sebagaimana biasa. Kalau longgar waktu, sore hari ia bermain bulu tangkis. Sempat pula ia memperkuat tim sepak bola kampung melawan desa tetangga. Walau kalah, ia sempat mecetak sebuah gol.
Kalau ada kumpul-kumpul, Tung orang yang paling setia menjadi salah satu perserta. Sebetulnya, ini kesempatan baik baginya untuk sekedar kampanye. Sayang, ia tidak memanfaat­kan kesempatan itu dengan baik. Ia tidak mau janji macam- macam karena memang tidak ada program di kepalanya yang hendak direalisasikannya. Otaknya seperti kosong. Malah ia memilih bermain remi atau sam gong. Bahkan tidak jarang, jika ada panggung dangdut di desa itu, ia ikut berjoget.
"Kalau badminton atau sepak bola, bolehlah. Tapi kalau main kartu dan ndangdutan, ya malu-maluin toh Mas!", suatu hari istri Tung menegurnya. Tung diam saja kalau ditegur istrin­ya. Sebetulnya, ada beberapa alasan mengapa ia melakukan itu, seperti biasa ia lakukan sejak muda dulu. Alasan itu belum diu­tarakan kepada istrinya. Ia khawatir, apa yang ia pikirkan, kelak tidak terbukti.
Seminggu sebelum pemilihan Kades, desa kami bertambah tegang. Dengar-dengar Ir. R. Tang memperkuat dirinya dengan dukungan paranormal. Apalagi ia telah menyebar uang puluhan juta untuk beberapa orang sebagai tim suksesnya. Drs. Ting semakin rajin ke masjid. Tidak jarang ia mengadakan rapat terba­tas di masjid dengan beberapa tim inti pendukungnya mengatur siasat-siasat baru, juga untuk mengantisipasi jika rumor bahwa Ir. R. Tang akan memanfaatkan segala cara untuk memenangkan pemilihan. Tung bahkan akan mengundurkan diri jika memang tidak ada harapan. Ia merasa belum saatnya ia bertarung dalam dunia politik.
* * *
Pemilihan Kades itu akhirnya terlaksana juga. Sudah dapat diduga, siapa yang memenangkan perebutan tampuk kekuasaan. Siapa lagi kalau bukan Tung. Ini persoalan politik yang tidak sulit. Politik sederhana dan gampang dibaca. Seorang mahasiswa yang ber-KKN di desa itu memberikan beberapa komentarnya setelah penghitungan suara. Pertama, katanya, masyarakat sudah bosan dengan janji-janji. Kalau toh tidak bosan dengan janji- janji, siapa yang mendengar dan membaca program yang dita­warkan oleh Bapak Ir. R. Tang atau Drs. Ting. Kedua, mereka cenderung memilih figur anak muda, artinya asal tidak orang tua. Masyarakat cenderung sudah tidak percaya lagi kepada generasi tua. Ini mungkin sebagai bias dan dampak reformasi. Ketiga, masyarakat memang ingin ngawur, nglulu, atau mungkin berseloroh. Di lain pihak mereka mulai menyadari bahwa apakah jabatan Kepada Desa itu sesuatu yang penting bagi hidup mereka atau tidak. Jika mereka menganggap tidak penting, inilah hasiln­ya.
Harap diketahui, komentar mahasiswa yang ber-KKN itu jelas tidak asli analisisnya. Itu analisis biasa seperti yang sering ia curi-curi dengar pada seminar-seminar yang kadang-kadang ia ikuti. Celakanya, apa yang dia katakan mungkin saja benar, beberapa penduduk yang mendengarkannya cukup puas terhadap analisis tersebut. "Wah, Mas KKN ini jeli sekali. Kami seperti tercerahkan." Ujar suara penduduk puas.
Walaupun ada sejumlah kecil orang yang kecewa, tetapi secara umum masyarakat menyambutnya dengan bersuka ria. Herannya, Tung justru tidak gembira, ia kecewa. "Ini edan." katanya pada temannya.
Dan orang yang paling heran adalah istri Tung sendiri.
"Lho, kok bisa?"
"Ini yang dulu pernah aku khawatirkan. Masyarakat kita sudah jenuh dengan segala program yang kenyataanya tidak pernah ada kenyataannya. Mereka tidak perlu dihibur dengan janji yang muluk-muluk. Mereka perlu hiburan yang sesung­guhnya. Mungkin mereka melihat, akulah orang yang bakal mampu mengakomodasi itu," papar Tung meyakinkan. Tam­paknya tiba-tiba ia lebih percaya diri ketika secara tidak sengaja ia terpilih menjadi Kepala Desa.
"Tapi, bagaimana ya...." Tung agak ragu dengan dirinya sendiri.
"Lokoni saja Mas. Mas harus membuktikan bahwa Mas memang pantas menjadi Kades. Karenanya, paling tidak Mas harus memiliki program kerja juga. Tidak mungkin masyarakat cuma diajak berolahraga dan ndangdutan. Itu konyol!"
"Itulah yang ingin aku diskusikan dengan kamu. Sebetulnya aku tidak tahu banyak urusan-urusan pemerintahan desa. Kau kan tahu aku sendiri cuma sampai sekolah berapa. Di bangku seko­lahku dulu, tidak ada pelajaran khusus untuk itu." Mata Tung menerawang. Istrinya tersenyum.
Malam menjelang larut. Tung berdiskusi panjang dengan istrinya. Istri Tung memutuskan menjadi notulen dan mencatat beberapa hal penting pada diskusi terbatas itu. Menjelang tidur, ia menyodorkan secarik kertas kepada suaminya.
"Bagaimana kalau program kerjanya seperti ini."
Sambil tiduran Tung membaca. Walaupun tidak persis betul, tetapi seingatnya, sebagian besar program kerja itu tidak terlalu jauh menyimpang seperti yang pernah dijanjikan oleh calon Kades lainnya. Kalau boleh dikatakan berbeda, cuma poin bahwa akan digalakkan pertandingan olah raga antar kampung, dan akan dihidupkannya kelompok-kelompok kesenian.
* * *
Hari pelantikan Kades pun tiba. Tung berjanji pada dirinya, pada pidato sambutannya, ia akan membacakan beberapa rencana kerja seperti ditulis istrinya dalam secarik kertas yang disimpan dengan baik pada kantong bajunya. Walau begitu, ia akan meli­hat situasi dan kondisi. Apakah hal tersebut mungkin atau tidak. Ada kecemasan dalam dirinya, jangan-jangan itu hanya akan menjadi beban bagi dirinya kelak. "Penertiban urusan adminis­trasi. Keuangan. Peningkatan suasana religius. Wah apa-apaan ini. Celaka!"
Saatnya tiba. Tung harus memberi sambutan. Dengan ragu- ragu ia berjalan ke podium. Semua mata tertuju kepadanya. Sebagian besar memberikan tepukan. Sebagian lain bersuit-suit.
"Tidak salah."
"Meyakinkan!"
"Ini baru Kades."
"Saudara-saudara sekalian." Hadirin menghentikan kegem­biraannya. "Terimakasih atas kepercayaan yang diberikan kepada saya. Mudah-mudahan saya dapat mengemban amanat yang diberikan kepada saya," Tung berhenti sejenak. Ia seperti mendapat inspirasi. "Kalau boleh, perkenankan saya tidak memberikan janji-janji apapun." Ia menoleh pada seseorang.
Dengan girang Tung melanjutkan. "Bagaimana jika hari pelantikan ini kita isi dengan Campur Sarinan saja. Bagaimana?"
Tepuk tangan sorak sorai bersahutan. Semua hadirin ber­diri. Lagu-lagu Campur Sarinan karya Manthous pun diputar lewat sebuah tape, pakai salon besar-besar, suaramua jadi besar. Berkumandanglah lagu yang cukup populer. Wes hewes hewes hewes dikandhani ora ngrewes, nglarakke ati, Wes hewes hewes ganti klambi langsung bablas tanpa basa basi. Semua orang berjoget. Tung yang paling bersemangat. * * *

                        1997-2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar