DILARANG
MEMUJI
Kalau dihitung-hitung, sudah lebih dari tiga puluh tahun
Tohar menjadi lurah di desa kami. Sejumlah waktu yang kami kira bisa membuat
orang bosan juga. Kalaupun tidak demikian, paling tidak kami berharap ia mulai
merasakan rasa bosan itu sendiri. Kami berharap paling tidak kenikmatan menjadi
penguasa lokal sudah tidak begitu dirasakannya lagi. Semuanya seolah hanya
rutinitas belaka. Kami juga berharap bahwa ia tidak lagi merasakan kekayaan
yang dimilikinya. Memang, Pak Tohar tidak kaya-kaya amat, tetapi untuk ukuran
desa kami jelas Pak Tohar salah satu yang perlu diperhitungkan. Menjadi
penguasa suatu daerah subur dan cukup luas, dan dalam rentang waktu yang
demikian lama, tentulah ada imbasnya. Tetapi kalau toh hal itu juga tidak, kami
berharap ia mulai merasa gelisah dan kurang bahagia.
Apalagi kami dengar-dengar pernah suatu ketika ia berkata
pada seorang pegawai kelurahan bahwa sebetulnya ia ingin istirahat. Ingin jadi
rakyat biasa. Ia merasa sudah sangat capek mengurus tetek mbengek urusan-urusan
masyarakat.
"Kenyataannya, tidak semua urusan
menyenangkan."
"Apa itu misalnya Pak?" Seorang pegawai
kelurahan bertanya untuk memperlihatkan bahwa semua pembicaraan Pak Lurah
adalah baru dan penting. Padahal ia sudah tahu belaka bahwa Pak Tohar kemudian
akan berkata bahwa pekerjaan atau masalah yang paling tidak disukainya adalah
menghadapi masalah perceraian dan hutang piutang. Juga
kepanitiaan-kepanitiaan.
"Masa hampir setiap bulan ada
kepanitiaan-kepanitiaan." "Itukan sebagai tanda bahwa masyarakat kita
itu aktif dan dinamis."
"Aktif dan dinamis bagaimana? Dari dulu cuma
gitu-gitu saja."
"Daripada tidak sama sekali Pak? Daripada berkelahi,
berjudi, mending ada kegiatan seperti itu."
"Tapi itu kegiatan sama sekali tidak produktif.
Pemborosan. Cuma seremoni."
"Daripada sama sekali tidak ada kegiatan Pak."
"Kamu itu waton ngeyel." Hening sejenak.
Pegawai kelurahan itu tersipu. Ia memang sering kehilangan kata-kata jika
berdebat dengan Pak Tohar yang dalam pandangannya itu orang tua yang sudah
sangat berpengalaman.
"Terserahlah. Yang penting, sudah waktunya gantian.
Suksesi. Regenerasi," demikian ia melanjutkan dengan gaya kebapaan.
* * *
Boleh dikata, Pak Tohar masih melakukan pekerjaan lurahnya
dengan tekun. Bahkan bertambah semangat. Barangkali, ia ingin mengakhiri
jabatannya yang tinggal beberapa bulan itu dengan baik.
"Saya berharap tidak terpilih lagi. Menjadi manusia
bebas. Menjadi manusia biasa-biasa saja. Saya membayangkan, alangkah
bahagianya masa-masa itu. Saya akan bermalas-malasan tanpa ada yang mengganggu.
Bermain-main bersama cucu." Katanya lagi pada suatu hari di teras
rumahnya.
"Bapak-bapak yang saya hormati," demikian ia
memulai sambutannya pada sebuah rapat bulanan. "Dalam kesempatan yang baik
ini, ada beberapa hal penting yang ingin saya kemukakan." Tohar memandang
secara sekilas satu per satu kepada peserta rapat. "Pertama, seperti bapak
ketahui, saya telah menjadi lurah di desa kita ini sudah cukup lama. Lama
sekali. Tapi seperti Bapak-bapak saksikan sendiri, saya semakin menyadari bahwa
kepemimpinan saya barangkali tidak berjalan sebagaimana mestinya. Katakanlah
tidak begitu sukses. Mungkin bapak-bapak tidak berani secara terus terang
mengatakan itu, tapi saya merasakannya. Yang pasti desa kita ini tidak
memperlihatkan kemajuan yang berarti. Untuk itu, dengan rasa bersalah dan
tidak enak hati, saya sungguh minta maaf." Tohar sejenak menarik napas.
"Saya berharap, untuk pemilihan lurah yang akan
datang, jauh hari sebelumnya bapak-bapak mempersiapkan calon pemimpin yang
baik, kreatif, loyal, jujur, dan pandai. Yang lebih muda dan enerjik. Dan yang
lebih penting dari itu orang yang saleh, yang religius. Jangan seperti
saya."
Para peserta rapat saling berpandangan. Mereka tahu persis apa yang dikatakan Pak
Lurah merupakan kenyataan. Bahwa perkataan Pak Lurah banyak benarnya daripada
tidak. Suasana menjadi berisik tak terkontrol. Seseorang, secara tidak resmi
ditunjuk untuk mengomentari sambutan Pak Lurah.
"Begini Pak Lurah yang kami hormati. Jelas perkataan
Pak Lurah sama sekali tidak benar. Itu lebih karena kerendahan hati Pak Lurah
saja berkata demikian. Kalau kami disuruh mencari alternatif lurah baru, jelas
tidak akan ada orang yang sebanding dengan bapak. Bagaimanapun, kami akan tetap
mempertahankan Bapak Tohar yang kami hormati, agar tetap menjadi lurah pada
masa-masa yang akan datang. Perkenankanlah permohonan kami ini."
Tohar gelisah. Dia telah hapal jenis perkataan seperti
itu. Kalau dulu mungkin dia nikmati, tapi sekarang tidak lebih sebagai
sindiran tajam menusuk hati. Rasa bosannya bertambah- tambah.
"Tapi saya tidak mengada-ada," Tohar memotong.
"Cobalah bapak-bapak sekalian mengingat-ingat. Berapa kali saya ingkar
janji. Pembangunan jembatan di selatan desa, hingga hari ini belum terlaksana.
Pembangunan masjid tidak selesai-selesai. Jalan-jalan tidak semakin baik.
Rencana membangun gedung SD hingga hari ini terbengkalai. Kegiatan kepemudaan
tidak jalan. Padahal kita sudah tahu sama tahu, kita telah menganggarkannya.
Uangnya telah ada. Belum lagi yang lain-lain. Dan saya harus berterus terang
saya tidak dapat mempertanggungjawabkan keuangannya."
Suasanya menjadi diam. Dengan suara bergetar Pak Lurah
menambahkan. "Perlu juga saya peringatkan bahwa mulai saat ini bapak-bapak
saya larang memuji atau merayu saya! Kalau boleh berterus terang, saya sudah
agak bosan dengan kata-kata pujian. Itu tidak memperbaiki apa-apa."
Para peserta rapat saling berpandangan dan manggut-
manggut. Ada yang kemudian berbisik-bisik. Ada yang menggeleng-gelengkan
kepalanya. Beberapa orang menjadi gusar karena merasa ditelanjangi.
"Kami berpendapat semua terserah Bapak saja.
Katakanlah kami ikhlas atas kejadian semua itu. Asal Bapak tetap berniat dan
bersedia menjadi lurah, kami sudah senang. Bapak tidak perlu merasa bersalah
sendiri. Semua beban tidak harus dipikul di pundak Bapak. Kita bisa
menanggungnya bersama-sama."
* * *
Sambil duduk-duduk, di teras depan rumah wajah Pak Lurah
terlihat gembira lebih dari biasanya. Istrinya yang paham dengan bawaan
suaminya terpancing untuk bertanya.
"Bagaimana rapatnya?", sambil meletakkan
segelas teh hangat dan lima iris pisang goreng.
"Baik. Lancar. Mereka setuju pendapat saya. Saya
akan mencoba berbuat lebih baik lagi. Mereka masih meminta saya menjadi
lurah."
Istri Pak Lurah tersenyum.
"Heru minta agar mobilnya diganti. Katanya sudah
tidak ngetrend. Nita bilang kalau nanti masuk perguruan tinggi minta dibelikan
rumah saja di dekat kampusnya. Jadi tidak perlu kos."
Sekilas wajah Pak Lurah menyeringai. Itu persoalan mudah
baginya. Hartanya bertumpuk. Telah bertahun-tahun ia mengorganisir keuangan
desa atas nama pribadinya ditambah jatah tanah bengkok dan sawah dengan
berhasil. Tapi itu pulalah yang membuat Tohar semakin sadar bahwa ternyata
selama dia menjadi lurah tidak lain yang diurusnya hanya diri dan keluarganya
belaka. Tetapi siapa yang berani mempertanyakan itu? Setiap pemilihan lurah
yang dialaminya selama beberapa kali, dia selalu menang dengan mutlak.
Masyarakat selalu dan masih mencintainya.
"Bu, saya ingin bertanya dengan jujur dan dijawab
dengan jujur. Apakah mereka yang selalu menjagokan saya itu tidak bermaksud
ngelulu sekaligus menjerumuskan saya?"
Ibu Lurah tampak kaget mendengar pertanyaan suaminya itu.
Pernah juga terbersit dalam hatinya untuk mempertanyakan hal yang sama beberapa
waktu lalu. Tapi segera ditepis. "Ya, tidak Pak. Masa mereka berani
berbuat demikian." Dengan tangkas istrinya menentramkan.
Tohar termenung lagi. Ia merasa orang-orang telah menyiksanya
dengan jabatan lurah yang terus menerus harus dijalaninya. Kebanggaan yang
pernah dirasakannya, sekarang mencapai titik nol. Mungkin minus. Tohar merasa
bodoh dan konyol sendiri. Muncul juga gugatan lain dalam dirinya, mengapa ia
bersedia hidup dalam perasaan tidak enak itu. Toh, sebetulnya ia punya
kekuasaan untuk membebaskan dirinya dari perasaan tersiksa.
Karena tidak sabar, pagi itu ia mengumpulkan pegawai
kelurahan.
"Dengan sengaja saya mengundang saudara-saudara sekalian
di pagi yang cerah dan indah ini. Ini berkaitan dengan suksesi yang akan
dilaksanakan di desa ini beberapa bulan mendatang. Dengan ini saya putuskan
bahwa saya tidak bersedia dicalonkan lagi." Dengan puas dan bangga Tohar
memandang hadirin.
"Sekali lagi, selama kepemimpinan saya, saya minta
maaf jika melakukan kesalahan. Saya juga akan mempertanggungjawabkan semua
ketidakberesan yang selama ini saya lakukan. Saudara-saudara sekalian saya
anjurkan untuk menuntut saya jika selama
kepemimpinan saya masyarakat dirugikan. Sekian."
Para karyawan kelurahan yang mendengarkan terpana dan
tegang. Pak Lurah tersenyum penuh kemenangan. Ia mencoba membayangkan kelak
menjadi orang biasa-biasa saja. Menjadi masyarakat awam. Terbayang di kepalanya
bahwa istrinya menjadi orang biasa. Tidak akan dipanggil Bu Lurah. Tidak perlu
repot-repot mengurus PKK. Anak-anaknya juga akan menjadi anak orang biasa-biasa
saja.
Pengumunan Pak Lurah yang mendadak tersebut segera
menjadi isu nasional desa. Rupanya, orang pertama yang paling bahagia mendengar
keputusan Tohar adalah istrinya sendiri.
"Syukurlah. Kenapa tidak dari dulu-dulu. Jangankan
orang lain, aku saja bosan." Komentar Ibu lurah kepada anak-anaknya.
Anak-anaknya juga tidak kalah gembiranya. Bagi mereka, kebahagiaan bapaknya,
adalah kebahagiaan mereka juga.
Sebagian warga desa merasa kehilangan. Walaupun mereka
sangat bosan melihat tingkah laku Tohar, tapi pada dasarnya Tohar itu orangnya
ramah. Mereka berpendapat, sebetulnya Tohar baru saja akan memulai menjadi
lurah yang baik. Demikian kesimpulan dalam sebuah rapat tersembunyi yang
dilakukan oleh beberapa pemuka desa.
"Kita akan memohon, dengan kebulatan tekat penuh,
bahwa kinilah saatnya kepemimpinan Tohar sangat kita harapkan."
"Betul. Beliau tobat juga akhirnya."
Rombongan para pemuka desa berkunjung ke rumah Tohar.
Semua maksud dikemukakan. Tohar diam seribu bahasa. Dia tidak memberikan
jawaban apa pun.
"Kami berjanji," kata salah seorang juru
bicara. "Bagaimanapun hanya Bapaklah orang yang paling tepat saat ini
memimpin kami."
Pembicaraan itu memang terbukti. Pada hari pemilihan
lurah, Tohar terpilih kembali secara mutlak. Hampir sembilan puluh tujuh persen
suara untuk Pak Tohar. Masyarakat menyambutnya dengan antusias. Sebagian besar
warga desa seperti masuk dalam suasana baru.
Pada malam menjelang hari pelantikan Tohar tersenyum
puas. "Salah kalian sendiri", katanya dalam hati. "Sudah aku
bilang bahwa aku tidak mau lagi jadi lurah. Karena kalian paksa, apa boleh
buat. Aku tidak bertanggung jawab terhadap segala perbuatanku pada masa-masa
mendatang."
Dengan perasaan tersiksa, Tohar mulai lagi menjadi lurah.
Dia merasa seperti robot mainan yang baterainya baru saja diperbarui. Tapi
tetaplah sebuah robot. Di halaman depan kantor kelurahan, beberapa orang
berkumpul. Sebagian dari mereka tergelak-gelak, seperti memberi kesan
kemenangan. Seseorang berkata, sembari mendekati telingat seseorang. "Biar
dia tahu rasa!" * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar