Sabtu, 14 April 2012

MUMPUNG IBU KAMSIAH


MUMPUNG IBU KAMSIAH

Sejumlah tumpukan uang ratusan ribu bertebaran di meja, di atas tempat tidur, di rak-rak lemari. Bahkan beberapa di antaranya berjatuhan di lantai. Sambil duduk di kursi, Ibu Kam­siah mengamati tebaran uang itu satu persatu, dari tempat tidur, ke lantai, ke meja, ke rak almari kembali ke tempat tidur. Kalau tidak salah perkiraan, pastilah sekitar tujuh ratus lima puluh hingga delapan ratus juta. Paling tidak itu berdasarkan perhitun­gan kasar Ibu Kamsiah dari catatan sekilas yang ada di tan­gannya.
Terangguk pelan, kening berkerenyit, mata Ibu Kamsiah menerawang. Ia ingat bahwa tetangganya tiba-tiba pernah pinjam uang dan masih berhutang padanya dua juta rupiah. Waktu itu tetangganya mendesak karena anaknya harus masuk rumah sakit, operasi, dan uangnya kurang. Ibu Kamsiah menulis angka dua juta pada lembar kertas yang ada di tangannya.
Kembali Ibu Kamsiah mengingat-ingat sesuatu, siapa lagi yang berhutang padanya. "Oh, ya..., " katanya dalam hati. "Ibu Anggoro pernah hutang lima ratus rimu rupiah." Menulis dicata­tan. "Siapa lagi? Kalau tidak salah Ibu Mun masih berhutang tiga ratus ribu rupiah. Sebetulnya empat ratus, tapi yang seratus sudah dicicil. Ibu Martha. Eh, tapi oh ya... sudah dipulangkan kemarin. Siapa lagi. Oh ya, jangan lupa Pak Udin seminggu yang lalu pinjam enam puluh ribu rupiah. Jadi...?" Dengan cekatan Ibu Kamsiah kembali menuliskan angka-angka di kertas yang ada di tangannya.
* * *
Sudah enam belas tahun lebih Pak Udin bekerja pada Ibu Kamsiah, sebagai supir. Pak Udin bekerja dari gaji tiga puluh ribu sebulan hingga sekarang sekitar dua ratus lima puluh ribu rupiah. Anak Pak Udin lima, yang tua bahkan sudah kuliah di Perguruan Tinggi. Dengan gaji sebesar itu, entah bagaimana cara keluarga Pak Udin hingga kini tidak mati-mati kelaparan. Bahkan hingga kini dia tenang-tanang saja. Tidak tahulah, apakah penampilannya yang tenang-tenang itu juga setenang hatinya. Sebetulnya dia sering mengeluh, kalau sedang menunggu Ibu Kamsiah. Kenapa dia hanya ditakdirkan jadi sopir, harus berke­luarga lagi. Dia membayangkan mungkin lebih enak tidak hidup saja daripada setiap hari harus berhitung-hitung agar keuan­gannya cukup.
Dua minggu lalu Pak Udin terpaksa pinjam uang kepada induk semangnya. Mobil yang biasa ia bawa tersenggol sebuah tiang. Penutup lampu belakang yang berwarna merah retak, dan ia terpaksa mengganti penutup lampu. Untung harganya cuma enam puluh ribu rupiah. Kalau ada yang rusak atau peyok, pasti lebih mahal. Baru kali itu, selama ia berkarier sebagai supir, mobil bawaan tersenggol tiang. Waktu itu ia akan parkir mu­ndur, di luar perhitungan ada tiang. Sekilas sebelumnya ia melihat tiang itu. Mungkin itu hari sialnya. Memerah muka Ibu Kamsiah.
"Terus bagaimana. Enggak biasanya. Kalau sudah tidak awas lagi, mungkin tidak harus nyupir terus."
"Nanti saya ganti Ibu."
"Terserah. Saya tidak minta. Supaya kamu hati-hati saja. Apa-apa itu sekarang pakai uang. Tidak ada yang gratis." Pak Udin pergi ke bengkel kenalannya. Di situ ia berhutang dan mengatakan bahwa ia belum dikasih uang sama bosnya karena bosnya sedang ke luar negeri. Temannya percaya. Dia bilang dua minggu lagi bosnya akan datang. Dua minggu kemu­dian Pak Udin pinjam uang kepada induk semangnnya, mengata­kan anaknya sakit dan perlu tambahan biaya. Dengan enggan Ibu Kamsiah meminjamkan uang yang diminta Pak Udin.
"Kalau nanti tidak bisa mengembalikan, potong gaji ya?"
* * *
Orang-orang mengenal Ibu Kamsiah sebagai wanita yang kaya. Di rumahnya yang gedong, ada sembilan mobil non­gkrong, dengan dua anak dan satu suami. Dia juga dikenal sebagai wanita yang sibuk, wanita karier. Kebetulan saat ini ia menjabat sebuah jabatan di pemerintah daerah. Tapi bukan pekerjaannya sebagai pegawai negeri yang membuatnya sibuk. Semacam bisnislah.
"Bisnis kecil-kecilan," demikian Ibu Kamsiah selalu berka­ta kepada teman-temannya. Ibu Kamsiah sering menangani kegia­tan entertainment. Dulu sih kecil-kecilan. Mulai dari menangani ketering. Sekarang, dialah yang mendatangkan konser-konser seperti Padi, Dewa, Sheila On 7, dan sebagainya. Pernah juga jadi promotor tinju. Belum lama berselang ia mendapat proyek besar. Ia dengan sukses mendatangkan kelompok Boy Zone, Spice Girls, bahkan penyanyi setengah waras dari Australia Kylie Minogue. Sponsor-sponsor berhamburan. Acara belum jalan, dia telah memperhitungkan bahwa uang yang akan masuk ke kan­tongnya paling tidak tiga ratus juta. Tidak tahulah mungkin lebih. Tergantung situasi dan kondisi. Ibu Kamsiah telah terlatih bagaimana merubah angka-angka. Semuanya serba meyakinkan, tidak pernah ada yang bisa mempersoalkannya. Dia memang orang sibuk, dimanfaatkan banyak orang, berguna bagi masyara­kat.
Sesibuk-sibuknya Ibu kamsiah, ada satu pekerjaan yang tidak pernah dilupakannya. Setiap pagi, ia akan mencoba berja­lan-jalan di halaman rumah, dan selalu mengulang-ulang menghi­tung jumlah mobilnya. Mobil yang berwarna ungu akan selalu ditempatkan sebagai hitungan pertama. Setelah itu mobil yang berwarna biru, kemudian merah. Urutan ungu, biru dan merah itu hampir tetap. Setelah itu, ia akan memulai hitungan keempat. Nah untuk hitungan keempat itu bisa dari hitam, atau coklat, atau kuning. Berganti-ganti. Tidak jarang hitungan keempat jatuh ke mobil berwarna kuning, atau hijau tua. Tapi mobil yang berwar­na putih dan hijau muda, entah kenapa selalu menempatkan hitungan ke delapan dan kesembilan.
Ibu Kamsiah berpikir dua mobil ke delapan dan kesembilan itu akan dijualnya saja. "Merusak pemandangan," katanya suatu hari pada anaknya yang tua. Anaknya mempertahankan. Ia bilang masih suka dengan mobil itu. 
Tidak hanya itu. Ibu Kamsiah juga punya kegiatan lain yang tidak kalah mendatangkan uang. Ia juga dikenal sebagai pakar mengenai masalah-masalah otonomi daerah. Ini lebih sebagai peristiwa kebetulan. Orang mengaitkan prinsip otonomi sebagai kemandirian, dan Ibu Kamsiah adalah contoh wanita sukses mandiri. Orang berharap prinsip mandirinya Ibu Kamsiah bisa ditularkan kepada kabupaten atau kodya. Karena itu pula dia sering diundang seminar mengenai masalah itu, atau bahkan merancang, meneliti proyek kabupaten dalam mengantisipasi otonomi. Demikianlah.
* * *
Di rumah semua kegiatan di bawah kontrolnya. Suatu hari di ruang makan ia pernah menegur anaknya yang bungsu karena makan ayam goreng tidak habis.
"Dihabiskan. Mubazir."
"Tidak begitu enak."
"Ayam goreng kok tidak enak."
"Kurang kering. Aku kan senang yang kering."
"Ya, tapi kamu harus ingat. Berapa harganya. Apa-apa yang kita makan itu ya dibeli to. Pakai uang. Ya sudah, untuk Ayuk saja."
Dengan bersungut anaknya ke belakang.
"Waktu ibu seusia kamu, boleh dikata hampir tidak pernah itu makan ayam goreng. Sekarang tinggal makan, apa-apa ada. Eeh, malah enggak mau. Enggak enak." Ibu Kamsiah mengak­hiri pidato rutinnya kepada anaknya. Hal itu memang sering ia lakukan kepada anaknya, terutama kepada anaknya yang putri.
Selesai makan, kembali Ibu Kamsiah sibuk. Hp-nya ber­bunyi, suara musik klasik. Ia bingung, hp yang mana yang bersuara burung. Ia memang sudah membeda-bedakan jenis suara hp-nya. Ada yang berirama musik klasik, ada yang dan­gdut, ada yang suara burung, ada suara seruling, ada terompet. Ia memberikan nomor hp-nya tergantung siapa yang diberi. Suara musik dangdut khusus untuk keluarga. Klasik rekanan bisnis, terompet orang-oang kantornya, suara burung yang masih selalu dirahasiakannya. Cuma, dia tidak ingat secara persis mana hp yang bersuara musik klasik, dangdut, burung, seruling, atau terompet. Dia tidak mau tahu bahwa pembedaan itu sebetulnya cuma soal sederhana. Yang dia merasa penting adalah punya hp beberapa. Maklum orang sibuk. Tergopoh-gopoh ia menge­luarkan dari tasnya satu per satu. "Siapa pagi-pagi gini sudah ngajak ngomong bisnis."
"Halo... halo... halo. Eee... Pak Hafid. Ya, selamat pagi Pak. Bagaimana Pak? Oh, pesanan kemarin itu. Betul Pak. Saya sih suka sekali barang itu. Tapi itu lho Pak harganya. Habis Pak Hafid tidak mau turun lagi sih harganya. padahal kita kan beli partai besar. Apa... Bagaimana Pak Hafid. Ya.. bukan begitu Pak Hafid. Ya... saya tahu, tapi kita kan sudah berlangganan lama. Turun lagi lha lima persen saja. Nanti kita ambil barangn­ya. Bagaimana Pak Hafid, dua persen. Ah, Pak Hafid ini bagai­mana. Ya sudah empat persen". Sambil menawar Ibu Kamsiah melirik foto-fotonya di dinding. Fotonya bersama seorang wakil presiden, menteri , dan gubernur.
"Dipikir-pikir dulu lah. Berapa, tiga persen. Aduh bagai­mana sih Pak Hafid ini. Dua persen itu yang uang lho pak Hafid. Bagaimana kalau tidak setengah persen." Terlihat Ibu Kamsiah menunggu. Mungkin Pak Hafid berpikir atau sedang menghitung angka-angka.
"Bagaimana Pak Hafid. Nah, begitu dong. Sama langganan itu tidak usah pelit-pelit. Nanti Pak Hafid kehilangan pelenggan setiannya lho."
* * *
Seperti biasa, setiap pagi Ibu Kamsiah kembali menghitung mobilnya. Mulai dari yang warna ungu, kemudian biru, merah. Selesai menghitung, ia berjalan ke luar pagar. Berdiri di luar pagar, memandangi rumah, sambil di kepalanya mengingat rumah-rumahnya yang ada di jalan Kaliurang. "Ah, rumah itu bulan ini kontraknya sudah habis". Kemudian, di bagian timur Malioboro. "Rumah yang ini habisnya bulan Juni, jadi masih tiga bulan lagi." Kemudian yang di Adisucipto, di Karang Malang, di salah satu kampung di Bantul, di Terban. Ibu Kamsiah tidak ingat persis kapan rumah-rumah itu habis masa kontraknya. Ia berjanji dalam dirinya akan segera melihat buku catatan rumahn­ya. Seperti baru sadar, Ibu Kamsiah heran, kenapa jumlah rumahnya cuma tujuh. Padahal, seingat dia jumlah rumahnya delapan. Bergegas ia ingin masuk rumah. Di pintu pagar, selintas diliriknya tulisan tulisan: Tidak Memberi Sumbangan Apapun. Mungkin lengkapnya Tidak Memberi Sumbangan Apapun Kecua­li Seizin RT/RW. Karena bagian belakang tidak terbaca, ada yang mencoret-coret.
* * *
Mungkin karena lelah dan terlalu sibuk, suatu hari Ibu Kamsiah jatuh sakit. Tidak sakit-sakit amat, Ia merasa tulang- tulang persendiannya agak ngilu-ngilu dan pinggangnya terasa sangat pegal. Sebetulnya ini bukan suatu hal yang terlalu menge­jutkan menilik usianya yang sudah di atas lima puluh, sekitar lima puluh delapanlah. Jadi, tidak perlu dibayangkanlah bahwa ia akan segera mati. Bukan, bukan itu.
"Ibu hanya perlu istirahat total. Paling tidak lima hari," kata dokter sambil menulis resep. Ibu Kamsiah diam saja, walaupun ia diam-diam memutuskan bahwa ia tidak harus perlu memenuhi nasihat dokter sepenuhnya. Ya, kalau sekedar istirahat satu dua hari okelah. Tapi bila lebih dari lima hari, bisnisnya bisa kacau.
Segera ia menyuruh Pak Udin ke apotek. Tak lama kemu­dian Pak Udin datang kembali dengan memberi tahu bahwa uang lima puluh ribu yang dititipkan kepadanya kurang.
"Apa? Kurang?" Ibu Kamsiah berteriak.
"Tidak mungkin. Apa obat sekarang demikian mahal. Kenapa tidak kamu tutupi dulu."
"Saya punya rencana itu Bu, tapi itu pun masih kurang."
"Masih kurang? Berapa sih semuanya?
"Seratus empat puluh ribu Bu."
"Seratus empat puluh ribu. Mahal amat! Kan bisa ambil separuh dulu."
"Saya tidak berani mengambil keputusan itu Bu."
"Kok jadi orang bodoh sekali."
Pak Udin nyengir. Masih uring-uringan, Ibu Kamsiah mengeluarkan uang dua puluh ribu dari dompetnya. Segera Pak Udin kembali ke apotek. Dengan menahan ngilu, Ibu Kamsiah memasuki kamar kerjanya. Perasaan herannya belum hilang, mengapa harga obat demikian mahal. Kalau begitu aku tidak boleh sakit, tidak perlu merasa sakit. Segera ia membuka catatan keuangannya. Ibu Kamsiah menelepon, menagih hutang kepada seseorang. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar