KOTA KENANGAN
Kota itu kini tidak lebih puing-puing runtuhan
berserakan. Bahkan beberapa rumah dan bangunan masih berbau bakaran kayu,
sebagian menyisakan arang dan abu. Bangkai-bangkai mobil dibiarkan tergeletak
di pinggir-pinggir jalan. Ada tumpukan bangkai elektronik yang terbuang tak
terurus. Di tempat lain beberapa potong gombal menyampah tak terurus. Tak jauh
dari bangkai elektronik, sepotong kaki manekin yang tampaknya tidak sempat
terbakar. Manekin itu bersepatu. Sepatu wanita.
Yang tidak habis membuat Lazuardi heran, peristiwa itu
telah terjadi beberapa waktu yang lalu. Waktu itu, ia sedang berada di Amerika
menyelesaikan program Ph.D bidang Fisika yang telah dijalaninya tiga tahun.
Lazuardi memang mendengar dan membaca berita berkaitan dengan kejadian yang
menimpa negerinya, khususnya kotanya. Tapi ia tidak pernah membayangkan jika
kejadian tersebut lebih parah daripada yang ia dengar dan lihat di tivi.
"Pulanglah?", seorang temannya pernah
menelepon.
Tapi yang membuat Lazuardi pulang sebetulnya bukan ajakan
temannya. Yang membuatnya pulang karena tidak ada kabar berita dari Angela
semenjak peristiwa ramai-ramai yang menimpa kotanya. Sudah setahun terakhir ini
sama sekali tidak ada kabar dari Angela. Padahal, dulu-dulu, paling tidak
sekali atau dua kali seminggu Angela telepon. Atau sebaliknya, justru Lazuardi
yang telepon. Tetapi belakangan, telepon yang biasa menghubungkan dia dengan
Angela, ke rumah Angela, terputus, dengan informasi, ada kerusakan.
Lazuardi sempat menelepon beberapa kenalannya, yang juga
mengenal Angela, tetapi tidak seorangpun yang tahu di mana Angela. "Dulu
aku pernah bertemu dengannya, di sebuah bank, tapi dulu. Aku lupa persisnya. Ia
sempat bercerita padaku bahwa Angela berencana ingin menyusulmu. Situasi
semakin tidak aman, katanya." Seorang teman Lazuardi berbasa-basi memberi
informasi. "Kami memang pernah sama- sama mengurus paspor, tapi setelah
itu kami tidak pernah ketemu lagi." Yah, setelah itu Angela raib seperti
asap membumbung ke langit. Hal ini membuat Lazuardi penasaran. Tidak percaya
orang bisa hilang begitu saja. Tanpa secuil berita pun. Karena butuh kepastian,
Lazuardi memutuskan pulang.
* * *
Sesampai di tanah air, Lazuardi tidak langsung ke tempat
Angela. Ia perlu bertemu dengan keluarganya dulu, untuk kangen-kangenan,
sekaligus menanyakan segala kemungkinan yang terjadi beberapa waktu belakangan
ini. Lazuardi juga sempat melihat-lihat koran-koran lama yang disimpan Bapaknya
dengan rapi. Cuma Lazuardi tidak berani menanyakan perihal Angela. Tidak
seorang pun dari keluarganya yang menyetu jui hubungan Lazuardi dengan Angela.
Alasannya, bukan saja beda agama, orang tuanya mendambakan Lazuardi beristrikan
orang Jawa saja. "Jangankan Cina, Arab, atau bule, orang Sumatra saja
tidak kuperkenankan!" Demikian suatu hari ibunya memutuskan dengan tegas
nasib dan jodoh Lazuardi.
Lazuardi diam saja, dia merasa tidak perlu membantah
kehendak ibunya, orang tua yang selama hidupnya telah memelihara dan
menyayanginya dengan sepenuh raga jiwa. Karena itu pula Lazuardi memutuskan untuk
menunda percintaannya secara terbuka dengan Angela, walaupun sebetulnya
keluarganya sudah tahu bahwa Lazuardi tetap saja menjalin cinta dengan seorang
wanita keturunan.
"Ibumu benar Mas Adi, kita harus mematuhinya. Aku
mencintaimu sepenuh jiwaku. Aku tidak ingin orang yang aku cintai durhaka
kepada orang tuanya. Perlahan- lahan saja. Ada waktunya nanti keadaan akan
berubah. Percayalah. Perlu engkau ketahui, seandainya aku tidak boleh menjadi
istrimu, maka aku tidak akan pernah kawin dengan siapapun. Sumpah."
Perkataan itu dikatakan Angela suatu hari sepulang kuliah.
Lazuardi percaya Angela. Gadis paling baik yang pernah ia
kenal. Cantik, rajin, berhati mulia, walau sebetulnya ia seorang gadis yang
pemalu dan sedikit pendiam. Sehari-harinya, kalau tidak kuliah, ia di rumah
membantu bisnis orang tuanya, mengelola sebuah toko. Berkebalikan dengan orang
tua Lazuardi, papa ibu Angela justru sangat menerima kehadiran Lazuardi. Bahkan
pernah papa Angela berkata, bahwa ia senang jika suatu hari kelak Lazuardi menjadi
suami Angela.
"Doakan saja Pap, saya mencintai Angela. Di mata
saya, dia gadis yang berkepribadian dan suci." Papa Angela tersenyum
bahagia mendengar Lazuardi memuji anaknya. Papa Angela tahu, Lazuardi tidak
sedang berbohong padanya. Ia juga tahu persis siapa Angela anaknya. Ia juga
menyukai Lazuardi, karena ia yakin bahwa Lazuardi adalah pemuda yang bisa
diharapkan.
* * *
Di siang yang agak terik. Orang-orang mulai hilir mudik.
Ada yang acuh tak acuh. Beberapa di
antaranya sekali dua menoleh ke bangunan-bangunan yang gosong, sembari
berbisik-bisik dengan temannya. "Aku dulu dapat tivi dari toko itu."
"Aku tape deck." Kemudian saling tertawa. Di seberang jalan, Lazuardi
terpana menatap sebuah ruko.
"Di situlah Angela," bisiknya dalam hati.
"Di tempat itulah Angela lahir, makan, minum, belajar. Di tempat itulah
Angela besar. Apa yang terjadi pada dirimu Angela? Kenapa hingga hari ini belum
ada kabar datang darimu? Di mana engkau. Tahukah engkau bahwa aku sangat
merindukanmu?"
Sambil termenung-menung, sayup-sayup terdengar kegaduhan.
Lama kelamaan suara itu semakin riuh, semakin sangar. Berderak-derak.
"Lempar.... Bakar.... Lempar.... Bakar.... Lempar....". Massa semakin
bergemuruh. Toko-toko dan beberapa gedung mulai terbakar. Sejumlah orang mulai
masuk toko, menjarah apa yang dapat dijarah. Mobil-mobil dibakar.
Teriakan-teriakan sumpah keparat. Asap mulai membumbung, api bersautan.
Saat-saat seperti itulah terdengar lolongan orang yang mengalami kengerian.
Rintihan wanita. "Jangaaan, jangaaaan, kasihani aku. Toloooong...
Toloooong...." Semua berjalan dengan cepat. Kota terbakar. Lazuardi
tergagap.
Tapi mudah-mudahan Angela baik-baik saja. Walau Lazuardi
mulai ragu sendiri terhadap keyakinannya. Lazuardi hanya berharap sebelum
kejadian itu, keluarga Angela sudah mengungsi lebih dahulu. Tapi siapa yang
mengira jika kejadiannya bakal menimpa seperti itu. Lazuardi mencoba mendekati
tempat Angela tinggal. Melihat dari dekat jejak-jekak Angela. Ya, mana tahu?
Darah Lazuardi berdesir melihat sebuah ruang yang
menyampah penuh dengan sisa-sisa hangus yang dibiarkan begitu saja. Ya, di
ruang inilah ia berpamitan dengan Angela sebelum ia berangkat ke Amerika. Di
ruang ini pula untuk pertama kalinya ia mencium Angela. Di ruang itu pula
dengan mesrah dan penuh cinta Angela mencium seorang laki-laki untuk pertama
kalinya. "Aku akan menunggumu Mas. Lima tahun tidak lama. Dan semua akan
baik-baik saja. Percayalah. Semuanya akan berubah. Aku yakin kelak keluargamu
pasti menerima aku. Aku yakin itu."
* * *
Angela benar. Sekarang semua berubah. Semenjak kejadian
yang ramai-ramai itu, orang-orang mulai membuka diri untuk menerima
perbedaan-perbedaan. Paling tidak sedikit banyak mulai sadar bahwa sebetulnya
manusia itu sama saja. Yang berbeda mungkin soal asal usul dan nasib.
Kadang-kadang. soal rezeki juga tidak bisa dijelaskan begitu saja. Tetapi,
kenapa harus terjadi penjarahan dan pembunuhan, juga bakar- bakaran. Kenapa?
Lazuardi tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Manusia memang misterius, katanya
dalam hati.
Hal lain yang membuat Lazuardi gamang adalah perubahan
sikap keluarganya terhadap Angela. "Kalau engkau sungguh mencintai Angela,
kita semua sebetulnya setuju-setuju saja kok. Mama tidak bisa memaksa kamu
kawin dengan orang yang mungkin tidak engkau cintai." Tentu saja Lazuardi
terharu menerima kabar itu. Walau Lazuardi agak kecewa juga kenapa tidak
dulu-dulu. Karena, jika Angela diterima dari dulu, dia sudah menikahi Angela
dan dibawanya ke Amerika. Kejadiannya pasti tidak seperti ini. Jangankan akan
menikahi Angela, kabarnya saja Lazuardi tidak tahu di mana Angela gerangan
berada. Tersirap darah Lazuardi jangan-jangan semua sudah terlambat.
Lazuardi terus menerus mencari jejak dan kabar Angela.
Namun hanya ketidaktahuan dan ketidakjelasan yang ditemuinya. Lazuardi menjadi
tahu bahwa ternyata keluarga Angela tidak memiliki kerabat dekat yang dapat
ditanyakan perihal keluarga Angela. Pernah Lazuardi melapor persoalan Angela
pada sebuah komite yang bergerak dalam pencarian orang hilang dan anti
kekerasan. Ada sejumlah informasi yang diterima Lazuardi, tetapi tak satu pun
yang bisa membawanya ke Angela.
Lazuardi tak habis pikir bahwa seorang manusia, atau
mungkin bukan hanya seseorang, bisa hilang tanpa bekas di kotanya. Semua seolah
seperti benda-benda saja yang ketika terbakar, maka habislah ia. Kota apa ini?
Negara apa ini? Bangsa apa ini? Keluhnya suatu malam. Kenangannya terhadap
Angela semakin menusuk-nusuk hatinya.
Di suatu subuh, Lazuardi memutuskan untuk meninggalkan
kotanya. Ia tak kuat tinggal dalam sebuah kota yang didalamnya hanya tinggal
kenangan.* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar