Sabtu, 14 April 2012

DILARANG MEMUJI


DILARANG MEMUJI

Kalau dihitung-hitung, sudah lebih dari tiga puluh tahun Tohar menjadi lurah di desa kami. Sejumlah waktu yang kami kira bisa membuat orang bosan juga. Kalaupun tidak demikian, paling tidak kami berharap ia mulai merasakan rasa bosan itu sendiri. Kami berharap paling tidak kenikmatan menjadi pengua­sa lokal sudah tidak begitu dirasakannya lagi. Semuanya seolah hanya rutinitas belaka. Kami juga berharap bahwa ia tidak lagi merasakan kekayaan yang dimilikinya. Memang, Pak Tohar tidak kaya-kaya amat, tetapi untuk ukuran desa kami jelas Pak Tohar salah satu yang perlu diperhitungkan. Menjadi penguasa suatu daerah subur dan cukup luas, dan dalam rentang waktu yang demikian lama, tentulah ada imbasnya. Tetapi kalau toh hal itu juga tidak, kami berharap ia mulai merasa gelisah dan kurang bahagia.
Apalagi kami dengar-dengar pernah suatu ketika ia berkata pada seorang pegawai kelurahan bahwa sebetulnya ia ingin istir­ahat. Ingin jadi rakyat biasa. Ia merasa sudah sangat capek mengurus tetek mbengek urusan-urusan masyarakat.
"Kenyataannya, tidak semua urusan menyenangkan."
"Apa itu misalnya Pak?" Seorang pegawai kelurahan ber­tanya untuk memperlihatkan bahwa semua pembicaraan Pak Lurah adalah baru dan penting. Padahal ia sudah tahu belaka bahwa Pak Tohar kemudian akan berkata bahwa pekerjaan atau masalah yang paling tidak disukainya adalah menghadapi masa­lah perceraian dan hutang piutang. Juga kepanitiaan-kepanitiaan.
"Masa hampir setiap bulan ada kepanitiaan-kepanitiaan." "Itukan sebagai tanda bahwa masyarakat kita itu aktif dan dinamis."
"Aktif dan dinamis bagaimana? Dari dulu cuma gitu-gitu saja."
"Daripada tidak sama sekali Pak? Daripada berkelahi, berjudi, mending ada kegiatan seperti itu."
"Tapi itu kegiatan sama sekali tidak produktif. Pemboro­san. Cuma seremoni."
"Daripada sama sekali tidak ada kegiatan Pak."
"Kamu itu waton ngeyel." Hening sejenak. Pegawai kelur­ahan itu tersipu. Ia memang sering kehilangan kata-kata jika berdebat dengan Pak Tohar yang dalam pandangannya itu orang tua yang sudah sangat berpengalaman.
"Terserahlah. Yang penting, sudah waktunya gantian. Suksesi. Regenerasi," demikian ia melanjutkan dengan gaya kebapaan.
* * *
Boleh dikata, Pak Tohar masih melakukan pekerjaan lur­ahnya dengan tekun. Bahkan bertambah semangat. Barangkali, ia ingin mengakhiri jabatannya yang tinggal beberapa bulan itu dengan baik.
"Saya berharap tidak terpilih lagi. Menjadi manusia bebas. Menjadi manusia biasa-biasa saja. Saya membayangkan, alang­kah bahagianya masa-masa itu. Saya akan bermalas-malasan tanpa ada yang mengganggu. Bermain-main bersama cucu." Katanya lagi pada suatu hari di teras rumahnya.
"Bapak-bapak yang saya hormati," demikian ia memulai sambutannya pada sebuah rapat bulanan. "Dalam kesempatan yang baik ini, ada beberapa hal penting yang ingin saya kemuka­kan." Tohar memandang secara sekilas satu per satu kepada peserta rapat. "Pertama, seperti bapak ketahui, saya telah menja­di lurah di desa kita ini sudah cukup lama. Lama sekali. Tapi seperti Bapak-bapak saksikan sendiri, saya semakin menyadari bahwa kepemimpinan saya barangkali tidak berjalan sebagaimana mestinya. Katakanlah tidak begitu sukses. Mungkin bapak-bapak tidak berani secara terus terang mengatakan itu, tapi saya mera­sakannya. Yang pasti desa kita ini tidak memperlihatkan kema­juan yang berarti. Untuk itu, dengan rasa bersalah dan tidak enak hati, saya sungguh minta maaf." Tohar sejenak menarik napas.
"Saya berharap, untuk pemilihan lurah yang akan datang, jauh hari sebelumnya bapak-bapak mempersiapkan calon pemim­pin yang baik, kreatif, loyal, jujur, dan pandai. Yang lebih muda dan enerjik. Dan yang lebih penting dari itu orang yang saleh, yang religius. Jangan seperti saya."
Para peserta rapat saling berpandangan.  Mereka tahu persis apa yang dikatakan Pak Lurah merupakan kenyataan. Bahwa perkataan Pak Lurah banyak benarnya daripada tidak. Suasana menjadi berisik tak terkontrol. Seseorang, secara tidak resmi ditunjuk untuk mengomentari sambutan Pak Lurah.
"Begini Pak Lurah yang kami hormati. Jelas perkataan Pak Lurah sama sekali tidak benar. Itu lebih karena kerendahan hati Pak Lurah saja berkata demikian. Kalau kami disuruh mencari alternatif lurah baru, jelas tidak akan ada orang yang sebanding dengan bapak. Bagaimanapun, kami akan tetap mempertahankan Bapak Tohar yang kami hormati, agar tetap menjadi lurah pada masa-masa yang akan datang. Perkenankanlah permohonan kami ini."
Tohar gelisah. Dia telah hapal jenis perkataan seperti itu. Kalau dulu mungkin dia nikmati, tapi sekarang tidak lebih seba­gai sindiran tajam menusuk hati. Rasa bosannya bertambah- tambah.
"Tapi saya tidak mengada-ada," Tohar memotong. "Coba­lah bapak-bapak sekalian mengingat-ingat. Berapa kali saya ingkar janji. Pembangunan jembatan di selatan desa, hingga hari ini belum terlaksana. Pembangunan masjid tidak selesai-selesai. Jalan-jalan tidak semakin baik. Rencana membangun gedung SD hingga hari ini terbengkalai. Kegiatan kepemudaan tidak jalan. Padahal kita sudah tahu sama tahu, kita telah mengang­garkannya. Uangnya telah ada. Belum lagi yang lain-lain. Dan saya harus berterus terang saya tidak dapat mempertanggungja­wabkan keuangannya."
Suasanya menjadi diam. Dengan suara bergetar Pak Lurah menambahkan. "Perlu juga saya peringatkan bahwa mulai saat ini bapak-bapak saya larang memuji atau merayu saya! Kalau boleh berterus terang, saya sudah agak bosan dengan kata-kata pujian. Itu tidak memperbaiki apa-apa."
Para peserta rapat saling berpandangan dan manggut- manggut. Ada yang kemudian berbisik-bisik. Ada yang mengge­leng-gelengkan kepalanya. Beberapa orang menjadi gusar karena merasa ditelanjangi.
"Kami berpendapat semua terserah Bapak saja. Katakanlah kami ikhlas atas kejadian semua itu. Asal Bapak tetap berniat dan bersedia menjadi lurah, kami sudah senang. Bapak tidak perlu merasa bersalah sendiri. Semua beban tidak harus dipikul di pundak Bapak. Kita bisa menanggungnya bersama-sama."
* * *
Sambil duduk-duduk, di teras depan rumah wajah Pak Lurah terlihat gembira lebih dari biasanya. Istrinya yang paham dengan bawaan suaminya terpancing untuk bertanya.
"Bagaimana rapatnya?", sambil meletakkan segelas teh hangat dan lima iris pisang goreng.
"Baik. Lancar. Mereka setuju pendapat saya. Saya akan mencoba berbuat lebih baik lagi. Mereka masih meminta saya menjadi lurah."
Istri Pak Lurah tersenyum.
"Heru minta agar mobilnya diganti. Katanya sudah tidak ngetrend. Nita bilang kalau nanti masuk perguruan tinggi minta dibelikan rumah saja di dekat kampusnya. Jadi tidak perlu kos."
Sekilas wajah Pak Lurah menyeringai. Itu persoalan mudah baginya. Hartanya bertumpuk. Telah bertahun-tahun ia mengor­ganisir keuangan desa atas nama pribadinya ditambah jatah tanah bengkok dan sawah dengan berhasil. Tapi itu pulalah yang membuat Tohar semakin sadar bahwa ternyata selama dia menja­di lurah tidak lain yang diurusnya hanya diri dan keluarganya belaka. Tetapi siapa yang berani mempertanyakan itu? Setiap pemilihan lurah yang dialaminya selama beberapa kali, dia selalu menang dengan mutlak. Masyarakat selalu dan masih mencin­tainya.
"Bu, saya ingin bertanya dengan jujur dan dijawab dengan jujur. Apakah mereka yang selalu menjagokan saya itu tidak bermaksud ngelulu sekaligus menjerumuskan saya?"
Ibu Lurah tampak kaget mendengar pertanyaan suaminya itu. Pernah juga terbersit dalam hatinya untuk mempertanyakan hal yang sama beberapa waktu lalu. Tapi segera ditepis. "Ya, tidak Pak. Masa mereka berani berbuat demikian." Dengan tangkas istrinya menentramkan.
Tohar termenung lagi. Ia merasa orang-orang telah men­yiksanya dengan jabatan lurah yang terus menerus harus dijala­ninya. Kebanggaan yang pernah dirasakannya, sekarang menca­pai titik nol. Mungkin minus. Tohar merasa bodoh dan konyol sendiri. Muncul juga gugatan lain dalam dirinya, mengapa ia bersedia hidup dalam perasaan tidak enak itu. Toh, sebetulnya ia punya kekuasaan untuk membebaskan dirinya dari perasaan tersiksa.
Karena tidak sabar, pagi itu ia mengumpulkan pegawai kelurahan.
"Dengan sengaja saya mengundang saudara-saudara seka­lian di pagi yang cerah dan indah ini. Ini berkaitan dengan sukse­si yang akan dilaksanakan di desa ini beberapa bulan mendatang. Dengan ini saya putuskan bahwa saya tidak bersedia dicalonkan lagi." Dengan puas dan bangga Tohar memandang hadirin.
"Sekali lagi, selama kepemimpinan saya, saya minta maaf jika melakukan kesalahan. Saya juga akan mempertanggungja­wabkan semua ketidakberesan yang selama ini saya lakukan. Saudara-saudara sekalian saya anjurkan untuk menuntut saya jika  selama kepemimpinan saya masyarakat dirugikan. Sekian."
Para karyawan kelurahan yang mendengarkan terpana dan tegang. Pak Lurah tersenyum penuh kemenangan. Ia mencoba membayangkan kelak menjadi orang biasa-biasa saja. Menjadi masyarakat awam. Terbayang di kepalanya bahwa istrinya menjadi orang biasa. Tidak akan dipanggil Bu Lurah. Tidak perlu repot-repot mengurus PKK. Anak-anaknya juga akan menjadi anak orang biasa-biasa saja.
Pengumunan Pak Lurah yang mendadak tersebut segera menjadi isu nasional desa. Rupanya, orang pertama yang paling bahagia mendengar keputusan Tohar adalah istrinya sendiri.
"Syukurlah. Kenapa tidak dari dulu-dulu. Jangankan orang lain, aku saja bosan." Komentar Ibu lurah kepada anak-anaknya. Anak-anaknya juga tidak kalah gembiranya. Bagi mereka, kebahagiaan bapaknya, adalah kebahagiaan mereka juga.
Sebagian warga desa merasa kehilangan. Walaupun mereka sangat bosan melihat tingkah laku Tohar, tapi pada dasarnya Tohar itu orangnya ramah. Mereka berpendapat, sebetulnya Tohar baru saja akan memulai menjadi lurah yang baik. Demi­kian kesimpulan dalam sebuah rapat tersembunyi yang dilakukan oleh beberapa pemuka desa.
"Kita akan memohon, dengan kebulatan tekat penuh, bahwa kinilah saatnya kepemimpinan Tohar sangat kita harap­kan."
"Betul. Beliau tobat juga akhirnya."
Rombongan para pemuka desa berkunjung ke rumah Tohar. Semua maksud dikemukakan. Tohar diam seribu bahasa. Dia tidak memberikan jawaban apa pun.
"Kami berjanji," kata salah seorang juru bicara. "Bagaima­napun hanya Bapaklah orang yang paling tepat saat ini memim­pin kami."
Pembicaraan itu memang terbukti. Pada hari pemilihan lurah, Tohar terpilih kembali secara mutlak. Hampir sembilan puluh tujuh persen suara untuk Pak Tohar. Masyarakat menyam­butnya dengan antusias. Sebagian besar warga desa seperti masuk dalam suasana baru.
Pada malam menjelang hari pelantikan Tohar tersenyum puas. "Salah kalian sendiri", katanya dalam hati. "Sudah aku bilang bahwa aku tidak mau lagi jadi lurah. Karena kalian paksa, apa boleh buat. Aku tidak bertanggung jawab terhadap segala perbuatanku pada masa-masa mendatang."
Dengan perasaan tersiksa, Tohar mulai lagi menjadi lurah. Dia merasa seperti robot mainan yang baterainya baru saja diperbarui. Tapi tetaplah sebuah robot. Di halaman depan kantor kelurahan, beberapa orang berkumpul. Sebagian dari mereka tergelak-gelak, seperti memberi kesan kemenangan. Seseorang berkata, sembari mendekati telingat seseorang. "Biar dia tahu rasa!" * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar