MUMPUNG IBU KAMSIAH
Sejumlah
tumpukan uang ratusan ribu bertebaran di meja, di atas tempat tidur, di rak-rak
lemari. Bahkan beberapa di antaranya berjatuhan di lantai. Sambil duduk di
kursi, Ibu Kamsiah mengamati tebaran uang itu satu persatu, dari tempat tidur,
ke lantai, ke meja, ke rak almari kembali ke tempat tidur. Kalau tidak salah perkiraan, pastilah sekitar tujuh ratus
lima puluh hingga delapan ratus juta. Paling tidak itu berdasarkan perhitungan
kasar Ibu Kamsiah dari catatan sekilas yang ada di tangannya.
Terangguk pelan, kening berkerenyit, mata Ibu Kamsiah
menerawang. Ia ingat bahwa tetangganya tiba-tiba pernah pinjam uang dan masih
berhutang padanya dua juta rupiah. Waktu itu tetangganya mendesak karena
anaknya harus masuk rumah sakit, operasi, dan uangnya kurang. Ibu Kamsiah
menulis angka dua juta pada lembar kertas yang ada di tangannya.
Kembali Ibu Kamsiah mengingat-ingat sesuatu, siapa lagi
yang berhutang padanya. "Oh, ya..., " katanya dalam hati. "Ibu
Anggoro pernah hutang lima ratus rimu rupiah." Menulis dicatatan.
"Siapa lagi? Kalau tidak salah Ibu Mun masih berhutang tiga ratus ribu
rupiah. Sebetulnya empat ratus, tapi yang seratus sudah dicicil. Ibu Martha.
Eh, tapi oh ya... sudah dipulangkan kemarin. Siapa lagi. Oh ya, jangan lupa Pak
Udin seminggu yang lalu pinjam enam puluh ribu rupiah. Jadi...?" Dengan
cekatan Ibu Kamsiah kembali menuliskan angka-angka di kertas yang ada di
tangannya.
* * *
Sudah enam belas tahun lebih Pak Udin bekerja pada Ibu
Kamsiah, sebagai supir. Pak Udin bekerja dari gaji tiga puluh ribu sebulan
hingga sekarang sekitar dua ratus lima puluh ribu rupiah. Anak Pak Udin lima,
yang tua bahkan sudah kuliah di Perguruan Tinggi. Dengan gaji sebesar itu, entah bagaimana cara keluarga
Pak Udin hingga kini tidak mati-mati kelaparan. Bahkan hingga kini dia
tenang-tanang saja. Tidak tahulah, apakah penampilannya yang tenang-tenang itu
juga setenang hatinya. Sebetulnya dia sering mengeluh, kalau sedang menunggu
Ibu Kamsiah. Kenapa dia hanya ditakdirkan jadi sopir, harus berkeluarga lagi.
Dia membayangkan mungkin lebih enak tidak hidup saja daripada setiap hari harus
berhitung-hitung agar keuangannya cukup.
Dua minggu lalu Pak Udin terpaksa pinjam uang kepada
induk semangnya. Mobil yang biasa ia bawa tersenggol sebuah tiang. Penutup
lampu belakang yang berwarna merah retak, dan ia terpaksa mengganti penutup
lampu. Untung harganya cuma enam puluh ribu rupiah. Kalau ada yang rusak atau
peyok, pasti lebih mahal. Baru kali itu, selama ia berkarier sebagai supir,
mobil bawaan tersenggol tiang. Waktu itu ia akan parkir mundur, di luar
perhitungan ada tiang. Sekilas sebelumnya ia
melihat tiang itu. Mungkin itu hari sialnya. Memerah muka Ibu Kamsiah.
"Terus bagaimana. Enggak biasanya. Kalau sudah tidak
awas lagi, mungkin tidak harus nyupir terus."
"Nanti saya ganti Ibu."
"Terserah. Saya tidak minta. Supaya kamu hati-hati saja. Apa-apa itu sekarang pakai
uang. Tidak ada yang gratis." Pak Udin
pergi ke bengkel kenalannya. Di situ ia berhutang dan mengatakan bahwa ia belum
dikasih uang sama bosnya karena bosnya sedang ke luar negeri. Temannya percaya.
Dia bilang dua minggu lagi bosnya akan datang. Dua minggu kemudian Pak Udin
pinjam uang kepada induk semangnnya, mengatakan anaknya sakit dan perlu
tambahan biaya. Dengan enggan Ibu Kamsiah meminjamkan uang yang diminta Pak
Udin.
"Kalau nanti tidak bisa mengembalikan, potong gaji
ya?"
* * *
Orang-orang mengenal Ibu Kamsiah sebagai wanita yang
kaya. Di rumahnya yang gedong, ada sembilan mobil nongkrong, dengan dua anak
dan satu suami. Dia juga dikenal sebagai wanita yang sibuk, wanita karier.
Kebetulan saat ini ia menjabat sebuah jabatan di pemerintah daerah. Tapi bukan
pekerjaannya sebagai pegawai negeri yang membuatnya sibuk. Semacam bisnislah.
"Bisnis kecil-kecilan," demikian Ibu Kamsiah
selalu berkata kepada teman-temannya. Ibu Kamsiah sering menangani kegiatan
entertainment. Dulu sih kecil-kecilan. Mulai dari menangani ketering. Sekarang,
dialah yang mendatangkan konser-konser seperti Padi, Dewa, Sheila On 7, dan
sebagainya. Pernah juga jadi promotor tinju. Belum lama berselang ia mendapat
proyek besar. Ia dengan sukses mendatangkan kelompok Boy Zone, Spice Girls,
bahkan penyanyi setengah waras dari Australia Kylie Minogue. Sponsor-sponsor
berhamburan. Acara belum jalan, dia telah memperhitungkan bahwa uang yang akan
masuk ke kantongnya paling tidak tiga ratus juta. Tidak tahulah mungkin lebih.
Tergantung situasi dan kondisi. Ibu Kamsiah telah terlatih bagaimana merubah
angka-angka. Semuanya serba meyakinkan, tidak pernah ada yang bisa
mempersoalkannya. Dia memang orang sibuk, dimanfaatkan banyak orang, berguna
bagi masyarakat.
Sesibuk-sibuknya Ibu kamsiah, ada satu pekerjaan yang
tidak pernah dilupakannya. Setiap pagi, ia akan mencoba berjalan-jalan di
halaman rumah, dan selalu mengulang-ulang menghitung jumlah mobilnya. Mobil yang berwarna ungu akan selalu ditempatkan sebagai
hitungan pertama. Setelah itu mobil yang berwarna biru, kemudian merah. Urutan
ungu, biru dan merah itu hampir tetap. Setelah itu, ia akan memulai hitungan
keempat. Nah untuk hitungan keempat itu bisa dari hitam, atau coklat, atau
kuning. Berganti-ganti. Tidak jarang hitungan keempat jatuh ke mobil berwarna
kuning, atau hijau tua. Tapi mobil yang berwarna putih dan hijau muda, entah
kenapa selalu menempatkan hitungan ke delapan dan kesembilan.
Ibu Kamsiah berpikir dua mobil ke delapan dan kesembilan
itu akan dijualnya saja. "Merusak pemandangan," katanya suatu hari
pada anaknya yang tua. Anaknya mempertahankan. Ia bilang masih suka dengan
mobil itu.
Tidak hanya itu. Ibu Kamsiah juga punya kegiatan lain
yang tidak kalah mendatangkan uang. Ia
juga dikenal sebagai pakar mengenai masalah-masalah otonomi daerah. Ini lebih
sebagai peristiwa kebetulan. Orang mengaitkan prinsip otonomi sebagai
kemandirian, dan Ibu Kamsiah adalah contoh wanita sukses mandiri. Orang
berharap prinsip mandirinya Ibu Kamsiah bisa ditularkan kepada kabupaten atau
kodya. Karena itu pula dia sering diundang seminar mengenai masalah itu, atau
bahkan merancang, meneliti proyek kabupaten dalam mengantisipasi otonomi.
Demikianlah.
* * *
Di rumah semua kegiatan di bawah
kontrolnya. Suatu hari di ruang makan ia pernah menegur anaknya yang bungsu
karena makan ayam goreng tidak habis.
"Dihabiskan. Mubazir."
"Tidak begitu enak."
"Ayam goreng kok tidak enak."
"Kurang kering. Aku kan senang yang kering."
"Ya, tapi kamu harus ingat. Berapa harganya. Apa-apa yang kita makan itu ya dibeli
to. Pakai uang. Ya sudah, untuk Ayuk saja."
Dengan bersungut anaknya ke belakang.
"Waktu ibu seusia kamu, boleh dikata hampir tidak
pernah itu makan ayam goreng. Sekarang
tinggal makan, apa-apa ada. Eeh, malah enggak mau. Enggak enak." Ibu
Kamsiah mengakhiri pidato rutinnya kepada anaknya. Hal itu memang sering ia
lakukan kepada anaknya, terutama kepada anaknya yang putri.
Selesai makan, kembali Ibu Kamsiah sibuk. Hp-nya berbunyi, suara musik klasik. Ia bingung, hp yang
mana yang bersuara burung. Ia memang sudah membeda-bedakan jenis suara hp-nya.
Ada yang berirama musik klasik, ada yang dangdut, ada yang suara burung, ada
suara seruling, ada terompet. Ia memberikan nomor hp-nya tergantung siapa yang
diberi. Suara musik dangdut khusus untuk keluarga. Klasik rekanan bisnis,
terompet orang-oang kantornya, suara burung yang masih selalu dirahasiakannya.
Cuma, dia tidak ingat secara persis mana hp yang bersuara musik klasik,
dangdut, burung, seruling, atau terompet. Dia tidak mau tahu bahwa pembedaan
itu sebetulnya cuma soal sederhana. Yang dia merasa penting adalah punya hp
beberapa. Maklum orang sibuk. Tergopoh-gopoh ia mengeluarkan dari tasnya satu
per satu. "Siapa pagi-pagi gini sudah ngajak ngomong bisnis."
"Halo... halo... halo. Eee... Pak Hafid. Ya, selamat pagi Pak. Bagaimana Pak?
Oh, pesanan kemarin itu. Betul Pak. Saya sih suka sekali barang itu. Tapi itu
lho Pak harganya. Habis Pak Hafid tidak mau turun lagi sih harganya. padahal
kita kan beli partai besar. Apa... Bagaimana Pak Hafid. Ya.. bukan begitu Pak
Hafid. Ya... saya tahu, tapi kita kan sudah berlangganan lama. Turun lagi lha
lima persen saja. Nanti kita ambil barangnya. Bagaimana Pak Hafid, dua persen. Ah, Pak Hafid ini bagaimana.
Ya sudah empat persen". Sambil menawar Ibu Kamsiah melirik foto-fotonya di
dinding. Fotonya bersama seorang wakil presiden, menteri , dan gubernur.
"Dipikir-pikir dulu lah. Berapa, tiga persen. Aduh
bagaimana sih Pak Hafid ini. Dua persen itu yang uang lho pak Hafid. Bagaimana
kalau tidak setengah persen." Terlihat Ibu Kamsiah menunggu. Mungkin Pak
Hafid berpikir atau sedang menghitung angka-angka.
"Bagaimana Pak Hafid. Nah, begitu dong. Sama langganan itu tidak usah pelit-pelit. Nanti Pak
Hafid kehilangan pelenggan setiannya lho."
* * *
Seperti biasa, setiap pagi Ibu Kamsiah kembali menghitung
mobilnya. Mulai dari yang warna ungu, kemudian biru, merah. Selesai menghitung,
ia berjalan ke luar pagar. Berdiri di luar pagar, memandangi rumah, sambil di
kepalanya mengingat rumah-rumahnya yang ada di jalan Kaliurang. "Ah, rumah
itu bulan ini kontraknya sudah habis". Kemudian, di bagian timur
Malioboro. "Rumah yang ini
habisnya bulan Juni, jadi masih tiga bulan lagi." Kemudian yang di
Adisucipto, di Karang Malang, di salah satu kampung di Bantul, di Terban. Ibu
Kamsiah tidak ingat persis kapan rumah-rumah itu habis masa kontraknya. Ia
berjanji dalam dirinya akan segera melihat buku catatan rumahnya. Seperti baru
sadar, Ibu Kamsiah heran, kenapa jumlah rumahnya cuma tujuh. Padahal, seingat
dia jumlah rumahnya delapan. Bergegas ia ingin masuk rumah. Di pintu pagar,
selintas diliriknya tulisan tulisan: Tidak Memberi Sumbangan Apapun. Mungkin
lengkapnya Tidak Memberi Sumbangan Apapun Kecuali Seizin RT/RW. Karena bagian
belakang tidak terbaca, ada yang mencoret-coret.
* * *
Mungkin karena lelah dan terlalu sibuk, suatu hari Ibu
Kamsiah jatuh sakit. Tidak sakit-sakit amat, Ia merasa tulang- tulang
persendiannya agak ngilu-ngilu dan pinggangnya terasa sangat pegal. Sebetulnya
ini bukan suatu hal yang terlalu mengejutkan menilik usianya yang sudah di
atas lima puluh, sekitar lima puluh delapanlah. Jadi, tidak perlu
dibayangkanlah bahwa ia akan segera mati. Bukan, bukan itu.
"Ibu hanya perlu istirahat total. Paling tidak lima
hari," kata dokter sambil menulis resep. Ibu Kamsiah diam saja, walaupun
ia diam-diam memutuskan bahwa ia tidak harus perlu memenuhi nasihat dokter
sepenuhnya. Ya, kalau sekedar istirahat satu dua hari okelah. Tapi bila lebih
dari lima hari, bisnisnya bisa kacau.
Segera ia menyuruh Pak Udin ke apotek. Tak lama kemudian
Pak Udin datang kembali dengan memberi tahu bahwa uang lima puluh ribu yang
dititipkan kepadanya kurang.
"Apa? Kurang?" Ibu Kamsiah berteriak.
"Tidak mungkin. Apa obat sekarang demikian mahal.
Kenapa tidak kamu tutupi dulu."
"Saya punya rencana itu Bu, tapi itu pun masih
kurang."
"Masih kurang? Berapa sih semuanya?
"Seratus empat puluh ribu Bu."
"Seratus empat puluh ribu. Mahal amat! Kan bisa
ambil separuh dulu."
"Saya tidak berani mengambil keputusan itu Bu."
"Kok jadi orang bodoh sekali."
Pak Udin nyengir. Masih uring-uringan, Ibu Kamsiah
mengeluarkan uang dua puluh ribu dari dompetnya. Segera Pak Udin kembali ke
apotek. Dengan menahan ngilu, Ibu Kamsiah memasuki kamar kerjanya. Perasaan
herannya belum hilang, mengapa harga obat demikian mahal. Kalau begitu aku
tidak boleh sakit, tidak perlu merasa sakit. Segera ia membuka catatan
keuangannya. Ibu Kamsiah menelepon, menagih hutang kepada seseorang. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar