Sabtu, 14 April 2012

KOTA KENANGAN


KOTA KENANGAN

Kota itu kini tidak lebih puing-puing runtuhan berserakan. Bahkan beberapa rumah dan bangunan masih berbau bakaran kayu, sebagian menyisakan arang dan abu. Bangkai-bangkai mobil dibiarkan tergeletak di pinggir-pinggir jalan. Ada tumpukan bangkai elektronik yang terbuang tak terurus. Di tempat lain beberapa potong gombal menyampah tak terurus. Tak jauh dari bangkai elektronik, sepotong kaki manekin yang tampaknya tidak sempat terbakar. Manekin itu bersepatu. Sepatu wanita.
Yang tidak habis membuat Lazuardi heran, peristiwa itu telah terjadi beberapa waktu yang lalu. Waktu itu, ia sedang berada di Amerika menyelesaikan program Ph.D bidang Fisika yang telah dijalaninya tiga tahun. Lazuardi memang mendengar dan membaca berita berkaitan dengan kejadian yang menimpa negerinya, khususnya kotanya. Tapi ia tidak pernah membayangkan jika kejadian tersebut lebih parah daripada yang ia dengar dan lihat di tivi.
"Pulanglah?", seorang temannya pernah menelepon.
Tapi yang membuat Lazuardi pulang sebetulnya bukan ajakan temannya. Yang membuatnya pulang karena tidak ada kabar berita dari Angela semenjak peristiwa ramai-ramai yang menimpa kotanya. Sudah setahun terakhir ini sama sekali tidak ada kabar dari Angela. Padahal, dulu-dulu, paling tidak sekali atau dua kali seminggu Angela telepon. Atau sebaliknya, justru Lazuardi yang telepon. Tetapi belakangan, telepon yang biasa menghubungkan dia dengan Angela, ke rumah Angela, terputus, dengan informasi, ada kerusakan.
Lazuardi sempat menelepon beberapa kenalannya, yang juga mengenal Angela, tetapi tidak seorangpun yang tahu di mana Angela. "Dulu aku pernah bertemu dengannya, di sebuah bank, tapi dulu. Aku lupa persisnya. Ia sempat bercerita padaku bahwa Angela berencana ingin menyusulmu. Situasi semakin tidak aman, katanya." Seorang teman Lazuardi berbasa-basi memberi informasi. "Kami memang pernah sama- sama mengurus paspor, tapi setelah itu kami tidak pernah ketemu lagi." Yah, setelah itu Angela raib seperti asap membumbung ke langit. Hal ini membuat Lazuardi penasaran. Tidak percaya orang bisa hilang begitu saja. Tanpa secuil berita pun. Karena butuh kepastian, Lazuardi memutuskan pulang.
* * *
Sesampai di tanah air, Lazuardi tidak langsung ke tempat Angela. Ia perlu bertemu dengan keluarganya dulu, untuk kangen-kangenan, sekaligus menanyakan segala kemungkinan yang terjadi beberapa waktu belakangan ini. Lazuardi juga sempat melihat-lihat koran-koran lama yang disimpan Bapaknya dengan rapi. Cuma Lazuardi tidak berani menanyakan perihal Angela. Tidak seorang pun dari keluarganya yang menyetu jui hubungan Lazuardi dengan Angela. Alasannya, bukan saja beda agama, orang tuanya mendambakan Lazuardi beristrikan orang Jawa saja. "Jangankan Cina, Arab, atau bule, orang Sumatra saja tidak kuperkenankan!" Demikian suatu hari ibunya memutuskan dengan tegas nasib dan jodoh Lazuardi.
Lazuardi diam saja, dia merasa tidak perlu membantah kehendak ibunya, orang tua yang selama hidupnya telah memelihara dan menyayanginya dengan sepenuh raga jiwa. Karena itu pula Lazuardi memutuskan untuk menunda percintaannya secara terbuka dengan Angela, walaupun sebetulnya keluarganya sudah tahu bahwa Lazuardi tetap saja menjalin cinta dengan seorang wanita keturunan.
"Ibumu benar Mas Adi, kita harus mematuhinya. Aku mencintaimu sepenuh jiwaku. Aku tidak ingin orang yang aku cintai durhaka kepada orang tuanya. Perlahan- lahan saja. Ada waktunya nanti keadaan akan berubah. Percayalah. Perlu engkau ketahui, seandainya aku tidak boleh menjadi istrimu, maka aku tidak akan pernah kawin dengan siapapun. Sumpah." Perkataan itu dikatakan Angela suatu hari sepulang kuliah.
Lazuardi percaya Angela. Gadis paling baik yang pernah ia kenal. Cantik, rajin, berhati mulia, walau sebetulnya ia seorang gadis yang pemalu dan sedikit pendiam. Sehari-harinya, kalau tidak kuliah, ia di rumah membantu bisnis orang tuanya, mengelola sebuah toko. Berkebalikan dengan orang tua Lazuardi, papa ibu Angela justru sangat menerima kehadiran Lazuardi. Bahkan pernah papa Angela berkata, bahwa ia senang jika suatu hari kelak Lazuardi menjadi suami Angela.
"Doakan saja Pap, saya mencintai Angela. Di mata saya, dia gadis yang berkepribadian dan suci." Papa Angela tersenyum bahagia mendengar Lazuardi memuji anaknya. Papa Angela tahu, Lazuardi tidak sedang berbohong padanya. Ia juga tahu persis siapa Angela anaknya. Ia juga menyukai Lazuardi, karena ia yakin bahwa Lazuardi adalah pemuda yang bisa diharapkan.
* * *
Di siang yang agak terik. Orang-orang mulai hilir mudik. Ada yang acuh tak  acuh. Beberapa di antaranya sekali dua menoleh ke bangunan-bangunan yang gosong, sembari berbisik-bisik dengan temannya. "Aku dulu dapat tivi dari toko itu." "Aku tape deck." Kemudian saling tertawa. Di seberang jalan, Lazuardi terpana menatap sebuah ruko.
"Di situlah Angela," bisiknya dalam hati. "Di tempat itulah Angela lahir, makan, minum, belajar. Di tempat itulah Angela besar. Apa yang terjadi pada dirimu Angela? Kenapa hingga hari ini belum ada kabar datang darimu? Di mana engkau. Tahukah engkau bahwa aku sangat merindukanmu?"
Sambil termenung-menung, sayup-sayup terdengar kegaduhan. Lama kelamaan suara itu semakin riuh, semakin sangar. Berderak-derak. "Lempar.... Bakar.... Lempar.... Bakar.... Lempar....". Massa semakin bergemuruh. Toko-toko dan beberapa gedung mulai terbakar. Sejumlah orang mulai masuk toko, menjarah apa yang dapat dijarah. Mobil-mobil dibakar. Teriakan-teriakan sumpah keparat. Asap mulai membumbung, api bersautan. Saat-saat seperti itulah terdengar lolongan orang yang mengalami kengerian. Rintihan wanita. "Jangaaan, jangaaaan, kasihani aku. Toloooong... Toloooong...." Semua berjalan dengan cepat. Kota terbakar. Lazuardi tergagap.
Tapi mudah-mudahan Angela baik-baik saja. Walau Lazuardi mulai ragu sendiri terhadap keyakinannya. Lazuardi hanya berharap sebelum kejadian itu, keluarga Angela sudah mengungsi lebih dahulu. Tapi siapa yang mengira jika kejadiannya bakal menimpa seperti itu. Lazuardi mencoba mendekati tempat Angela tinggal. Melihat dari dekat jejak-jekak Angela. Ya, mana tahu?
Darah Lazuardi berdesir melihat sebuah ruang yang menyampah penuh dengan sisa-sisa hangus yang dibiarkan begitu saja. Ya, di ruang inilah ia berpamitan dengan Angela sebelum ia berangkat ke Amerika. Di ruang ini pula untuk pertama kalinya ia mencium Angela. Di ruang itu pula dengan mesrah dan penuh cinta Angela mencium seorang laki-laki untuk pertama kalinya. "Aku akan menunggumu Mas. Lima tahun tidak lama. Dan semua akan baik-baik saja. Percayalah. Semuanya akan berubah. Aku yakin kelak keluargamu pasti menerima aku. Aku yakin itu."
* * *
Angela benar. Sekarang semua berubah. Semenjak kejadian yang ramai-ramai itu, orang-orang mulai membuka diri untuk menerima perbedaan-perbedaan. Paling tidak sedikit banyak mulai sadar bahwa sebetulnya manusia itu sama saja. Yang berbeda mungkin soal asal usul dan nasib. Kadang-kadang. soal rezeki juga tidak bisa dijelaskan begitu saja. Tetapi, kenapa harus terjadi penjarahan dan pembunuhan, juga bakar- bakaran. Kenapa? Lazuardi tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Manusia memang misterius, katanya dalam hati.
Hal lain yang membuat Lazuardi gamang adalah perubahan sikap keluarganya terhadap Angela. "Kalau engkau sungguh mencintai Angela, kita semua sebetulnya setuju-setuju saja kok. Mama tidak bisa memaksa kamu kawin dengan orang yang mungkin tidak engkau cintai." Tentu saja Lazuardi terharu menerima kabar itu. Walau Lazuardi agak kecewa juga kenapa tidak dulu-dulu. Karena, jika Angela diterima dari dulu, dia sudah menikahi Angela dan dibawanya ke Amerika. Kejadiannya pasti tidak seperti ini. Jangankan akan menikahi Angela, kabarnya saja Lazuardi tidak tahu di mana Angela gerangan berada. Tersirap darah Lazuardi jangan-jangan semua sudah terlambat.
Lazuardi terus menerus mencari jejak dan kabar Angela. Namun hanya ketidaktahuan dan ketidakjelasan yang ditemuinya. Lazuardi menjadi tahu bahwa ternyata keluarga Angela tidak memiliki kerabat dekat yang dapat ditanyakan perihal keluarga Angela. Pernah Lazuardi melapor persoalan Angela pada sebuah komite yang bergerak dalam pencarian orang hilang dan anti kekerasan. Ada sejumlah informasi yang diterima Lazuardi, tetapi tak satu pun yang bisa membawanya ke Angela.
Lazuardi tak habis pikir bahwa seorang manusia, atau mungkin bukan hanya seseorang, bisa hilang tanpa bekas di kotanya. Semua seolah seperti benda-benda saja yang ketika terbakar, maka habislah ia. Kota apa ini? Negara apa ini? Bangsa apa ini? Keluhnya suatu malam. Kenangannya terhadap Angela semakin menusuk-nusuk hatinya.
Di suatu subuh, Lazuardi memutuskan untuk meninggalkan kotanya. Ia tak kuat tinggal dalam sebuah kota yang didalamnya hanya tinggal kenangan.* * *

         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar